Monday 27 January 2014

Sang Pendengar.

Tubuhmu yang rapuh, dan terpancar pula dalam tatapan matamu. Matamu memandangi semua yang pernah ada sebagai tatapan yang kau gemari, namun kosong. Tak terlihat apapun di kala kamu menatap itu. Bahkan, tak ada pikiran yang jelas saat itu. Kosong, benar-benar kosong dan gelap. Tak ada setitik cahaya sedikitpun, semuanya gelap tak tergambar apapun. Terlihat tak berdaya, mungkin saat ini ku menyebut kau seperti itu.



            Kini kau lemah, semakin melemah. Kau terjatuh, merasakan sakit itu sendiri sembari menyembuhkan sang luka yang terlanjur tercipta, dan kau belajar untuk berjalan seperti normal kembali. Kau bangkit! Iya, bangkit dalam kegelapan, kekosongan! Tak mudah walaupun harus sangat amat tertatih. Hati meringis, “Oh tuhanku, mengapa harus saya lagi?”


            Awalnya, kau berjalan pincang tak beriringan. Bersusah payah menjaga keseimbangan dan menahan rasa sakit itu sendiri. Sakit, semakin sakit ketika berjalan dengan pincang pun terasa dipaksa. Tak habis pikir jika kau, seseorang yang kuat, sekarang berbalik diserang olehnya dan merasa kau adalah orang yang lemah. Dan kau pun merasa tak sanggup lagi untuk berdiri, bahkan berjalan sekedar pincang pun.


Kau, adalah sosok seorang yang tak mau untuk terlihat merepotkan. Tak ingin banyak bicara, karena kau takut membuat mereka menjadi sungkan lagi untuk berbicara. Maka dari itu, kau pun lebih senang untuk memendam dan menyimpannya sendirian. Hanya Tuhan-nyalah yang mengetahui segala permasalahan yang ada.  Kau lebih suka mendengar, daripada didengar. Karena banyak pelajaran yang dapat dipetik, walau hanya mendengar sepatah duapatah.


            Kau, adalah pendengar yang baik. Yang selalu mendengarkan cerita para sahabat tanpa berani menggurui sedikit pun, namun kau bisa banyak belajar dari pengalaman mereka. Mereka mempercayaimu, mereka senang atau bahkan menjadi kewajiban untuk berbicara hal yang bersifat rahasia kepada kau. Dan dengan bersenang hati, kau menerima dengan hati terbuka ketika mereka berrebut untuk menceritakan segala keresahan yang ada. Kau diam menyimak, walau di rasa kau sudah mulai tak mengerti dengan yang dijabarkan. Kau tetap menyimak!


            Namun, seiring berjalannya waktu, mereka semua hilang. Kemana perginya mereka? Mengapa tak ada keresahan yang bisa untuk ditampung lagi? Apa ada salah kata atau perbuatan, sehingga mereka menghilang? Dan kau pun merasa takut, akan semua pertanyaan yang muncul. Resah, gelisah dirasa bersamaan, masalah pun semakin Nampak dirasa berat ketika mereka telah tiada. Kau pun kebingungan, bingung dengan keadaan yang ada.


            Di saat dibutuhkan pun, kau selalu berusaha untuk ada, berusaha untuk bersedia setiap kala. Memberikan bantuan yang terbaik, walau pun terkadang suka dilecehkan. Namun, apa yang di dapatnya setelah sekian lama? Tak ada hukum timbal balik, kah? Selalu merasa sendiri di dalam keramaian? Dan selalu merasa asing di tengah orang yang tak asing? Di sini, dia mula merasa tak adil, namun tetap, hanya Tuhan lah yang mengetahuinya.


            Akankah ada saatnya, ketika kau belajar untuk mendengar, ada yang mendengarkan? Akankah ada saatnya, ketika kau membutuhkan bantuan atau waktu dari orang lain, mereka akan selalu ada? Lalu apa, ketika kau merasa sedang kehilangan semangat hidup, semangat untuk bangkit, mereka semua tak ada? Jangankan sosok mereka akan hadir, mendengarkan pun mereka enggan dan tak sudi? Namun, kau tetap tersenyum di hadapan mereka walaupun ada satu di antara mereka mengetahui sosok kau secara dalam dan sangat mengerti apa yang sedang menimpanya, tetapi dia pun bersikap acuh?


            Kau pun merenung, diam dalam keheningan. Menatap langit-langit dengan tatapan kosong dan otaknya berpikir keras. “Apa saya ada dan diciptakan hanya untuk dimanfaatkan? Kemana mereka, ketika saya butuhkan? Mereka hanya mencari saya, ketika mereka memerlukan saya saja. Segala suka dan duka dalam hidup, hanya bisa saya rasa dan simpan sendiri. Tak ada rasa ingin berbagi, karena mereka pun sungkan untuk mendengar saya, yang notabene-nya saya selalu berusaha untuk mendengarkan segala celoteh mereka. Bukan saya merasa perhitungan, namun saya selalu melakukannya seorang diri.” Benaknya dalam sebuah lamunan panjang.


            Naumn, ada satu hal yang kau simpulkan, “Saya memang tertutup, namun alasan ketertutupan saya cukup kuat. Saya ingin, namun takut mereka sungkan untuk mendengar.” Dan kau pun tersenyum, dan berusaha bangkit sendiri, demi segala asa dan impian. “Semua, pasti akan indah pada waktunya.” J


No comments:

Post a Comment