Sunday 12 July 2015

Cekat (Cerita Singkat): Indahnya Detik Jam.


            Dea, untuk sesekali lagi melirikan kedua bola matanya ke arah sumber suara. Matanya dengan begitu cepat dan kompak melihat handphone jadul kesayangannya itu. Ia menghentikan aktivitas mengetik yang sedang dikerjakan untuk memenuhi tugas dari si dosen killer. Seketika Dea melupakan dosen ter-killernya itu dan menebarkan senyuman manis yang tidak dapat di lihat oleh siapapun, kecuali handphone kesayangannya tersebut. entah apa yang ia baca atau lihat, selalu begitu setiap handphonenya berbunyi.
           
      Dea Anindya, merupakan salah satu mahasiswi dari perguruan tinggi negeri di bilangan Jakarta. Ia merupakan mahasiswi yang terbilang biasa saja dengan kesederhanaan yang dimilikinya. Otak yang tidak terlalu pintar, tidak begitu rajin, tidak cantik, namun ia baik. Ia akan merasa begitu rajin karena dia memiliki sesuatu yang unik, yaitu sikap ‘panik’ yang dia punya. Sebenarnya, Dea bingung mengapa harus dilahirkan dengan memiliki sikap yang panikan seperti itu. Ia jadi merasa kurang bisa untnuk teliti di setiap tugas, bahkan sikap panikan ini membuat Dea selalu ceroboh.

            Kecerobohan Dea terlihat ketika pada suatu hari, dia sudah telat masuk kelas untuk mata kuliah dosen tercintanya yang killer itu. Setelah memarkirkan motornya dengan sembarang, ia berlari terburu-buru tanpa mengindahkan kunci motornya tersebut. Dea baru benar-benar sadar ketika dia sudah berada di depan kelas, “Oh iya! Kunci motor gue!” Alhasil, mau tidak mau dia harus kembali ke parkiran motor untuk mengambilnya, dan mulai berlari kembali menuju kelas layaknya orang yang kesetanan.

            Walaupun Dea orang cukup ceroboh, tidak terlalu pintar, tidak cantik, dan tidak rajin, dia memiliki beberapa orang teman yang selalu membuatnya selalu bahagia untuk setiap harinya. Salah satu teman dari beberapa temannya itu bernama Awan Anindito. Awan adalah teman Dea sejak awal masuk universitas tersebut. dia orang yang sangat baik, setia kawan, pendiam, dan memiliki sifat yang lemah lembut terhadap wanita, termasuk Dea. Maka dari itu, ketika Dea merasa sudah tidak tahan dengan sifat ceroboh yang dimilikinya, Awan selalu datang tepat waktu untuk menenangkan Dea.

            Menginjak permulaan semester tiga, semuanya masih berjalan normal dan seperti hari-hari biasanya. Satu bulan berlalu, keadaan yang dijalani oleh Dea dan Awan tak lagi sama. Dea yang mengetahui Awan menyukai seseorang wanita dan terus berusaha untuk mendapatkan hatinya, harus mengubru dalam-dalam perasaannya itu. Pasalnya, orang yang dicintainya tersebut telah memiliki pasangan dan sudah berjalan sejak dua bulan belakangan ini. Sangat menyakitkan untuk Awan ketika mengetahui hal tersebut. wanita itu pun hanya sekedar member harapan-harapan palsu agar Awan tidak pergi dan terus berapa di hidupnya. “Licik, benar-benar licik.” ujar Dea dengan geramnya karena telah membuat temannya terpuruk.

            Setelah kejadian itu, Awan yang sekarang bukanlah Awan yang Dea kenali dulu. Awan yang selalu bisa membuat Dea merasa tenang ketika ia sedang tidak tahan dengan sifat cerobohnya, harus bisa menenangkan diri sendiri. Karena Dea pun tahu, Awan sedang tidak bisa diganggu untuk saat-saat ini. Awan selalu terlihat murung dan menyendiri walaupun suasana di sekitarnya sedang ramai. Dea yang banyak berhutang budi dengan Awan karena dia selalu membuatnya tenang, membuat Dea tidak bisa berduam diri begitu saja. Dea harus menghibur Awan agar bisa kembali seperti dulu lagi dan tidak terus-terusan terpuruk dalam keadaan terpuruk seperti ini.

            Niat Dea untuk menghibur Awan sepertinya berjalan dengan sempurna. Awan tidak terlalu terlihat begitu sedih lagi sekarang walaupun ada beberapa momen di mana mata Dea menangkap sosok Awan sedang melamun di saat keadaan kelas sedang riuh-riuhnya. Dengan cepat Dea mengagetkannya dan kemudian mereka tertawa bersama seolah-olah mereka melihat acara komedi yang lucu sekali.

            Semakin hari, Dea dan Awan semakin dekat. Lebih dekat dari sebelumnya. Entah apa yang membuat mereka berdua bisa sedekat ini. Kedekatan mereka berbeda dengan awal mereka berkenalan dan menjadi teman. Berbeda, benar-benar berbeda. Lambat laun, kedekatan mereka dicurigai oleh sebagian anak-anak di kelas. Entah apa yang membawa kecurigaan terhadap Dea dan Awan, mereka benar-benar sangat curiga dan terus mendesak apa yang terjadi di antara kami berdua dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.

            Sebulan kemudian, pertanyaan-pertanyaan konyol dari sebgaian anak-anak di kelas tersebut mendapati titik cerah. Mereka menemukan jawaban atas rasa penasaran mereka selama ini terhadap Dea dan Awan. Benar, mereka sudah menjadi sepasang kekasih sekarang. Entah apa yang membuat Dea meng-“iya”-kan tawaran dari Awan. Beberapa anak-anak di kelas justru ada yang tidak percaya bahwa mereka berdua telah jadian.

            Hari-hari yang Dea lewati sangatlah berwarna dengan seseorang yang dapat menjaga hati dan perasaannya tersebut. Bahkan, jika dapat Dea memetik bintang untuk Awan, akan dia lakukan dengan setulus hati. Awalnya, Dea sempat ragu untuk mulai melangkah bersama Awan. Bukan apa-apa, namun Awan adalah teman dekat sekaligus teman akrabnya dahulu. Orang yang pendiam dan kadang bisa berubah menjadi sebegitu menyebalkan, namun begitu menenangkan saat Dea sedang tak tahan dengan sifat cerobohnya itu. Orang yang begitu bisa membuat Dea menggelengkan kepalanya karena mau saja hanya diberikan harapan palsu oleh seorang wanita. Dan orang yang tidak terduga karena telah membuat hari-hari Dea begitu berbeda selama seumur hidupnya.

            Dea, untuk sesekali lagi melirikan kedua bola matanya ke arah sumber suara. Matanya dengan begitu cepat dan kompak melihat handphone jadul kesayangannya itu. Ia menghentikan aktivitas mengetik yang sedang dikerjakan untuk memenuhi tugas dari si dosen killer. Seketika Dea melupakan dosen ter-killernya itu dan menebarkan senyuman manis yang tidak dapat di lihat oleh siapapun, kecuali handphone kesayangannya tersebut. entah apa yang ia baca atau lihat, selalu begitu setiap handphonenya berbunyi.

            Pesan singkat itu masuk memenuhi notification dihandphone Dea. Siapa lagi kalau bukan dari Awan? Orang yang telah berhasil mengukir senyum dibibir maupun di hati Dea secara tersembunyi tanpa diketahui oleh orang lain. Ketika mereka berada di kampus, Awan dapat melihat senyum riang yang terpancar dari wajah Dea. Namun, ketika mereka harus kembali ke rumah masing-masing, senyum yang dipersembahkan Dea masih sama seperti Awan melihat Dea di kampus. Tapi bedanya, Awan tak bisa melihatnya secara langsung. Hanya bisa merasakannya saja.

            Cukup lama hubungan mereka terjalin, selalu manis terasa bagi Dea ketika melewati setiap detik dalam hidupnya bersama Awan. Segala canda dan tawa selalu Awan berikan agar Dea terlihat bahagia, begitu pula sebaliknya. Dea yang awalnya ragu dan tidak yakin akan bisa menjalin hubungan bersama Awan, akhirnya ia dapat meyakinkan dirinya sendiri dan tidak lagi memiliki keraguan sama sekali untuk melangkah bersama menuju masa depan.

            Namun, daun yang layu pun lama kelamaan jika selalu diterpa oleh angin yang kencang, akan copot dari rantingnya dan terhempas ke tanah. Begitulah hubungan antara Dea dan Awan saat ini. Mereka adalah pasangan yang jarang sekali untuk bertengkar. Namun sekalinya bertengkar, semuanya akan hancur dan pecah seperti saat seseorang secara tidak sengaja menjatuhkan piring beling ke lantai. Hanya faktor “ketidaksengajaan” tersebut, semua hancur berserakan. Mereka berdua sama-sama terkena pecahan belingnya; mereka sama-sama terluka, karena sama-sama telah saling menyakiti.

            Perpisahan yang terjadi di antara mereka merupakan suatu “tamparan” bagi Dea. Dea sama sekali tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia sangat khawatir terhadap Awan mengenai luka yang diterima atas perbuatan dirinya. Dea takut nantinya Awan akan menemukan seseorang yang tidak tulus dalam mengobati lukanya. Dan juga, Dea selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang telah terjadi. Memang, memang semua kesalahan ada ditangan Dea. Tapi akhirnya, ia berusaha mengalah pada keadaan dan tidak mengeluarkan sifat keras kepalanya atas semua yang telah diperbuatnya.

            Gelang pemberian dari Awan sebelum mereka menjadi sepasang kekasih pun sampai saat ini masih dengan setia mengikuti kemana pun langkah Dea pergi. Padahal, Awan sendiri telah member kebebasan untuk gelang itu kepada Dea, entah dilepas atau disimpan. Tetapi Dea lebih memilih untuk menggunakan gelang tersebut. Alasannya cukup unik bahkan lucu, dia berkata ketika ada orang yang menanyakan,

            “Gelang ini udah lama banget nangkring dipergelangan tangan kanan gue. Gue gak pernah ngelepas gelang ini kecuali saat mandi aja. Jadi, ya lo tau sendiri gimana cintanya gue sama gelang ini. Udah gitu setiap saat gelang ini bener-bener bisa ngerasain denyut nadi ditangan gue ini. Dan lagi, pernah suatu ketika gue lupa untuk mengenakan gelang ini setelah mandi, rasanya ada yang kurang, gitu. Abisan, gelang ini selain bisa jadi aksesoris ditangan gue, gue kadang-kadang kalo iseng melintirin tali gelang ini. Liat aja, tali gelang kemungkinan sebentar lagi akan putus. Dan kalo putus nanti gelang ini pun akan gue simpen, bersama yang lainnya.” ujarnya dengan panjang lebar seraya menunjukkan gelangnya yang berwarna-warni itu.

            Selain itu, hanya gelang itu yang bisa mengingatkannya kepada Awan. Segala canda tawa yang telah dia terima hanya akan terlihat secara tersirat melalui gelang tersebut. Sejujurnya, Dea masih tidak bisa untuk jauh dari Awan. Dua tahun yang mereka lewati bersama, tak memiliki arti apa-apa ketika hati mereka sama-sama menyimpan luka. Dea merasa sangat-sangat bodoh karena telah melakukan suatu “ketidaksengajaan” yang akan menjauhkannya dengan Awan walaupun dalam status berteman sekalipun, karena Dea merasa piring yang telah terjatuh dan hancur berkeping-keping akan utuh kembali seperti saat-saat terdahulu.

            Tetapi Dea sangat bersyukur dan sangat berterimakasih sekali terhadap Awan. Karena Awan pernah mengajari sesuatu yang tak pernah diterima oleh Dea melalui cowok lain. Awan juga telah berhasil membuat Dea tertawa dan menangis, keduanya merupakan paket lengkap dalam hal percintaan. Dan Dea diberitahu bagaimana arti bertahan kala sakit oleh Awan. Baginya, Awan seperti awan-awan yang berada di langit, sulit untuk diraih. Namun ketika berhasil diraih, ia dapat meneduhkan dan menenangkan segala-galanya. Dan ketika ketika Awan merasa sakit, ia akan menghilang bagaikan gas dan terus berjalan beriringan di atas sana.

            Ada sebuah puisi yang Dea bikin untuk Awan:


                                                Selamat Jalan, Awan Putih

Indah dirimu menemani sang matahari
Tatapanmu seakan terlihat putih suci
Hadirmu bak penyejuk di siang bolong
Tak perlu lagi ku bersembunyi di kolong-kolong

                        Kau peneduh dikala hujan yang deras
                        Dan penenang dikala badai menghadang
                        Selalu saja ingin berusaha dengan keras
                        Hingga hidupku pun kau singgahi dan datang

Semua terasa nyaman ketika kau ada
Bagai syair yang membutuhkan nada
Kau berada di sini bagaikan peneduh
Setiap detik seperti detak jantungku yang tak tentu

                        Namun kau sekarang telah pergi
                        Tinggalkan seluruh hidup dan sang hati
                        Terbang sejauh dan setinggi mungkin
                        Bergabung dengan awan-awan yang lain

Tak berhak dan tak bisa ku melarang
Ibarat diriku sendiri terkena boomerang
Menatapmu pergi dan semakin menjauh
Membuatku meratap dan tak merasa utuh

                        Untuk seseorang yang kumaksud, yaitu Awan
                        Sepatah duapatah kuucapkan terimakasih terdalam
                        Mengenalmu bagaikan bermimpi di pagi buta, dan
                        Memilikimu adalah anugerah terindah dari sang pencipta

“Selamat jalan, Awan-ku. Semoga kelak kau akan temukan seseorang yang akan benar-benar dengan tulus mengobati  luka dihatimu atas perbuatanku tersebut. Maafkanku karena telah melukaimu tanpa maksud dariku, secuil apapun itu. Kini, antara langkahku dan langkahmu sudah tak lagi beriringan, arah yang kita tentukan telah berbeda jauh 360º. Jaga dirimu baik-baik, Awan. Dan carilah wanita yang mampu mengayomimu dan wanita tersebut bisa menuntunmu ke jalan yang lebih baik lagi, nantinya.”

“Akan sangat sulit ku mencari penggantimu saat ini maupun nanti. Terbanglah. Terbanglah. Terbanglah. Sampaikan pada sang matahari bahwa kita tak bersama lagi dan aku akan dengan senang hati menerima panas terik dari matahari tersebut tanpa ada lagi yang meneduhkan. Jangan katakana padanya bahwa kau bersedih karena kita telah berbeda jalan, sekarang. Tunjukkan bahwa kau bahagia dan siap melangkah lagi ke depannya. Jangan kau tengok lagi ke belakang, karena akan selalu ada aku yang memperhatikanmu dari belakang sana, walaupun jarak itu semakin jauh di setiap harinya.”

“Selamat jalan, Awan…”


            Tutup Dea mengakhiri tulisannya yang begitu dalam. Pesan nan tulus yang tidak akan tersampaikan kepada Awan. Pesan yang tak pernah bisa untuk dimengerti oleh Awan. Dan pesan yang tak akan pernah dibahasnya lagi, karena telah berakhirnya hubungan antara Dea dan Awan. Dea memasukkan selembar puisi tersebut ke dalam kotak kardus di dalam kamarnya. Di mana kotak kardus tersebut merupakan semua barang-barang pemberian dari Awan, kecuali gelang yang sampai saat ini masih ia kenakan di pergelangan tangan kanannya…  


Hasil gambar untuk awan
Goodbye, Awan. See you again...

5 comments: