Thursday 6 February 2014

Akhir Dari Sebuah Pilihan.

Bismillah...



Jikaku di izinkan kembali untuk ke Yogyakarta
Jikaku di izinkan untuk mempunyai umur panjang untuk ke Yogyakarta
Jikaku segala harap dan impianku tak sejauh Yogyakarta
Jikaku tak bisa untuk bergantung kehidupan di Yogyakarta
Dan jikalau aku ingin merebahkan segala asa dan impian, Yogyakarta menjadi tempat pilihan ku


Universitas Gadjah Mada, ingin untukku sekali lagi pergi kesana dan mengingat kembali tekad yang sempat untuk aku perjuangkan
Meminta maaf, karena aku tak bisa bergantung kepadanya kembali
Melepaskan, karena saya tak bisa hidup dengan terbayang segala kebulatan tekad
Dan pergi meninggalkan, karena langkahku tak bisa berharap padanya lagi”


            Memilih, bukanlah perkara yang mudah, apalagi memilih dengan segala kondisi yang ada. Membulatkan sebuah tekad pun, bukanlah perkara yang sangat amat mudah, apalagi pada pilihan yang tak sempurna dan tak di ingini. Sebuah pilihan baru dan pembulatan tekad secara sempurna; awal kehidupan saya yang baru. Mematangkan kepribadian dengan memilih zona tidak nyaman, harus saya hadapi sendiri. Ini mengenai masa depan saya; mengikuti kembali seleksi SBMPTN tahun ini.


            Tidak, adalah jawaban yang saya pilih. Tidak ada pertimbangan yang matang, tidak ada resiko yang saya fikirkan dari jawaban tidak, dan tidak ada pula yang ingin melihat saya berjuang di pilihan saya sendiri. Dan jujur, sampai detik ini pun, saya masih ragu dengan jawaban tidak. Karena sejatinya, saya belum membulatkan tekad (secara terpaksa), walaupun tanpa niat. Sedangkan saya harus banyak bungkam pada mereka.


            Saya mendengar beberapa percakapan yang mereka menilai sendiri sebagai, “Orang Dewasa”. Dalam obrolan orang dewasa ini, mereka yang posisinya sebagai orang dewasa, sedang membicarakan permasalahan anak kecil; saya. Samar, namun saya mengerti dan tahu maksud dari yang dibicarakan:


X: (kaget) “Mau ngapain ikutan sbmptn lagi? Bukannya mensyukuri yang ada. Kan sama-sama negeri ini.”

Y: “Katanya sih, karena dia gak terlalu paham  sama pelajaran agama di kampusnya.”

X: “Karena gak ngerti, makanya ilmunya jadi bertambah, kan? Lagian agama sendiri ini, bukan agama orang lain. Anak saya aja, di pesanternnya udah mulai di suruh hafal al-qur’an, dll. Malah lebih susah itu.”

Y:   “Entahlah.”

X: “Harusnya, belajar menjalani yang ada dan jangan mencari yang sempurna.”


            X, entahlah. Kata-katanya sulit untuk saya cerna dan terima dalam hati. Memang benar, sangat amat benar apa yang sudah di katakannya. Namun beliau sendiri, hanya memandang saya dengan satu sudut pandang saja. Dia mengaku sebagai orang dewasa, yang notabene-nya adalah pernah melaluai segala kisah seperti yang saya alami. Dia membandingkan saya dengan anaknya, yang notabene-nya, saya gak ada pengalaman bersekolah di pesantren. 


           Namun, beliau tidak pernah merasakan apa itu yang namanya kecewa, merasa putus asa, dan stress bukan main dalam satu jalur bersamaan. Beliau hanya berfikiran, “Jalan hidup kita hamper sama, untuk apa mencoba kembali jika sudah mendapatkan yang baik?”. Tanpa memikirkan, “Bagaimana dengan impian saya, yang dahulu sempat saya gantungkan setinggi dan sejauh Universitas Gadjah Mada? Tak pernahkah dia merasakan sesuatu yang sangat amat dia terobsesikan, dan akhirnya tak dapat dia raih?”. Saat itu, saya hanya berdiam diri mematung, berusaha memikirkan dan berinstropeksi diri.


            Dia memang seseorang yang dewasa, seseorang yang mengerti seluk-beluk tentang jatuh-bangunnya sebuah kehidupan. Namun, apakah dia tak pernah memiliki fikiran seperti layaknya anak kecil yang menginginkan balon, namun tak ada yang memberikannya balon? Atau anak kecil, yang berebut mainan dengan temannya dan dia kalah? Bukan, dia bukan orang dewasa. Karena bahwasannya, orang dewasa akan mengerti dan memahami segala ingin anak kecil, tanpa mengedepankan egonya dan berusaha untuk peduli terhadap keadaan anak kecil. Dia tak jauh berada satu tingkat di bawah anak kecil, nyatanya.


            Namun, saya tak memikirkan hal itu. Yang saya fikirkan adalah mengenai kata-katanya. Ibarat lidah memang tak bertulang, namun lebih tajam di bandingkan dengan pisau. Sakit sebenarnya, menerima remehan dari orang dewasa. Namun saya jadi terus berfikir dan berinstropeksi; haruskah saya menjalani dan memulai kehidupan yang baru di luaran sana?


            Mungkin, saya mengatakan tidak dalam niat dan tekad yang masih sedikit. Hal terberat kedua yang akan saya jalani kedepannya adalah mengenai pembulatan tekad, niat, serta mengurungkan sebuah niat yang telah tertata rapi sejak dahulu, sejak saya Goes To Campus ke UGM. Dan pula mengenai mengikhlaskan dan merelakan.


            Berbicara tentang mengikhlaskan maupun merelakan, jujur, jikalau di kampus saya ada 2 mata kuliah ini, mungkin saya akan mendapatkan B. Karena B tidak sesempurna nilai A, maka saya harus banyak belajar mengenai 2 hal ini secara mendalam; agar menuju nilai A yang sempurna. Mungkin inilah sebabnya saya selalu mendapatkan 2 pelajaran ini secara berulang; karena saya orangnya cukup susah temtang pembelajaran ikhlas dan rela ini.


18 dan 19 Juni 2014, 07:30 WIB.


            Dahulu saya sangat menantikan tanggal ini. Tanggal dimana saya harus bertarung dan berjuang dengan ribuan anak yang ingin menjumpai UGM; iya, Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Mungkin, dengan adanya kata tidak di atas, saya tak perlu lagi untuk menghitung mundur ke belakang; berharapkan bisa mengerjakan soal-soalnya, dan merasa takut dan cemas ketika menjelang pengumumannya.


            FISIP UIN Jakarta, pilihan orang tua saya. Di sanalah memang seharusnya saya mengabdi; menggantungkan segala harapan saya bersama harapan kedua orang tua saya di sana. Berjalan menyusuri segala ingin kedua orang tua saya. Saya juga ingin membahagiakan mereka, dengan tidak merusak harapan mereka; walaupun harus saya yang bersedia merasakan ini. Bertahan demi orang tua, demi kebahagiaan mereka, meski harus saya melawan badai; karena hidup di fisip tak semudah membalikkan telapak tangan.


            Kini haruslah saya tak mengharapkan akan bisa berjalan pada pilihan saya sendiri, yang menjadikan perjalanan ini pada suatu pintu. Tak ku lihat di samping kanan dan kiri sesuatu yang menarik; namun demi memeluk sang bulan, kerikil tajam, tanaman berduri; haruslah saya nikmati sendiri sakitnya.



           Dear, Universitas Gadjah Mada, segala impian dan asaku memang tak setinggi gedung-gedungmu. Namun percayalah, suatu saat nanti, aku akan berada jauh di atas sana; aku lah sang burung, yang selalu mengitarimu, walaupun kau tak mengetahuinya. Karena kau adalah benda mati.



            Seekor burung, memang memiliki impian yang tinggi; setinggi ia terbang, dan bebas pula rasanya. Namun, julukan yang satu ini, belum bisa aku miliki. Mungkin nanti, aku akan terbebas sendiri dalam kurunganku. Melihatmu dari dekat, dan kembali lagi pada rumah keduaku; gedung tinggimu, sang pencakar langit.



            Terimakasih pula sepatah dua patah kuucapkan, karenamu aku belajar berdiri dari badai yang sedang menyerang. Belajar untuk menyimpan rasa lelah, dengan memiliki tekad yang lebih kuat demimu. Dan belajar banyak hal lainnya, walaupun kamu hanyalah sekedar benda mati yang menjulang tinggi ke atas; karena dahulu kau pantas untuk mendapatkan perjuanganku, tekadku.



            Dear, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, maaf jikaku dahulu sempat tak memperjuangkanmu. Maaf pula, dahulu aku meragukan hidup dalam lindunganmu. Maukah kamu berjalan denganku lagi? Meniti langkah bersamaan, dan akanku jadikan kamu sebagai tempat sandaranku di kala lelah? Mungkin kamu kecewa, karenaku pernah membandingkanmu dengan yang lain. Tapi, aku minta maaf, ya? Aku memang tak bisa berjanji, namun akan ku usahakan agar aku tak begitu lagi, oke? Sekarang, kamulah tempat di mana aku dan keluargaku, menggantungkan segala angan dan cita-cita. Walaupun aku tak sebebas seperti seekor burung, namun ada doa dan restu yang bertengger di sana; di tempat kamu berdiri sekarang.



            Aku tahu, berjalan dan bertahan sendirian memang sangat tak mudah, namun akan ku buka lembaran cerita yang baru; tanpa UGM ataupun keinginan untuk berpaling darimu. Yang harus saya lakukan adalah: mempelajari seluk-beluk tentang ikhlas dan rela melepaskan keinginan yang sempat berada pada UGM, dan juga pembulatan tekad dan niat pada UINJKT…




Namun, tak bisa untukku pungkiri,  jikaku ingin untuk yang terakhir kalinya menjenguk UGM. Aku hanya ingin berucap kata, “Selamat tinggal. Maaf dan terimkasih.”

Hanya itu.



Ibu Pipit, a.k.a guru Bimbingan Konselling saya dahulu ketika saya menduduki kelas 11, menjadi panutan saya dalam mengambil keputusan kata tidak ini. Karena bahwasannya, saya sangat mengagungkan cerita lama yang pernah terkuak dahulu dalam hidupnya. Ceritanya benar-benar sama persis dengan apa yang saya alami sekarang. Dan beliau pun tetap berjalan pada pilihan kedua orangnya. Namun, ketika beliau telah menyelesaikan kuliahnya tersebut, sembari menyerahkan ijazah S1-nya, beliau berkata kepada orang tuanya, “Saya telah menyelesaikan studi saya. Ini ijazah saya, kalian boleh mengambil dan memilikinya. Saya sudah menuruti kemauan kalian. Namun mulai sekarang, jangan ganggu gugat pilihan saya lagi, ya? Saya ingin berjalan pada pilihan saya.”


            Entah mengapa, saya sangat begitu salut mendengarnya. Dan hingga kini pun, saya masih mengingat jelas, apa yang pernah beliau sampaikan kepada murid-muridnya dahulu. Dear, Bu Pipit yang terkasih, terimakasih, ya, bu? Pengalamanmu dapat ku jadikan pelajaran. Pengalamanmu juga menjadikan ku yakin, bahwasannya aku tak salah jika berjalan pada pilihan kedua orang tuaku dahulu. Dan insya Allah, jika nanti aku di izinkan untuk berjalan pada pilihanku, aku pasti berjalan sendiri. Akan ku ceritakan semuanya padamu, nanti.


5 comments:

  1. perjuangan yang besar sekali :) tetap semangat.

    ReplyDelete
  2. menyentuh sangatttt.. :'D

    ReplyDelete
  3. panutan yang hebat!

    ReplyDelete
  4. ceritanya........ kacau, bergidikkkk :)

    ReplyDelete
  5. kereeen!! :""D keep strong{} ALlah gatidur ko, Dia lihat segala perjuannganmu. jangan prnh mrasa berjuang sndirian, krena akan ada saja yg mengagumimu dari jauh, bahkan berdoa untukmu, selalu :):)

    ReplyDelete