Sunday 2 February 2014

Piringan Hitam.



Lagi, dan lagi. Aku harus melewati lorong panjang tak berujung, kerikil tajam, dan piringan hitam. Untuk sesekali lagi, aku harus melewati yang sebelum-sebelumnya pernah untuk ku lewati. Tak ada keyakinan bahkan kemauan untuk perjalananku kali ini. Bukan karena ku tak bisa meraba, tetapi aku terlalu sungkan untuk beranjak dari sini; aku masih merasa nyaman di tempat ini.



Entah ada sesuatu apa yang membuat aku nyaman berada di sini sehingga aku terbuai sendiri. Aku berdiam mematung, melihat saksi bisunya. Gelap, namun tak terlalu gelap. Karena ada sosok cahaya menyerupai bayangan yang selalu ada untuk menemani, menyertaiku di setiap langkahku. Namun tak tahu pasti untuk apa cahaya itu masih ada di sini; ketika ia memilih untuk pergi dan memilih dunianya yang baru.


Lamban laun, cahaya itu menyilaukan mataku. Aku tak bisa melihat kedepan, tak ada yang bisa untuk kulihat. Cahaya itu, dahulu sempat menjadi penuntun di setiap jalanku. Namun apakah kali ini ia ingin berbuat jahat kepadaku? Aku tak bisa apa-apa, cahaya itu terlalu menusuk ke dalam mataku.


Dahulu, ya, dahulu. Karena cahaya itu, aku enggan untuk membuka mata. Melihat ke depan atas kejadian yang akan mengguncang, hingga sekarang seperti ini. Aku tak pernah menyalahkan sang cahaya, tak pernah ku merasa menyesal karena cahaya itu telah menemani dan membuatku buta sementara. Akhirnya, cahaya itu beranjak sedikit menghilang, ia pergi ke tempat yang membutuhkannya, ke tempat gelap untuk ia terangi. Namun, memang ku akui, ia masih sedikit memancarkan sinarnya untukku. Membantu sedikit penglihatanku melalui anganku. Aku bodoh.


Dear sang Cahaya, mengapakah kau masih menyinariku? Aku takut untuk tidak terbiasa kembali dengan kegelapan; kawan sejatiku. Kau penuntunku, selalu kau temani aku. Namun sekarang, bukankah kau memilih untuk tak menerangiku lagi? Dahulu, aku pernah berkata, “Aku tak bisa menahanmu lebih lama lagi untuk duniaku sendiri, jika kau jenuh, maka pergilah.” Dan sekarang, kau pun telah pergi. Namun, mengapa sisa-sisa dari cahayamu itu, tak kau bawa sepenuhnya? Aku hanya takut tak terbiasa dalam kegelapan lagi. Kau merasa kasihan terhadapku? Tak perlu, aku tak suka untuk kau kasihani. Ini jalanmu, pilihanmu. Sesal, tak kan ada akhirannya. Jika kau inginkan pergi, pergilah. Terangi dunia seseorang yang patut dan pantas untuk kau terangi. Bawa pergi pula semua cahayamu yang berada di duniaku. Aku hanya perlu beradaptasi dengan waktu, hinggaku mulai terbiasa kembali dengan dunia ku yang gelap, yang menyeringai.


Entahlah, aku tak tahu apa dan bagaimana. Mungkin cahaya ini tahu namun enggan untuk mengerti. Aku harus keras terhadap duniaku sendiri, karena orang lain pun begitu keras dengan duniaku; padahal mereka tak tahu dan mengerti apa-apa tentang di dalamnya.  Aku harus mulai belajar untuk beradaptasi dengan gelap. Aku tak ingin, jika dahulu duniaku selalu terpancar cerah, dan ketika sekarang mendadak untuk gelap seketika, aku merasa trauma untuk merasakan gelapnya lagi.


Akan ku coba..

1 comment:

  1. sedihnyaaa :')
    tapi cahayamu, pasti akan selalu menerangimu, walaupun kamu tak mengetahuinya atau sedang merasa kegelapan. cahaya selalu perasa...

    ReplyDelete