Saturday 1 February 2014

Tentang Sebuah Pilihan.


           Sebenarnya, pilihan ada untuk dipilih. Merasakan kesulitan dalam sebuah pilihan bahwasannya adalah kita terlalu takut untuk menerima dan menanggung resikonya. Jika direstui oleh kedua orang tua pun, yang awalnya tak yakin, lama-kelamaan akan merasa yakin sendiri. Ini terjadi dalam perjalananku dahulu, selepas masa-masa SMA.


            Sebuah pilihan, yang sampai saat ini masih saja menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung selesai dengan kedua orang tua saya. Jujur, saya ingin berjalan pada pilihan saya sendiri, jalan hidup saya sendiri. Namun, saat itu jangankan untuk mendapatkan sebuah restu, dukungan ataupun dorongan semangat maupun doa saja saya tak mampu untuk memintanya. Hati mereka terlalu bersikeras, jika mereka memiliki keinginan, dan hidup sayalah yang akhirnya dipertaruhkan.


            Ini mengenai langkah saya ke depannya sesudah SMA, perkuliahan. Ya, perdebatan yang selalu saja memanas, kapan saja tak lain adalah tentang masalah kuliah. Memang, dalam perjalanan hidup saya, saya tak bisa menyertakan pendapat saya saja tentang pilihan saya. Namun, dari kedua orang tua saya, mereka mendengar pilihan saya, namun enggan untuk memberikan sebuah doa. Jangankan sebuah doa dan restu, sebuah dorongan atau dukungan saja mereka enggan untuk memberikan. Gak adil, namun saya masih berdiri pada pilihan saya.


            Jujur, saya memiliki ambisi yang kuat untuk melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada pada saat itu, karena tekad dan niat saya pun  untuk bisa berkuliah di sana sangatlah besar, saya sampai mengikuti kegiatan les untuk persiapan SBMPTN. Namun saya tahu, usaha saya akan terasa sia-sia karena kedua orang tua saya tak mengizinkan saya untuk kuliah di tempat yang jauh.


            Di saat dahulu mereka mengetahui ketika saya diterima di UIN Syarif Hidayatullah (read: tempat dimana sekarang saya menimba ilmu), mereka senang bukan main. Bagaimana dengan saya? Jujur, perasaan saya berkecamuk saat itu. Antara kebahagiaan saya atau kebahagiaan kedua orang tua saya, dan pilihan saya atau pilihan mereka. Di sinilah, saya merasakan fase dalam kehidupan yang tak ingin saya rasakan kembali. Saya bimbang, dilema bukan main.


            Waktu itu, pendaftaran ulang UIN, di adakan jauh sebelum pengumuman SBMPTN. Di sinilah puncaknya, puncak antara kebahagiaan dan jalan mana yang harus saya ambil. Terasa amat berat bukan main. Saya terus berfikir dan memikirkan sebelum hari H pendaftaran ulang ini; pertahankan atau lepaskan? Hanya itu, tak ada lagi.


            Hari H pun tiba, saya memutuskan untuk mengambil jalan sesuai kebahagiaan kedua orang tua saya, menjadikan pilihannya sebagai pintu dimana awal saya melangkah. Namun, saya tak melepaskan pilihanku sendiri, dahulu saya berkata seperti ini, “Yaudahlah, daftar ulang aja yang UIN. Tapi nanti, kalau-kalau di SBMPTN aku diterima di salah satu jurusannya, aku akan ambil pilihan itu sendiri.” Saat aku berucap demikian, orang tua saya marah bukan main, bukan seperti yang saya kenal. Namun, saya tetapi berdiri kokoh dalam pilihan saya. Mereka bertanya, “Mau daftar ulang, atau nunggu pengumuman lagi?” katanya ketus. Dengan fikiran tak jernih, akhirnya saya mengajak untuk daftar ulang.


            Dan benar saja, setelah pengumuman SBMPTN tiba, orang tua saya merasakan kembali bahagia;  karena saya tidak lulus pada seleksi SBMPTN. Namun tak ditunjukkannya di depan saya. Saya kecewa dengan hasilnya, juga dengan kedua orang tua saya. Mereka sanggup berbahagia di atas kekecewaan anaknya sendiri. Makin di rasa untuk tak ingin menjadi bagian dari UIN saja saat itu.


            Ya, setelah melewati rangkaian acara pra-opak dan opak, yang diberitahu saat pendaftaran ulang kemarin, akhirnya saya resmi menjadi mahasiswi UIN. Tak merasa istimewa dan bangga saat itu, karena saya berjalan bukan pada pilihan saya. Yang saya bingungkan adalah, ketika saya tak bisa memilih pilihan saya sendiri, kapan saya bisa mengambil jalan hidup saya sendiri, dan bersifat sebagai orang dewasa yang teguh pada pilihannya?


            Bukan, bukan saya menyesalkan saya harus kuliah di sini. Bukan pula karena masalah teman-teman, tapi hanya saja, saya masih belum bisa untuk menerima dan berikhlas karena UIN lah jalan hidup saya, kehidupan saya yang akan saya tempuh ke depannya. Tetapi, jika di awal saja saya rasa tak ingin dan masih belum bisa menerima semua ini, bagaimana saya akan menjalani ke depannya? Saya bergantung pada pilihan orang tua saya, pilihan yang sama sekali tak saya inginkan. Bertahan demi sebuah kunci, akankah?


            Tetapi tunggu, ada seseorang yang telah merubah pandangan saya. Entah bagaimana bisa, tapi saat itu aku mulai bisa menerima, mulai bisa untuk mencintai fisip. Entah pula ini hanya ucapan sementara atau apa, namun kala itu saya hanya ingin bertahan di sini, hanya karena untuk dirinya. Sesosok yang meneduhkan, yang memberi keyakinan bahwa saya bisa menjalani hari-hari saya selama ke depannya nanti, di fisip. “Aku ingin bertahan di fisip, bertahan dari rasa kecewa ini. Karenanyalah, aku bisa membuka mata, jikaku memang bisa untuk bertahan di sini dan melupakan semuanya.” Namun, dia tak akan pernah tahu kalau dia adalah alasan ketika saya tak mampu bertahan di fisip UIN, alasan dimana saya menyandarkan segala kekecewaan yang dahulu saya rasakan pada pundaknya. Walaupun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya, saya memilih memendamnya rapat-rapat.


            Sosok yang menjadi alasan untuk saya bertahan di fisip, akhirnya meninggalkan dunia saya. Tak pernah bisa saya paksakan memang, agar dia selalu ada untuk kehidupan saya. Jikalau dia mengetahui, alasan saya bisa kuat dan bertahan adalah karenanya, mungkin dia akan berberat hati untuk meninggalkan saya. Saya tak mau itu terjadi, karena yang saya tahu, sebelum dia meninggalkan saya, dunianya tak lagi bersama dunia saya.


            Namun, apa yang akan saya lakukan lagi setelah ini ketika alasan saya bersandar di UIN telah sirna? Mengatur ulang dari awal; menuju kampus idaman dan menelan pahitnya dilema bukan main? Atau saya harus berusaha bertahan sendirian, seorang diri, demi kebahagiaan kedua orang tua dan mempertaruhkan lagi kebahagiaan saya? Entahlah, saya tak pernah paham dan mengerti dengan jalan kehidupan saya.


            Yang pasti, ketika saya berkata, “Tahun ini mau ikut SBMPTN lagi, ya? Untuk urusan SBMPTN, ditanggung sendiri, deh.” kepada kedua orang tua saya, mereka hanya berkata, “Buat apasih? Udah enak-enak dapet kampus deket.” Namun, jikaku mengutarakan sebuah alasanku tak ada yang dapat membuat saya bertahan di sana, reaksi mereka akan seperti apa?

2 comments:

  1. sedihhhh asli:'( huhuhu:"""

    ReplyDelete
  2. beruntung seharusnya seseorang yang menjadikan alasan atas bertahanmu, tempat kamu merebahkan segalakecewa. namun sayang, dia menyakitimu.
    bersabarlah, ikhlaslah menerima semuanya. memang sudah jalannya begini, oke? :)

    ReplyDelete