Wednesday 15 July 2015

Cucu?


              Oke, kejadian ini sebenarnya terjadi pada beberapa hari yang lalu, tepatnya di saat kami sekeluarga sedang asyik-asyiknya untuk packing. Yeay! Benar sekali! Lebaran pada tahun ini kami sekeluarga berencana untuk berlebaran di kampung halaman orang tua saya, lebih tepatnya di rumah nenek saya yang berkediaman di daerah Pacitan, Jawa Timur. Asyik, asyik, mudik!

            Sebenarnya tujuan kami kesana bukan saja hanya sekedar berlebaran dan bersilaturahmi dengan para keluarga besar. Salah satu saudara saya dikabarkan akan memiliki anak, dan itu anak pertama bagi mereka! Congrats! Maka dari itu, selain berlebaran di sana, kami sekeluarga pun akan kedatangan sanak keluarga baru. Asyik, punya mainan baru~ *eh

            Untuk menyambut anak dari saudara saya tersebut ke dunia, setelah selesai packing tersebut, Mama saya terlihat agak sibuk dengan kegiatan lainnya. Saya berusaha untuk mendekati dan menanyai apa yang sedang dilakukannya. Sisa satu langkah untuk mendekati Mama saya, saya telah mengtahui apa yang beliau lakukan tanpa lagi harus bertanya. Iya, Mama saya sedang memilah-milah barang-barang adik saya yang ketiga; Hilmi, untuk dijadikan kado. Eh, tapi bukan kado ulang tahun, ya, maksudnya.

            Sebelum memilih barang-barang yang akan dijadikan kado, sempat ada perbincangan yang seru antara keluarga kamu, begini:

Mama: “Kira-kira mau ngasih kado apa, ya? Ini barang-barang yang dikasih waktu Hilmi lahiran masih ada beberapa. Daripada enggak terpakai, lebih baik dijadikan kado saja, ya?” Mama saya mulai memintai pendapat sekeluarga.

Bapak: “Peralatan makan bayi ada yang masih utuh belum terbuka dan terpakai, kan? Baju-baju yang belum pernah dipakai oleh Hilmi juga ada beberapa yang sudah tidak muat, kan? Selain itu, bukannya Hilmi masih memiliki gendongan bayi yang belum terpakai sama sekali?” timpal Bapak saya dengan panjangnya.

Mama: “Memang masih ada. Mungkin baju bayi sama gendongan bayi saja, ya, yang dijadikan kado? Kalau semua dijadikan kado, bagaimana kalau Retno nanti punya anak? Barang-barang tersebut bisa saja diwariskan untuk anaknya.” balas Mama.

Bapak: (Mengernyitkan dahi), “Biar saja nanti dia bisa beli sendiri.” Bapak saya membalas ucapan Mama saya dengan agak bingung sepertinya.

Mama: (Tertawa asyik sendiri dan kemudian mengambil bungkusan kado beserta selotip dan gunting).

Saya yang sedaritadi menunggu untuk membantu, mendengar Mama saya berucap kemudia, saya jadi salah tingkah tingkah sendiri dibuatnya. Kemudian saya bengong lumayan lama sebelum akhirnya Mama saya mengagetkan saya dan saya tersadar dari lamunan saya sendiri. “Oh my god, apa yang tadi saya dengar? Pasti telinga saya sedang salah, nih? Atau Mama saya yang sedang berkhayal terlalu jauh? Ah, apa itu semacam harapan yang beliau inginkan dari saya?” pikiran-pikiran rese seperti ini mulai mengganggu otak saya. Dan untuk beberapa saat, ucapan Mama saya tadi terngiang untuk satu-dua kali. Terus berulang-ulang.

Pada bulan Maret tahun ini, usia saya baru saja genap memasuki kepala dua. Ya, dua puluh tahun. Umur-umur di mana dari yang namanya remaja yang masih labil menjadi fase remaja yang mulai tumbuh dewasa. Dalam lamunan panjang tadi, saya membayangkan saat umur saya yang masih dua pulu tahun tersebut, telah menggendong anak bayi dan mengurusi suami ketika akan berangkat kerja. Di saat itu pula status saya masih menjadi mahasiswa yang tugas-tugas perminggunya tidak bisa dihentikan seperti air hujan yang turun dengan derasnya. Saya hanya bingung sesaat saja, mengapa Mama saya bisa berpikiran seperti itu, ya? Walaupun memang hanya sekedar bercanda saja, sih.

Yang lebih membuat saya bingung lagi adalah Mama berucap seperti itu ketika saya sedang tidak mood membicarakan tentang percintaan. Pikiran saya terus berlanjut, “Baru juga kecelakaan soal cinta, ini Mama malah ngomongin masalah cucu. Seseorang yang diperjuangkan untuk masa depan saja saat ini tidak punya, ini malah bahas cucu. Pantas saja Bapak sedikit kebingungan waktu Mama berucap demikian.” protes saya dalam hati dengan imajinasi-imajinasi yang muncul di kepala saya. Sesekali saya tersenyum kecil dengan apa yang saya bayangkan.

Yang saya tahu berkat membaca-baca artikel lepas di website-website, seorang Bapak itu sedikit susah untuk melepaskan anak perempuannya. Kenapa? Soalnya Bapak itu orang yang bertanggung jawab untuk mencari nafkah, menghidupkan istri dan anak-anaknya. Ketika anak perempuannya menikah, otomatis anak perempuannya tersebut menjadi hak milik suaminya tersebut, dan Bapak tidak lagi harus menafkahi anak perempuannya itu. Dan seorang Bapak akan benar-benar melepaskan anak perempuan yang ia cintai tersebut jika jatuh ke tangan pria yang tepat; yang bertanggung jawab dan bisa mengayomi rumah tangga yang baik, nantinya. Biasanya sih, pesan para orang tua teritama Bapak itu kurang lebih tercurah seperti dalam artikel ini http://www.idntimes.com/relationship/dating/248/Nak-Sebelum-Kamu-Hidup-Bersama-Putriku-di-Masa-Depan-Mau-Kah-Kamu-Membaca-Pesanku-Ini. Jujur saja, berulang kali pun saya membacanya, saya tidak pernah bosan untuk terus mengulanginya. Silahkan dimengerti baik-baik, ya. J

Dan saya mengerti mengapa Bapak saya memasang ekspresi ‘mengernyitkan dahi’ ketika Mama berbicara tentang cucu tersebut. Tidak salah juga sebenarnya, karena memang hanya bercandaan seperti biasa namun dengan momen yang cukup berbeda. “Ah, semua ini memang gara-gara kegiatan membungkus kado, sih. Jadi mikirnya kemana-mana juga, kan.” gumam saya dalam hati sambil tersenyum ketika membayangkan kembali kata-kata Mama saya tersebut dengan imajinasi yang saya punya ketika berada di dalam kamar. Dan akhirnya saya pun terlelap dengan keadaan saya memimpikan memiliki dua orang anak yang lucu-lucu.

7 comments: