Thursday 23 July 2015

Dear Diary: Seminggu Yang Lalu.


Jujur, sedihlah waktu harus menulis cerita selama seminggu kemarin.

Hasil gambar untuk animasi mudik

Siapa bilang orang yang habis bepergian jauh; tujuh hari dalam seminggu itu ketika sesampainya di home sweet home alias rumah kecil yang sederhana, tidur adalah pilihan yang tepat untuk dilakukan? Kalian salah. Karena jika hanya sekedar capek ketika berada diperjalanan, capek yang dirasa tidak terlalu berarti. Lalu, kalau bukan tidur, apa yang harus dilakukan? Oh, jelas sekali jawabannya adalah, “bersih-bersih rumah.” Yap tepat sekali. Rumah akan ‘meraung’ manja ingin dibersihkan ketika ditinggal oleh pemiliknya selama itu.

            Yaaap, tahun ini saya berlebaran di kampung halaman orang tua saya di salah satu kecamatan kecil di daerah Jawa Timur, yaitu Pacitan. Mengapa saya menyebutnya dengan kampung halaman orang tua saya? Karena saya tidak memiliki kampung halaman. Saya lahir dan besar di Ciledug, Tangerang, sebenarnya. Namun, karena kedua orang tua saya merupakan orang Jawa, maka saya memiliki darah Jawa.

            Wah, asyik dong, bisa mudik tahun ini? Oh tentu jelas, karena sebenarnya di kampung halaman orang tua saya itu, banyak sekali cerita masa kecil saya dan bisa juga dibilang sebagai kampung halaman saya sendiri. Kenapa? Karena pada dahulu, ketika saya masih kecil dan belum memiliki seorang adik, bisa dibilang setiap tahunnya ketika waktu lebaran tiba, saya diwajibkan untuk mudik. Saya hanya bisa menduga-duga saja jawabannya mengapa harus setahun sekali; mungkin karena kedua orang tua saya belum terbiasa mengurusi anak pertamanya, masih tidak bisa jauh dari kedua orang tuanya (yaitu, kakek dan nenek saya), atau memang sengaja meluangkan waktunya untuk bersilaturahmi ke kampung halamanya tersebut.

            Kenapa saya bisa bilang, “Kampung halaman kedua orang tua saya merupakan kampung halaman saya juga selain ketika saya kecil, setiap tahunnya saya pasti mudik?” Karena jujur saja, di kampung halaman orang tua saya tersebut, saya bisa bebas berekspresi. Bebas berekspresi di sini maksudnya bukan bebas berkarya, bukan. Tapi saya bisa bertindak selayaknya anak-anak desa lainnya. Seperti, mengganggu ayam yang sedang mengerami telurnya, mengejar-ngejar dan berusaha menangkap anak ayam, memberi makan sapi dan kambing, bahkan hal gila seperti membakar sampah bisa saya lakukan di dalam rumah, tepatnya di dapur. Terlihat norak, ya? Itulah mengapa saya katakan, mengapa saya bisa bebas berekspresi di rumah kakek dan nenek saya. Hal-hal yang mustahil saya lakukan di rumah, menjadi mungkin ketika berada di rumah kakek dan nenek.

            Berbicara tentang  membakar sampah di dalam dapur itu sebenarnya bukan benar-benar tumpukan sampah yang menggunung kemudian dibakar dengan api, bukan itu maksudnya. Jadi, sistem memasak di sana itu terbilang masih cukup tradisional, walaupun ada beberapa rumah yang menggunakan kompor dan gas elpiji. Rata-rata mereka menggunakan tungku untuk mematangkan makanan dengan cara dimasak. Dengan bermodalkan kayu-kayu yang ada di sekitaran rumah dan sebatang korek api, mereka dapat menghasilkan api yang cukup besar. Besarnya api tergantung dengan seberapa banyak kayu yang digunakan. Nenek saya pun masih mempertahankan cara memasak dengan menggunakan tungku ini.

            Selain kayu yang dapat digunakan, sampah-sampah seperti plastik ataupun kertas dapat menambah semangat api untuk semakin berkobar. Kobaran api ini dapat memberikan suatu kehangatan di tiap pagi harinya ketika udara di sana dapat menembus tulang-tulang saya; ya, dinginnya bukan main. Karena memang di sana benar-benar dingin, saya bisa berdrama layaknya seperti orang-orang Korea; mengeluarkan uap dari mulut saya. Bukan, bukan asap rokok. Tapi uap yang keluar dari mulut saya dapat dilihat dengan mata telanjang karena efek dari udara dingin di sana. Whoa, merasa lucu saja melakukan hal-hal yang tidak bisa saya lakukan di Tangerang.

            Dalam rentang tujuh hari atau seminggu, empat hari saya habiskan untuk berada di kampung halaman orang tua saya. Dua hari disisakan untuk waktu perjalanan dari rumah ke kampung, begitupun sebaliknya. Butuh waktu dua puluh jam waktu tempuh agar bisa sampai ke rumah kakek dan nenek, itupun tanpa hitungan macet. Karena jarak sekitar 650 KM, bukanlah jarak yang dekat dan pasti membutuhkan waktu yang lama. Sudah begitu, miris sejujurnya melihat kabar berita yang isinya tentang arus mudik yang macet. Makin lemas saja rasanya. Oke, jadi kronologi perjalanan saya selama kurang lebih seminggu kemarin.


Day I: Takbir Lebaran.
            Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar. Laillahaillallahu Allahuakbar. Allahuakbar walillahu ilham. Begitu suara takbir yang berkumandang dan menggema di sekitaran rumah saya. Ya, letak rumah saya dengan masjid tidak begitu jauh. Jadi saya bisa mendengarkan kumandang takbir tersebut dan meresapinya hingga ke dalam hati. Tak terasa hari ini sudah lebaran dan seluruh umat muslim dapat menyelesaikan kewajiban berpuasanya selama tiga puluh hari; walaupun sebagian wanita pasti masih memiliki hutang puasa. Dan, Alhamdulillah sekali sholat sunnah idul fitri tahun ini saya tidak berjalan ke masjid sendirian. Tahun ini saya bersama Mama saya berbarengan melangkahkan kaki ke masjid. Wah, hadiah lebaran untuk saya, sih, ini namanya.

            Setelah selesai menunaikan ibadah sholat sunnah idul fitri, saya dan keluarga saya bergegas pergi ke lapangan bulutangkis atau yang biasa tetangga-tetangga saya sebut sebagai ‘taman’ ataupun ‘joglo’ untuk bersalam-salaman dan bersilaturahmi. Suasana pada saat itu terasa sekali kekeluargaannya dan tentu saja ramai sekali, karena hanya beberapa tetangga saya yang mudik sebelum lebaran tiba. Setelah selesai bersalam-salaman dengan tetangga yang lain, keluarga saya pulang dengan secepat kilat. Mengapa harus terburu-buru? Ya, karena saya harus membereskan barang-barang bawaan saya ke dalam mobil dan melaksanakan sarapan pagi. Horee, akhirnya mudik juga.

            Setelah selesai mengepakkan barang bawaan, untuk sesekali lagi kami sekeluarga berpamitan kepada tetangga yang tinggal dekat rumah sekaligus menitipkan rumah takut-takut ada hal yang tidak diinginkan. Setelah semua ritual itu berjalan dengan semestinya, saya bergegas menaiki mobil dan berangkat. Pada waktu itu, jam menunjukkan pukul 09:15 WIB. Saya tidak langsung pergi untuk memulai perjalanan. Namun, saya menjemput saudara saya dulu yang akan bermudik bersama keluarga kami ke Ciledug. Sesampainya di Ciledug itu sekitar pukul 11:15 WIB dan langsung bersalaman sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga di sana. Perjalanan dua jam dari BSD ke Ciledug. Cukup lama memang, karena bukan hanya kami saja yang bermudik seusai sholat ied, tetapi masih banyak yang pemudik yang bertebaran di jalan, termasuk dengan yang mengendarai motor.

            Kami semua masih berada di sekitaran Tangerang Selatan pada pukul 13:00 WIB, benar-benar masih didominasi oleh kemacetan yang ada. Baru benar-benar bisa berjalan sedikit longgar ketika sampai di tol. Namun, berjalan di jalanan yang lenggang itu tidak begitu lama. Karena setelah keluar dan tidak jauh dari pintu keluar tol, mobil-mobil pribadi mewarnai jalanan pada hari itu. Ya ampun, lagi-lagi macet lagi macet lagi. Dan akhirnya saya mencoba untuk tertidur selama kemacetan tersebut, tapi tidak bisa karena matahari yang tidak mau mengalah pada para pemudik dan terus bersinar terik di atas kepala. Cuaca panas sekali, walaupun AC juga sudah full. Namun, saya berusaha menikmatinya hingga akhirnya saya tertidur sendiri.

            Saya sempat terbangun sekitar pukul 02:30 WIB. Saya terbangun karena sedikit mulai sedikit terdengar perbincangan antara Bapak saya dengan Pakde saya. Mereka berdua meributkan jalan mana yang harus ditelusuri hingga sampai Pacitan. Posisi kami semua saat itu sedang berada di Solo, Jawa Timur. Perlu waktu kurang lebih dua jam untuk sampai ke Pacitan. Bapak saya bergegas turun dan bertanya kepada warga sekitar kemana arah yang seharusnya ditempuh. Tak lama, mobil kembali berjalan dan saya tidak bisa meneruskan tidur saya kembali. Akhirnya saya memandangi jalan di depan yang gelap dan hanya diterangi dengan cahaya dari lampu seign mobil. Tak lama kemudian, entah mengapa saya bisa tertidur kembali.


Day II: Kami Sekeluarga Telah Sampai, Kek, Nek.

            Saya membuka mata untuk yang kedua kalinya ketika mendengar orang-orang di mobil sedang riuh. Ternyata, kami semua sudah sampai pada tujuan kami, yaitu rumah Kakek dan Nenek di Pacitan! Wah, excited bangetlah denger warga-warga sekitar membangunkan saya dari tidur saya dengan obrolan khas mereka yang menggunakan bahasa Jawa. Saya pribadi hanya bisa sedikit mengerti dan menanggapi jika diajak berbicara dengan bahasa Jawa, selebihnya terkadang saya menjawab pertanyaan mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Setelah itu kami sekeluarga berjalan ke arah rumah Kakek dan Nenek saya. terutama saya, saya berjalan dengan sedikit sempoyongan karena memang efek baru bangun tidur dan tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengumpulkan nyawa. Saat itu denting jam menunjukkan pukul 05:45 WIB.

            Udara yang dingin dengan cepat menyadarkan saya dari ketidaksadaran saya setelah bangun tidur. Seketika badan saya menggigil bukan main dan membuat mata saya jadi melek. Padahal, sekitaran jam enam pagi di sini, matahari sudah menunjukkan sinarnya. Namun entah mengapa cuacanya bisa sedingin ini. Mungkin saja karena rumah Kakek dan Nenek saya terletak di dekat pegunungan, maka dari itu dinginnya bukan main. Lalu saya menghampiri Nenek saya ke dapur yang sedang memasak. Saya ingin melakukan ‘pendekatan’ dengan tungku yang sedang sibuk dengan api yang digunakan Nenek saya untuk memasak. Dan saya pun hanya dapat berdiam diri di depan tungku perapian tersebut merasakan hangatnya tulang-tulang saya yang menggigil tadi. Ah… Hangatnya.

            Saya bergegas untuk membersihkan diri pada pukukl 07:30 WIB dengan menggunakan air hangat mengingat udara pada jam segitu pun masih dingin-dinginnya. Sesudah selesai mandi, saya bergantian dengan Mama dan Adik saya yang kecil, kemudian Bapak, dan Adik saya yang kedua. Setelah mandi, kami awalnya berencana untuk berlebaran sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga Bapak di Punung, sama-sama masih masuk kecamatan Pacitan, Jawa Timur. Namun, rencana itu berubah karena Bapak yang sedari kemarin harus berlelah-lelah untuk menyetir dan belum tidur sama sekali seharian penuh. Yasudah, akhirnya kami semua memutuskan untuk memejamkan mata sejenak untuk membuang rasa kantuk, kecuali saya. Saya sibuk di dapur mengganggu Nenek saya memasak dan Kakek saya yang sedang duduk dan asyik dengan rokok di tangannya.

            Setelah Adik saya yang kecil terbangun dari tidurnya, saya bergegas mengajaknya untuk pergi ke kandang kambing yang letaknya berada di belakang rumah. Saya mengajarinya bagaimana cara memberi makan dengan rerumputan yang telah tersedia di sana; tentu saja Kakek dan Nenek saya yang mencari panganannya dan sengaja di simpan di sebelah kandang kambing sebagai cadangannya. Ketika saya melihat ke kandang kambing tersebut, jujur saya kaget bukan main. Pada tahun 2013, tepatnya tiga tahun yang lalu, ketika saya menginap di rumah Kakek dan Nenek selama sebulan penuh dan bermain dengan kambing-kambing ini, jumlahnya masih terhitung banyak. Ada sekitar tujuh ekor kambing yang dirawat oleh Kakek dan Nenek saya. Namun, ketika sekarang saya melihat kandang kambing tersebut, hanya tersisa dua ekor kambing. Satu ekor kambing dewasa yang gendut bukan main, dan satu lagi merupakan anak kambing yang lucu dan imut. “Wah, semakin betah saya melihat ada anak kambing satu di sini.” gumam saya dalam hati.

            Tak terasa sore pun tiba. Masih terbilang sore pun udara di sini sudah mulai dingin dengan angin kencang dan sepoi-sepoi yang khas seperti hari-hari sebelumnya. Setelah saya mandi sore, lagi-lagi saya harus duduk di depan tungku memasak Nenek saya agar tidak menggigil lagi. Memang setelah duduk di depan tungku tersebut, bau bakaran akan tercium di seluruh baju ataupun celana panjang yang saya kenakan. Namun, saya benar-benar tidak mempedulikan akan hal itu, yang saya pedulikan adalah saya hangat ketika duduk di sini. Makin cinta deh sama tungku api ini yang sudah memberikan kehangatan kepada saya. (Lebay, mode: on).

            Pukul 17:45 WIB merupakan waktu adzan berkumandang untuk sholat Maghrib.  Jadwal sholat di sini memang terbilang lebih cepat dibandingkan jam sholat di wilayah Jakarta. Saya bergegas untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat maghrib. Sehabis sholat, kami semua makan malam. Wah, sudah lama saya tidak merasakan masakan buatan Nenek saya. Mama dan Nenek saya jago memasak. Namun, rasa dari keduanya punya kekhasannya sendiri-sendiri. Mungkin perbedaan cara memasak yang mempengaruhi rasa makanan itu sendiri. Mama saya menggunakan cara modern untuk memasak, yaitu dengan kompor gas, sedangkan Nenek saya cenderung tradisional dengan menggunakan tungku api dengan kayu bakar. Perbedaan keduanya dapat terlihat jelas dengan rasa yang dimainkan dalam setiap makanan yang dibuatnya.

            Setelah selesai dengan makan, saya langsung menyikat gigi dan berwudhu untuk menunaikan ibadah sholat Isya. Setelah sholat isya, kami semua berkumpul di ruang tamu hanya sekedar untuk menonton televisi dan menyatukan kebersamaan. Lucunya ketika di kampung itu, ketika waktu menunjukkan pukul 20:00 WIB, mata saya seperti disihir dan merasa sangat mengantuk. Maka dari itu, saya tidak pernah tidur larut ketika berada di rumah Kakek dan Nenek saya. Mungkin, cuaca dingin yang membuat saya mengantuk. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur. Saya tidur dengan Nenek saya di kamarnya. Kakek saya mengalah dengan tidur di ruang tamu tersebut. Padahal saya tidak tega melihat Kakek kedinginan tidur di luar kamar. Namun, Nenek memberikanku pengertian bahwa Kakek sering sekali untuk tidur di ruang tamu. Akhirnya saya lega mendengarnya dan kemudian memejamkan mata.


Day III: Maaf Baru Sempat Berkunjung; Teruntuk Keluarga Besar Bapak.

            Selamat pagi! Wah, lagi-lagi hari ini saya harus terbangun dengan keadaan menggigil kedinginan. Ditambah semakin menggigil ketika saya harus mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh pada pukul 05:15 WIB. Asli, berasa memegang air es yang beku banget waktu saya berwudhu tersebut. Dengan secepat kilat saya berlari untuk memakai mukena. Setidaknya mukena juga dapat menghangatkan seperti perapian yang ada ditungku Nenek. Setelah selesai sholat, saya menghampiri Nenek di daput dan duduk di depan perapian tersebut. iya, pagi-pagi sekali nenek saya sudah memasak api. Jadi saya bisa menghangat diri saya dengan hangatnya ketika Nenek memasak. Dua jam kemudian, saya membersihkan diri, masih dengan menggunakan air hangat.

            Hari ini saya akan pergi ke Punung, tempat semua saudara dari Bapak saya tinggal. Kami sekeluarga berpakaian dengan rapih karena akan pergi bersilaturahmi sekaligus berlebaran dengan keluarga-keluarga besar Bapak di sana. Saya tidak lagi memiliki Kakek dan Nenek dari pihak Bapak. Karena Kakek dari Bapak meninggal ketika saya masih berumur lima tahun, dan Nenek saya juga pergi meninggalkan saya di saat saya berumur kurang lebih sebelas tahun. Sedih yang saya rasakan ketika mereka berdua tidak bisa menemani saya lagi ketika saya mendapati kesempatan untuk bermudik. Karena saya telah kehilangan kasih sayang dari dua orang yang saya sayangi.

            Kami pergi pada pukul 09:20 WIB dari kampung Mama saya yang berada di Donorojo, Jawa Timur. Matahari memang terik menyinari, namun angin kencang pun tak ragu untuk menemani kami sekeluarga hari itu. Saya berkunjung dari satu rumah saudara, ke rumah saudara yang lainnya dengan memakan waktu kurang lebih tujuh jam. Selama tujuh jam tersebut, secara terus menerus saya selalu saja disuruh makan oleh Pakle ataupun Bukle di sana. Entah hanya sekedar makanan ringan hingga makanan berat sekali pun, saya terus disuruh makan oleh keluarga besar Bapak. Ingin menolak pun tidak enak dan takutnya mereka justru kecewa dengan saya karena masakan yang telah masak dan siapkan untuk keluarga kami, tidak akan habis dan jatuhnya akan terbuang. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, saya harus menuruti mau mereka. Yang saya pikirkan adalah tugas berat untuk menuruni berat badan ketika sesampainya di Tangerang Selatan, nanti.

            Kami sekeluarga selesai bersilaturahmi pada pukul 16:15 WIB dan pulang ke rumah Kakek dan Nenek dari pihak Mama. Sesampainya di rumah, saya langsung melaksanakan sholat Ashar dan seselesainya saya menghampiri Adik saya yang kedua. Dia terlihat sedang fokus dengan apa yang ditontonnya. Saya bergabung dengannya untuk menonton televisi dan baru pergi untuk mandi setengah jam kemudian. Rutinitas setelah mandi tak pernah berubah dari dulu hingga sekarang, yaitu duduk di depan tungku api dan membakar semua sampah yang ada di sekitaran ketika Nenek saya sedang memasak. Kurang kerjaan memang, namun tidak ada yang bisa melarang saya untuk melakukan hal itu.


Day IV: “Terhanyut Aku Akan Nostalgia Saat Kita Sering Luangkan Waktu Nikmati Bersama Suasana Yogya.” ˗ Yogyakarta, by: Kla Project.

            Sebenarnya tujuan saya tiga tahun yang lalu menginap dan memutuskan untuk tinggal di kampung adalah untuk menunggu agar saya dapat pergi ke Yogyakarta, Jawa Tengah. Dari Pacitan, diperlukan waktu kurang lebih tiga jam dengan jarak tempuh kurang lebih 90 kilometer. Dan saya begitu senang sekali ketika saya tahu mendapati kesempatan untuk berlebaran ke kampung halaman orang tua pada tahun ini. Pikiran kedua saya langsung mengarah ke Yogyakarta saat mengetahui akan berlebaran di kampung. Serius, senang bukan main. Akhirnya, penantian saya selama kurang lebih empat tahun (selepas saya pergi mengunjungi kampus-kampus daerah Jawa dan sempat mampir ke Malioboro, Yogyakarta sewaktu kelas 11 SMA), akan terwujud juga; mengunjungi Malioboro lalu ke Universitas Gadjah Mada untuk melepas rindu, akan terealisasi. Entah mengapa harus Yogyakarta, UGM, atau pun Malioboro, sekalipun saya memiliki permintaan terakhir yang akan terwujud, saya hanya ingin untuk terakhir kalinya pergi mengunjungi Yogyakarta.

            Namun pil yang amat pahit bernama kekecewaan harus saya telan sendiri dan mentah-mentah. Segala impian dan mimpi untuk ‘yang terakhir’ kalinya terpaksa harus dibatalkan secara sepihak oleh kedua orang tua saya. Jujur saja, kalau saat itu juga saya diperbolehkan untuk berteriak sekencang mungkin, saya akan berteriak selama mungkin untuk mengeluarkan segala kekecewaan saya. Menangis sekencang dan sesengguk-sesenggukkannya. Dan berlari sejauh mungkin, kalau perlu berlari hingga kota Yogyakarta. Entahlah, saya merasa teramat hancur saat itu ketika pada hari ini saya tidak jadi pergi ke Yogyakarta, terlebih ke Malioboro. Alasannya sangatlah klasik sekali: macet dengan pemudik yang melewati arah Yogyakarta. Benar-benar alasan yang ringan dan tidak bisa diterima akal sehat saya pada hari itu juga. Serius, jika memang saya punya keberanian untuk melawan kedua orang tua saya dan jika saat itu sedang tidak berada di rumah Kakek dan Nenek, saya akan nekat untuk kabur dan pergi sendirian ke Yogyakarta.

            Kekecewaan yang saya rasakan membuat saya mengurung diri di kamar seharian penuh. Ya, saya ngambek dengan keputusan sepihak tersebut dan mimpi yang telah tertata selama empat tahun yang gagal begitu saja. Sehingga rencana yang pada hari itu telah diputar oleh Bapak saya; pergi ke pantai, harus dibatalkan juga. Rencana pergi ke pantai tak saya ketahui sama sekali dan saya hanya mendengar bahwa pergi ke pantai pun tidak jadi. Akhirnya, hanya orang tua dan Adik-adik saya saja yang pergi, dan saya dengan sengaja tidak ingin ikut. Pergi juga hanya sekedar melayat dan berjalan-jalan tidak jelas seusai melayat. Saya saat itu tidak merasa sama sekali menyesali karena tidak ikut melayat, karena rasa kecewa saya yang begitu dalam membuat saya buta akan segalanya.

            Sepulang keluarga saya pergi, mereka membelikan mie ayam yang terkenal enak di Pacitan, mie ayam pak Bowo. Mereka merayu saya untuk tidak marah lagi sembari menyodorkan bungkusan mie ayam tersebut. Mengingat sedari pagi saya belum makan, akhirnya saya mengambil mie ayam tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan segera meloyor pergi ke dapur dan memakannya di sana. Suasana antara saya dan kedua orang tua masih terbilang kaku, hingga keesokan harinya suasana mulai mencair dan tidak diam-diaman lagi.


Day V: Ngapain, nih, Kita?

            Hari ini hari paling gabut dari seminggu hari-hari lain selama kami masih berada di sini. Tidak ada rencana untuk pergi berlibur ke pantai atau goa, atau untuk sekedar berjalan-jalan mencari bakso pada sore hari seperti hari pertama saja, tidak. Benar-benar hanya aktivitas biasa seperti di rumah yang dijalani pada hari ini. Yang berbeda hanya ketika saya memberi makan kambing dan sapi. Lagi-lagi aktivitas memberi makan kedua peliharaan Kakek dan Nenek. Namun tak mengapa, saya senang menjalani aktivitas yang tidak bisa saya lakukan di rumah.

            Ya, memang tidak berbeda terlalu jauh seperti hari pertama saya menginap di rumah Kakek dan Nenek. Bedanya hanya terletak pada siang hari, saya membantu Nenek saya untuk membuat jadah untuk dibagikan kepada tetangga-tetangga di rumah sebagai oleh-oleh. Kalian pasti tau jadah, kan? Pastilah. Saya tidak tahu mengapa harus jadah, makanan yang dijadikan sebagai oleh-oleh. Selain membuat jadah, saya juga membuat entik. Nah, kalau entik pasti banyak yang tidak tahu. Jadi, entik itu terdiri dari kelapa dan singkong yang diparut kemudian dicampurkan dengan telur ayam. Tambahannya berupa gula dan garam secukupnya agar rasanya berimbang. Dan kaliah tahu? Rasanya itu uenaaak tenan! Seperti nugget yang dijual di pasar-pasar tradisional atau modern. Bedanya entik ini renyah sekali rasanya dan lembut.

            Saya membantu Nenek saya untuk memarut kelapa dan singkong dengan dibantu oleh Mama saya. Kami berdua berkutat dengan kerjaan masing-masing. Tidak berapa lama kemudian, ada insiden ketika memarut. Iya, tangan Mama saya terparut dan berdarah. Dengan terpaksa saya yang menyelesaikan semuanya. Buah tidak jatuh dari pohonnya, dong. Tak berapa lama, jari saya juga berdarah. Namun, tidak separah Mama saya. luka yang saya punya hanya sekedar lecet kecil di bagian jari tengah. Saya dengan santai melanjutkan pekerjaan hingga selesai. Setelahnya, parutan kelapa dan singkong tersebut saya serahkan kepada Nenek saya untuk diproses.

            Semua bahan sudah siap untuk digoreng pada sore menjelang malam hari. Saking enaknya makanan ini, ludes tidak lebih dari sejam. Wah, jadi laku keras nih? Biasanya makanan ini dijadikan cemilan dikala santai. Oke, setelah kami semua merasa kekenyangan, kami semua merasa mengantuk saat sedang menonton televisi bersama. Jam menunjukkan pukul 19:50 WIB pada waktu itu. Dan satu persatu semua yang berada di dalam rumah bergegas untuk pergi tidur. Masih sama seperti kemarin-kemarin, kami tidur benar-benar dalam keadaan yang sangat dingin. Brrr..


Day VI: Haruskah Kita Berpisah Sekarang?

            Asli, sedihnya bukan main-main. Sedihnya lebih dari rusaknya suatu barang berharga. Sedih, benar-benar sedih. Susah sekali untuk diungkapnkan dengan tulisan, apalagi dengan kata-kata. Mengapa bisa sesedih ini? Ya, karena saya harus kembali ke BSD, Tangerang Selatan, di mana tidak ada lagi aktivitas menghangatkan diri di depan tungku api, tidak bisa memberi makan sapi atau pun kambing, bahkan saya tidak bisa lagi berbicara dengan diri sendiri seperti orang gila. Tiap kali saya diberi kesempatan untuk mudik, selalu saya gunakan sebagai ajang instroopeksi diri. Mengoreksi diri sendiri dengan cara-cara yang cukup aneh bagi saya. semisal, berbicara pada diri sendiri, mengirim surat untuk diri sendiri, bahkan melamun dan mendengar suara-suara alam yang ada di sekitar seperti desiran angin, menjadi cara saya untuk menginstropeksikan diri. Dan biasanya, cara-cara seperti ini terlihat ampuh bagi saya.

            Dan, pada hari ini saya harus berpisah. Berpisah dengan Kakek dan Nenek saya, berpisah dengan kambing dan sapi yang biasa menemani saya berbincang, bahkan berpisah dengan tungku api yang lengkap dengan bara apinya. Terkadang, saya mendapat suatu pelajaran yang tak terduga dari benda-benda mati yang berada di sekitaran. Namun, sekarang ini saya harus pergi jauh dengan benda-benda yang telah berjasa dan cukup mengambil andil selama saya berada di rumah ini. Hal paling sedih ketika para tetangga menunggui kami sekeluarga menaiki mobil dan ketika mobil telah berjalan, mereka semua melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan.

            Sebenarnya, saya mulai masuk kuliah pada tanggal 31 Agustus 2015. Kurang lebih masih ada sebulan lebih waktu saya untuk libur. Saya ingin sekali, benar-benar ingin sekali untuk menetap selama liburan itu; berusaha menghabiskan waktu liburan di kampung sama seperti empat tahun yang lalu. Namun, kedua orang tua saya lagi-lagi melarang saya. Padahal, jika diizinkan pun saya berada di tangan yang aman dan tepat; yaitu Kakek dan Nenek saya. sama seperti empat tahun yang lalu, pasti mereka berdua bisa menjaga saya, selama saya masih betah berada di kampung. Lagi-lagi, alasan klasik yang terlontar dari mulut kedua orang tua saya membuat saya sedikit kecewa. Kalian tahu? Alasannya adalah, “Nanti kamu berani pulang sendirian?”

            Bulan Maret tahun ini umur saya genap menjadi dua puluh tahun. Selama dua puluh tahun belakangan ini banyak sekali pengalaman hidup yang dapat saya petik untuk dijadikan pembelajaran. Salah satunya ketika empat tahun yang lalu. Ketika menjelang masuk kuliah, saya mau tidak mau harus pulang dari rumah Kakek dan Nenek saya menuju ke BSD. Pada saat itu usia saya enam belas menuju tujuh belas tahun. Saya pulang dengan diantar oleh Kakek dan Nenek saya sekaligus mereka ingin melihat cucu mereka yang kecil; Adik saya yang kecil. Selama perjalanan pulang tersebut, pengalaman yang ada tidak begitu saja saya lewatkan. Saya memperhatikan semua detilnya ketika pulang bersama Kakek dan Nenek saya pada empat tahun yang lalu.

            Yang saya bingungkan adalah alasan klasi kedua orang tua saya yang tidak bisa dicernah oleh akal sehat saya. Bukankah yang harus saya lakukan hanyalah duduk manis di bis, meratapi jalanan panjang yang memubuat saya dan kampung semakin jauh, dan menjaga diri. Di umur saya sekarang ini, kedua orang tua saya masih susah untuk memberikan saya izin dan percaya sepenuhnya dengan saya. Dua puluh tahun sudah mereka merawat saya, namun mereka seperti tidak melihat saya tumbuh besar dan berkembang. Seakan-akan saya masih balita di mata mereka.

            Oke, sekian kalinya saya harus benar-benar mengalah kepada orang tua, juga pada keadaan yang ada. Saya melangkahkan kaki ke arah mobil dengan beratnya, seperti ada yang memegang kaki saya. saya benar-benar tidak rela harus pulang hari ini, karena sejujurnya waktu emapat hari di sana seperti dua jam dalam seumur hidup saya. Ditambah lagi, berita-berita di televisi menyiarkan pemberitaan arus balik yang macet. Makin enggan saja rasanya saya untuk pulang pada hari itu. Saya memalingkan wajah dan tidak melihat wajah-wajah mereka semua yang melepas kepergian mobil kami dengan lambaian tangan. Karena sejujurnya, di setiap lambaian tangan mereka, tersimpan air mata yang bersikeras untuk mengalir dikedua pipi saya.

Day VII: Bersih-Bersih, Yuk!

            Dan benar saja, akses jalan menuju rumah benar-benar padat namun dapat berjalan dengan merayap. Rasanya jalanan sesak sekali dengan mobil-mobil para pemudik yang ingin kembali ke rumah mereka masing-masing. Dengan memakan waktu seharian diperjalanan, akhirnya kami semua sampai di rumah. Lelah bukan main menghadapi kemacetan yang ada. Namun, lelah dan letihnya kami bukanlah suatu hambatan untuk membersihkan rumah yang kotor. Suasana rumah tampak terlihat berdebu dan kotor; tidak seperti saat kami sekeluarga meninggalkan rumah. Akhirnya kami semua berkeja bakti membersihkan rumah. Saya kebagian menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian.

            Setelah tugas-tugas tersebut saya lakoni, saya menemani Bapak saya untuk ke bengkel. Karena usut punya usut, ban mobil yang sebelah kanan belakang kempes. Belum lagi mobil terlihat kotor sekali. Setelah pergi ke bengkel dan mengganti ban yang bocor itu, saya dan Bapak saya mencari tempat untuk mencuci mobil. Lumayan lamalah menunggu hingga bagian kami, kurang lebih tiga puluh menit karena antriannya lumayan panjang. Setelah selesai mencuci mobil, saya dan Bapak saya segera meluncur ke Pondok Indah untuk mengembalikan mobil yang kami sewa untuk pulang kampung kepada rekan Bapak saya. Dengan saya membatalkan jadwal bersepedah saya di sore hari, hitung-hitung saya ikut Bapak saya untuk bersilaturahmi dan berlebaran. Karena sudah lumayan lama saya tidak ke Pondok Indah hanya sekedar melihat begitu sepinya rumah-rumah yang berada di sana.

            Setelah berbincang sebentar dengan teman-teman Bapak saya, saya dan Bapak saya memutuskan untuk sholat Ashar terlebih dahulu sebelum pulang. Setelah sholat, Bapak saya memanaskan motor yang tidak pernah dipakai selama seminggu tersebut agar mesinnya panas. Setelah itu, kami berdua bergegas pulang. Diperjalan ketika pulang, mulut saya tidak bisa berhenti untuk berkomat-kamit dan saya tidak berani untuk membuka kedua mata saya. Kalian tahu kenapa? Iya, karena Bapak saya mulai gila membawa motor. Pepet sana, pepet sini. Salip sana, salip sini. Membuat jantung saya berdetak tidak menentu dengan uji adrenalin bersama Bapak saya. Serius, naik motor dengan Bapak saya jauh lebih menyeramkan ketimbang wahana halilintar yang berada di Dufan sekaligus. Beneran, deh, saya tidak bohong…

4 comments: