Thursday 16 January 2014

Aku; dimata mereka.


Aku, disaat sedang putus cinta:
“Kok bisa? Udah jangan sedih lagi, ya. Semua udah ada jalannya, kok.”
“Hmm begitu ceritanya. Yang sabar, ya. Gue gak habis pikir lo sampe sesedih ini.”
“Ciee galau, orang kayak lo bisa galau juga, ya?”
“Lo kan orang yang ceria, jadi galau versi lo gimana, ya?”
“Yaampun, tabah, ya. Gue tau lo orang yang kuat.”


Aku, disaat sedang ada masalah:
“Gue gak bisa ngasih solusi karena gue belum pernah ada diposisi lo. Banyak-banyak sabar, ya.”
“Gue bingung, sama masalah kayak begini aja disedihin.”
“Hanya sabar dan tabahlah yang bisa gue ucapkan.”


Aku, disaat sendiri, merenung dan memikirkan yang menjadi beban pikiran:
“Kenapa diem aja? Sakit? Gak biasanya.”
“Lo kenapa mendadak jadi patung gini? Atau lagi kesambet, ya?”
“Diem terus, murung terus, galau?”


            Mereka yang mengenalku, dan beberapa yang menjadi tempat kepercayaan untukku berbagi, hanya tahu sebelah sisi tentangku. Mereka berfikiran bahwa jika aku adalah seorang anak kecil yang ceria, selalu tertawa riang dan tak pernah menganggap kesedihan selalu ada dalam kehidupanku. Dan ketika aku sedang merasakan hal yang benar-benar membuat hati tidak enak, seperti halnya tiba-tiba menjadi pendiem yang ketika di tanya hanya mengandalkan jurus, gapapa kok”, mereka selalu cepat untuk mengambil kesimpulan bahwasanya aku benar-benar tidak apa-apa.


Aku, ketika sedang putus cinta. Dalam masa seperti ini, banyak dari mereka yang hanya bisa memahami keadaanku. Ini terlihat dari cara mereka menanggapi segala cerita yang kusampaikan. Lirih ku mendengarnya, karena mau tidak mau kata-kata itu lagi yang harus ku dengar, sabar”. Tak usah disuruh untuk bersabar pun, aku bisa untuk bersabar. Karena aku sudah terbiasa menerima perlakuan seperti ini.


Aku, disaat sedang ada masalah. Kalau masa ini, jujur aku lebih suka untuk memendamnya sendirian. Aku berbagi hanya kepada mereka yang kuanggap benar-benar peduli terhadapku. Karena masalahku tak lain hanya seputar permasalahan dengan keluarga dan percintaan saja, tak lebih.


Aku, disaat sendiri, merenung dan memikirkan yang menjadi beban pikiran. Dalam masa ini, aku benar-benar merasa sendirian. Dan memang benar, untuk apa ku merenung dan memikirkan beban pikiranku, beban hidupku jika aku tidak bisa berbagi kepada mereka? Mereka mungkin hanya bisa untuk mendengar tanpa mengerti keadaanku saat itu. Jadi, ku lebih memilih untuk bungkam, diam 1001 bahasa hanya karena tidak ingin membuat mereka bingung terhadap ceritaku. Dan mungkin mereka semakin bingung ketika aku sudah memasuki masa ini. Sedikit dari mereka yang bertanya, Ada apa lagi? Jangan jawab gapapa, karena gapapa itu bukan suatu jawaban yang meyakinkan.” Jarang, bahkan hampir tidak ada yang seperti ini.


Mereka, memang selalu berusaha ada tetapi tanpa memahami. Mereka, selalu menilaiku sekilas yang katanya aku itu selalu ceria dan riang. Mereka yang berbicara seperti itu, tidak pernah mau untuk memahami diriku seutuhnya. Aku bisa berdiri tegar, hanya karena tidak ingin melihat mereka bingung terhadapku. Aku bisa tertawa riang dan ceria, hanya karena aku bisa melakukan ini tanpa dilandasi rasa senang saat itu. Aku bisa menutupi semuanya, karena aku masih sanggup untuk menyimpan semuanya sendiri, menutupi segala celah agar tidak terlihat oleh orang lain, bahkan di depan orang tuaku sendiri.



Mereka semua tak pernah tahu, ada kesedihan dan kekecewaan yang besar dibalik ini semua. Yang mereka pahami hanyalah, Gadis polos itu baik-baik saja.” Merasa tertekan dan menderita, sesungguhnya. Tetapi, penilaian orang lain membuatku sedikit bangga. Bangga karena apa yang aku tunjukkan kepada mereka bisa sangat melekat pada diriku, gadis periang. Andaikan saja, mereka bisa untuk memahami sebuah tatapan mata yang lusuh dan memandangi semua cerita secara nyata, apa masih mungkin untuk mereka menganggap dan menilaiku seperti itu? Yang menguatkanku hingga detik ini adalah, komentar mereka, baik maupun buruk tentang aku, bukan isi kehidupanku.

1 comment: