Jujur,
sedihlah waktu harus menulis cerita selama seminggu kemarin.
Siapa
bilang orang yang habis bepergian jauh; tujuh hari dalam seminggu itu ketika
sesampainya di home sweet home alias
rumah kecil yang sederhana, tidur adalah pilihan yang tepat untuk dilakukan?
Kalian salah. Karena jika hanya sekedar capek ketika berada diperjalanan, capek
yang dirasa tidak terlalu berarti. Lalu,
kalau bukan tidur, apa yang harus dilakukan? Oh, jelas sekali jawabannya
adalah, “bersih-bersih rumah.” Yap tepat sekali. Rumah akan ‘meraung’ manja
ingin dibersihkan ketika ditinggal oleh pemiliknya selama itu.
Yaaap, tahun ini saya berlebaran di
kampung halaman orang tua saya di salah satu kecamatan kecil di daerah Jawa
Timur, yaitu Pacitan. Mengapa saya menyebutnya dengan kampung halaman orang tua
saya? Karena saya tidak memiliki kampung halaman. Saya lahir dan besar di
Ciledug, Tangerang, sebenarnya. Namun, karena kedua orang tua saya merupakan
orang Jawa, maka saya memiliki darah Jawa.
Wah,
asyik dong, bisa mudik tahun ini?
Oh tentu jelas, karena sebenarnya di kampung halaman orang tua saya itu, banyak
sekali cerita masa kecil saya dan bisa juga dibilang sebagai kampung halaman
saya sendiri. Kenapa? Karena pada dahulu, ketika saya masih kecil dan belum
memiliki seorang adik, bisa dibilang setiap tahunnya ketika waktu lebaran tiba,
saya diwajibkan untuk mudik. Saya hanya bisa menduga-duga saja jawabannya
mengapa harus setahun sekali; mungkin karena kedua orang tua saya belum
terbiasa mengurusi anak pertamanya, masih tidak bisa jauh dari kedua orang
tuanya (yaitu, kakek dan nenek saya), atau memang sengaja meluangkan waktunya
untuk bersilaturahmi ke kampung halamanya tersebut.
Kenapa saya bisa bilang, “Kampung
halaman kedua orang tua saya merupakan kampung halaman saya juga selain ketika
saya kecil, setiap tahunnya saya pasti mudik?” Karena jujur saja, di kampung
halaman orang tua saya tersebut, saya bisa bebas berekspresi. Bebas berekspresi
di sini maksudnya bukan bebas berkarya, bukan. Tapi saya bisa bertindak
selayaknya anak-anak desa lainnya. Seperti, mengganggu ayam yang sedang
mengerami telurnya, mengejar-ngejar dan berusaha menangkap anak ayam, memberi
makan sapi dan kambing, bahkan hal gila seperti membakar sampah bisa saya
lakukan di dalam rumah, tepatnya di dapur. Terlihat norak, ya? Itulah mengapa saya katakan, mengapa saya bisa bebas
berekspresi di rumah kakek dan nenek saya. Hal-hal
yang mustahil saya lakukan di rumah, menjadi mungkin ketika berada di rumah
kakek dan nenek.
Berbicara tentang membakar sampah di dalam dapur itu sebenarnya
bukan benar-benar tumpukan sampah yang menggunung kemudian dibakar dengan api,
bukan itu maksudnya. Jadi, sistem memasak di sana itu terbilang masih cukup
tradisional, walaupun ada beberapa rumah yang menggunakan kompor dan gas
elpiji. Rata-rata mereka menggunakan tungku untuk mematangkan makanan dengan
cara dimasak. Dengan bermodalkan kayu-kayu yang ada di sekitaran rumah dan
sebatang korek api, mereka dapat menghasilkan api yang cukup besar. Besarnya
api tergantung dengan seberapa banyak kayu yang digunakan. Nenek saya pun masih
mempertahankan cara memasak dengan menggunakan tungku ini.
Selain kayu yang dapat digunakan,
sampah-sampah seperti plastik ataupun kertas dapat menambah semangat api untuk
semakin berkobar. Kobaran api ini dapat memberikan suatu kehangatan di tiap
pagi harinya ketika udara di sana dapat menembus tulang-tulang saya; ya,
dinginnya bukan main. Karena memang di sana benar-benar dingin, saya bisa berdrama layaknya seperti orang-orang Korea;
mengeluarkan uap dari mulut saya. Bukan, bukan asap rokok. Tapi uap yang keluar
dari mulut saya dapat dilihat dengan mata telanjang karena efek dari udara
dingin di sana. Whoa, merasa lucu saja melakukan hal-hal yang tidak bisa saya
lakukan di Tangerang.
Dalam rentang tujuh hari atau
seminggu, empat hari saya habiskan untuk berada di kampung halaman orang tua
saya. Dua hari disisakan untuk waktu perjalanan dari rumah ke kampung,
begitupun sebaliknya. Butuh waktu dua puluh jam waktu tempuh agar bisa sampai
ke rumah kakek dan nenek, itupun tanpa hitungan macet. Karena jarak sekitar 650
KM, bukanlah jarak yang dekat dan pasti membutuhkan waktu yang lama. Sudah
begitu, miris sejujurnya melihat kabar berita yang isinya tentang arus mudik
yang macet. Makin lemas saja rasanya. Oke, jadi kronologi perjalanan saya
selama kurang lebih seminggu kemarin.
Day I: Takbir Lebaran.
Allahuakbar,
Allahuakbar, Allahuakbar. Laillahaillallahu Allahuakbar. Allahuakbar walillahu ilham.
Begitu suara takbir yang berkumandang dan menggema di sekitaran rumah saya. Ya,
letak rumah saya dengan masjid tidak begitu jauh. Jadi saya bisa mendengarkan kumandang
takbir tersebut dan meresapinya hingga ke dalam hati. Tak terasa hari ini sudah
lebaran dan seluruh umat muslim dapat menyelesaikan kewajiban berpuasanya
selama tiga puluh hari; walaupun sebagian wanita pasti masih memiliki hutang
puasa. Dan, Alhamdulillah sekali
sholat sunnah idul fitri tahun ini saya tidak berjalan ke masjid sendirian.
Tahun ini saya bersama Mama saya berbarengan melangkahkan kaki ke masjid. Wah,
hadiah lebaran untuk saya, sih, ini namanya.
Setelah selesai menunaikan ibadah
sholat sunnah idul fitri, saya dan keluarga saya bergegas pergi ke lapangan
bulutangkis atau yang biasa tetangga-tetangga saya sebut sebagai ‘taman’
ataupun ‘joglo’ untuk bersalam-salaman dan bersilaturahmi. Suasana pada saat
itu terasa sekali kekeluargaannya dan tentu saja ramai sekali, karena hanya
beberapa tetangga saya yang mudik sebelum lebaran tiba. Setelah selesai
bersalam-salaman dengan tetangga yang lain, keluarga saya pulang dengan secepat
kilat. Mengapa harus terburu-buru? Ya, karena saya harus membereskan
barang-barang bawaan saya ke dalam mobil dan melaksanakan sarapan pagi. Horee,
akhirnya mudik juga.
Setelah selesai mengepakkan barang
bawaan, untuk sesekali lagi kami sekeluarga berpamitan kepada tetangga yang
tinggal dekat rumah sekaligus menitipkan rumah takut-takut ada hal yang tidak
diinginkan. Setelah semua ritual itu berjalan dengan semestinya, saya bergegas
menaiki mobil dan berangkat. Pada waktu itu, jam menunjukkan pukul 09:15 WIB.
Saya tidak langsung pergi untuk memulai perjalanan. Namun, saya menjemput
saudara saya dulu yang akan bermudik bersama keluarga kami ke Ciledug.
Sesampainya di Ciledug itu sekitar pukul 11:15 WIB dan langsung bersalaman
sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga di sana. Perjalanan dua jam dari BSD
ke Ciledug. Cukup lama memang, karena bukan hanya kami saja yang bermudik
seusai sholat ied, tetapi masih banyak yang pemudik yang bertebaran di jalan,
termasuk dengan yang mengendarai motor.
Kami semua masih berada di sekitaran
Tangerang Selatan pada pukul 13:00 WIB, benar-benar masih didominasi oleh
kemacetan yang ada. Baru benar-benar bisa berjalan sedikit longgar ketika
sampai di tol. Namun, berjalan di jalanan yang lenggang itu tidak begitu lama.
Karena setelah keluar dan tidak jauh dari pintu keluar tol, mobil-mobil pribadi
mewarnai jalanan pada hari itu. Ya ampun,
lagi-lagi macet lagi macet lagi. Dan akhirnya saya mencoba untuk tertidur selama
kemacetan tersebut, tapi tidak bisa karena matahari yang tidak mau mengalah
pada para pemudik dan terus bersinar terik di atas kepala. Cuaca panas sekali, walaupun AC juga sudah full. Namun, saya
berusaha menikmatinya hingga akhirnya saya tertidur sendiri.
Saya sempat terbangun sekitar pukul
02:30 WIB. Saya terbangun karena sedikit mulai sedikit terdengar perbincangan
antara Bapak saya dengan Pakde saya. Mereka berdua meributkan jalan mana yang
harus ditelusuri hingga sampai Pacitan. Posisi kami semua saat itu sedang
berada di Solo, Jawa Timur. Perlu waktu kurang lebih dua jam untuk sampai ke
Pacitan. Bapak saya bergegas turun dan bertanya kepada warga sekitar kemana
arah yang seharusnya ditempuh. Tak lama, mobil kembali berjalan dan saya tidak bisa
meneruskan tidur saya kembali. Akhirnya saya memandangi jalan di depan yang
gelap dan hanya diterangi dengan cahaya dari lampu seign mobil. Tak lama kemudian, entah mengapa saya bisa tertidur
kembali.
Day II: Kami Sekeluarga Telah
Sampai, Kek, Nek.
Saya membuka mata untuk yang kedua
kalinya ketika mendengar orang-orang di mobil sedang riuh. Ternyata, kami semua
sudah sampai pada tujuan kami, yaitu rumah Kakek dan Nenek di Pacitan! Wah, excited bangetlah denger warga-warga
sekitar membangunkan saya dari tidur saya dengan obrolan khas mereka yang
menggunakan bahasa Jawa. Saya pribadi hanya bisa sedikit mengerti dan
menanggapi jika diajak berbicara dengan bahasa Jawa, selebihnya terkadang saya
menjawab pertanyaan mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Setelah itu
kami sekeluarga berjalan ke arah rumah Kakek dan Nenek saya. terutama saya,
saya berjalan dengan sedikit sempoyongan karena memang efek baru bangun tidur
dan tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengumpulkan nyawa. Saat itu
denting jam menunjukkan pukul 05:45 WIB.
Udara yang dingin dengan cepat
menyadarkan saya dari ketidaksadaran saya setelah bangun tidur. Seketika badan
saya menggigil bukan main dan membuat mata saya jadi melek. Padahal, sekitaran
jam enam pagi di sini, matahari sudah menunjukkan sinarnya. Namun entah mengapa
cuacanya bisa sedingin ini. Mungkin saja karena rumah Kakek dan Nenek saya
terletak di dekat pegunungan, maka dari itu dinginnya bukan main. Lalu saya
menghampiri Nenek saya ke dapur yang sedang memasak. Saya ingin melakukan
‘pendekatan’ dengan tungku yang sedang sibuk dengan api yang digunakan Nenek
saya untuk memasak. Dan saya pun hanya dapat berdiam diri di depan tungku
perapian tersebut merasakan hangatnya tulang-tulang saya yang menggigil tadi. Ah… Hangatnya.
Saya bergegas untuk membersihkan
diri pada pukukl 07:30 WIB dengan menggunakan air hangat mengingat udara pada
jam segitu pun masih dingin-dinginnya. Sesudah selesai mandi, saya bergantian
dengan Mama dan Adik saya yang kecil, kemudian Bapak, dan Adik saya yang kedua.
Setelah mandi, kami awalnya berencana untuk berlebaran sekaligus bersilaturahmi
dengan keluarga Bapak di Punung, sama-sama masih masuk kecamatan Pacitan, Jawa
Timur. Namun, rencana itu berubah karena Bapak yang sedari kemarin harus
berlelah-lelah untuk menyetir dan belum tidur sama sekali seharian penuh.
Yasudah, akhirnya kami semua memutuskan untuk memejamkan mata sejenak untuk
membuang rasa kantuk, kecuali saya. Saya sibuk di dapur mengganggu Nenek saya
memasak dan Kakek saya yang sedang duduk dan asyik dengan rokok di tangannya.
Setelah Adik saya yang kecil
terbangun dari tidurnya, saya bergegas mengajaknya untuk pergi ke kandang
kambing yang letaknya berada di belakang rumah. Saya mengajarinya bagaimana
cara memberi makan dengan rerumputan yang telah tersedia di sana; tentu saja
Kakek dan Nenek saya yang mencari panganannya dan sengaja di simpan di sebelah
kandang kambing sebagai cadangannya. Ketika saya melihat ke kandang kambing
tersebut, jujur saya kaget bukan main. Pada tahun 2013, tepatnya tiga tahun
yang lalu, ketika saya menginap di rumah Kakek dan Nenek selama sebulan penuh
dan bermain dengan kambing-kambing ini, jumlahnya masih terhitung banyak. Ada
sekitar tujuh ekor kambing yang dirawat oleh Kakek dan Nenek saya. Namun,
ketika sekarang saya melihat kandang kambing tersebut, hanya tersisa dua ekor
kambing. Satu ekor kambing dewasa yang gendut bukan main, dan satu lagi
merupakan anak kambing yang lucu dan imut. “Wah, semakin betah saya melihat ada
anak kambing satu di sini.” gumam saya dalam hati.
Tak terasa sore pun tiba. Masih
terbilang sore pun udara di sini sudah mulai dingin dengan angin kencang dan
sepoi-sepoi yang khas seperti hari-hari sebelumnya. Setelah saya mandi sore,
lagi-lagi saya harus duduk di depan tungku memasak Nenek saya agar tidak
menggigil lagi. Memang setelah duduk di depan tungku tersebut, bau bakaran akan
tercium di seluruh baju ataupun celana panjang yang saya kenakan. Namun, saya benar-benar
tidak mempedulikan akan hal itu, yang saya pedulikan adalah saya hangat ketika
duduk di sini. Makin cinta deh sama
tungku api ini yang sudah memberikan kehangatan kepada saya. (Lebay, mode:
on).
Pukul 17:45 WIB merupakan waktu
adzan berkumandang untuk sholat Maghrib.
Jadwal sholat di sini memang terbilang lebih cepat dibandingkan jam
sholat di wilayah Jakarta. Saya bergegas untuk mengambil air wudhu dan
melaksanakan sholat maghrib. Sehabis sholat, kami semua makan malam. Wah, sudah
lama saya tidak merasakan masakan buatan Nenek saya. Mama dan Nenek saya jago
memasak. Namun, rasa dari keduanya punya kekhasannya sendiri-sendiri. Mungkin
perbedaan cara memasak yang mempengaruhi rasa makanan itu sendiri. Mama saya
menggunakan cara modern untuk memasak, yaitu dengan kompor gas, sedangkan Nenek
saya cenderung tradisional dengan menggunakan tungku api dengan kayu bakar.
Perbedaan keduanya dapat terlihat jelas dengan rasa yang dimainkan dalam setiap
makanan yang dibuatnya.
Setelah selesai dengan makan, saya
langsung menyikat gigi dan berwudhu untuk menunaikan ibadah sholat Isya. Setelah
sholat isya, kami semua berkumpul di ruang tamu hanya sekedar untuk menonton
televisi dan menyatukan kebersamaan. Lucunya ketika di kampung itu, ketika
waktu menunjukkan pukul 20:00 WIB, mata saya seperti disihir dan merasa sangat
mengantuk. Maka dari itu, saya tidak pernah tidur larut ketika berada di rumah
Kakek dan Nenek saya. Mungkin, cuaca dingin yang membuat saya mengantuk.
Akhirnya saya memutuskan untuk tidur. Saya tidur dengan Nenek saya di kamarnya.
Kakek saya mengalah dengan tidur di ruang tamu tersebut. Padahal saya tidak
tega melihat Kakek kedinginan tidur di luar kamar. Namun, Nenek memberikanku
pengertian bahwa Kakek sering sekali untuk tidur di ruang tamu. Akhirnya saya
lega mendengarnya dan kemudian memejamkan mata.
Day III: Maaf Baru Sempat
Berkunjung; Teruntuk Keluarga Besar Bapak.
Selamat pagi! Wah, lagi-lagi hari
ini saya harus terbangun dengan keadaan menggigil kedinginan. Ditambah semakin
menggigil ketika saya harus mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh
pada pukul 05:15 WIB. Asli, berasa memegang air es yang beku banget waktu saya
berwudhu tersebut. Dengan secepat kilat saya berlari untuk memakai mukena.
Setidaknya mukena juga dapat menghangatkan seperti perapian yang ada ditungku
Nenek. Setelah selesai sholat, saya menghampiri Nenek di daput dan duduk di
depan perapian tersebut. iya, pagi-pagi sekali nenek saya sudah memasak api.
Jadi saya bisa menghangat diri saya dengan hangatnya ketika Nenek memasak. Dua
jam kemudian, saya membersihkan diri, masih dengan menggunakan air hangat.
Hari ini saya akan pergi ke Punung,
tempat semua saudara dari Bapak saya tinggal. Kami sekeluarga berpakaian dengan
rapih karena akan pergi bersilaturahmi sekaligus berlebaran dengan
keluarga-keluarga besar Bapak di sana. Saya tidak lagi memiliki Kakek dan Nenek
dari pihak Bapak. Karena Kakek dari Bapak meninggal ketika saya masih berumur
lima tahun, dan Nenek saya juga pergi meninggalkan saya di saat saya berumur
kurang lebih sebelas tahun. Sedih yang saya rasakan ketika mereka berdua tidak
bisa menemani saya lagi ketika saya mendapati kesempatan untuk bermudik. Karena
saya telah kehilangan kasih sayang dari dua orang yang saya sayangi.
Kami pergi pada pukul 09:20 WIB dari
kampung Mama saya yang berada di Donorojo, Jawa Timur. Matahari memang terik
menyinari, namun angin kencang pun tak ragu untuk menemani kami sekeluarga hari
itu. Saya berkunjung dari satu rumah saudara, ke rumah saudara yang lainnya
dengan memakan waktu kurang lebih tujuh jam. Selama tujuh jam tersebut, secara
terus menerus saya selalu saja disuruh makan oleh Pakle ataupun Bukle di sana.
Entah hanya sekedar makanan ringan hingga makanan berat sekali pun, saya terus
disuruh makan oleh keluarga besar Bapak. Ingin menolak pun tidak enak dan
takutnya mereka justru kecewa dengan saya karena masakan yang telah masak dan
siapkan untuk keluarga kami, tidak akan habis dan jatuhnya akan terbuang. Mau
tidak mau, ingin tidak ingin, saya harus menuruti mau mereka. Yang saya
pikirkan adalah tugas berat untuk menuruni berat badan ketika sesampainya di
Tangerang Selatan, nanti.
Kami sekeluarga selesai
bersilaturahmi pada pukul 16:15 WIB dan pulang ke rumah Kakek dan Nenek dari
pihak Mama. Sesampainya di rumah, saya langsung melaksanakan sholat Ashar dan
seselesainya saya menghampiri Adik saya yang kedua. Dia terlihat sedang fokus
dengan apa yang ditontonnya. Saya bergabung dengannya untuk menonton televisi
dan baru pergi untuk mandi setengah jam kemudian. Rutinitas setelah mandi tak
pernah berubah dari dulu hingga sekarang, yaitu duduk di depan tungku api dan
membakar semua sampah yang ada di sekitaran ketika Nenek saya sedang memasak.
Kurang kerjaan memang, namun tidak ada yang bisa melarang saya untuk melakukan
hal itu.
Day
IV: “Terhanyut Aku Akan Nostalgia Saat Kita Sering Luangkan Waktu Nikmati
Bersama Suasana Yogya.” ˗ Yogyakarta, by: Kla Project.
Sebenarnya tujuan saya tiga tahun
yang lalu menginap dan memutuskan untuk tinggal di kampung adalah untuk
menunggu agar saya dapat pergi ke Yogyakarta, Jawa Tengah. Dari Pacitan,
diperlukan waktu kurang lebih tiga jam dengan jarak tempuh kurang lebih 90
kilometer. Dan saya begitu senang sekali ketika saya tahu mendapati kesempatan
untuk berlebaran ke kampung halaman orang tua pada tahun ini. Pikiran kedua
saya langsung mengarah ke Yogyakarta saat mengetahui akan berlebaran di
kampung. Serius, senang bukan main. Akhirnya, penantian saya selama kurang
lebih empat tahun (selepas saya pergi mengunjungi kampus-kampus daerah Jawa dan
sempat mampir ke Malioboro, Yogyakarta sewaktu kelas 11 SMA), akan terwujud
juga; mengunjungi Malioboro lalu ke Universitas Gadjah Mada untuk melepas
rindu, akan terealisasi. Entah mengapa harus Yogyakarta, UGM, atau pun
Malioboro, sekalipun saya memiliki permintaan terakhir yang akan terwujud, saya
hanya ingin untuk terakhir kalinya pergi mengunjungi Yogyakarta.
Namun pil yang amat pahit bernama
kekecewaan harus saya telan sendiri dan mentah-mentah. Segala impian dan mimpi
untuk ‘yang terakhir’ kalinya terpaksa harus dibatalkan secara sepihak oleh
kedua orang tua saya. Jujur saja, kalau saat itu juga saya diperbolehkan untuk
berteriak sekencang mungkin, saya akan berteriak selama mungkin untuk
mengeluarkan segala kekecewaan saya. Menangis sekencang dan
sesengguk-sesenggukkannya. Dan berlari sejauh mungkin, kalau perlu berlari
hingga kota Yogyakarta. Entahlah, saya merasa teramat hancur saat itu ketika
pada hari ini saya tidak jadi pergi ke Yogyakarta, terlebih ke Malioboro.
Alasannya sangatlah klasik sekali: macet dengan pemudik yang melewati arah
Yogyakarta. Benar-benar alasan yang ringan dan tidak bisa diterima akal sehat
saya pada hari itu juga. Serius, jika memang saya punya keberanian untuk
melawan kedua orang tua saya dan jika saat itu sedang tidak berada di rumah
Kakek dan Nenek, saya akan nekat untuk kabur dan pergi sendirian ke Yogyakarta.
Kekecewaan yang saya rasakan membuat
saya mengurung diri di kamar seharian penuh. Ya, saya ngambek dengan keputusan
sepihak tersebut dan mimpi yang telah tertata selama empat tahun yang gagal
begitu saja. Sehingga rencana yang pada hari itu telah diputar oleh Bapak saya;
pergi ke pantai, harus dibatalkan juga. Rencana pergi ke pantai tak saya
ketahui sama sekali dan saya hanya mendengar bahwa pergi ke pantai pun tidak
jadi. Akhirnya, hanya orang tua dan Adik-adik saya saja yang pergi, dan saya
dengan sengaja tidak ingin ikut. Pergi juga hanya sekedar melayat dan
berjalan-jalan tidak jelas seusai melayat. Saya saat itu tidak merasa sama
sekali menyesali karena tidak ikut melayat, karena rasa kecewa saya yang begitu
dalam membuat saya buta akan segalanya.
Sepulang keluarga saya pergi, mereka
membelikan mie ayam yang terkenal enak di Pacitan, mie ayam pak Bowo. Mereka
merayu saya untuk tidak marah lagi sembari menyodorkan bungkusan mie ayam
tersebut. Mengingat sedari pagi saya belum makan, akhirnya saya mengambil mie
ayam tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan segera meloyor pergi ke
dapur dan memakannya di sana. Suasana antara saya dan kedua orang tua masih
terbilang kaku, hingga keesokan harinya suasana mulai mencair dan tidak
diam-diaman lagi.
Day V: Ngapain, nih, Kita?
Hari ini hari paling gabut dari
seminggu hari-hari lain selama kami masih berada di sini. Tidak ada rencana
untuk pergi berlibur ke pantai atau goa, atau untuk sekedar berjalan-jalan
mencari bakso pada sore hari seperti hari pertama saja, tidak. Benar-benar
hanya aktivitas biasa seperti di rumah yang dijalani pada hari ini. Yang berbeda
hanya ketika saya memberi makan kambing dan sapi. Lagi-lagi aktivitas memberi
makan kedua peliharaan Kakek dan Nenek. Namun tak mengapa, saya senang
menjalani aktivitas yang tidak bisa saya lakukan di rumah.
Ya, memang tidak berbeda terlalu
jauh seperti hari pertama saya menginap di rumah Kakek dan Nenek. Bedanya hanya
terletak pada siang hari, saya membantu Nenek saya untuk membuat jadah untuk
dibagikan kepada tetangga-tetangga di rumah sebagai oleh-oleh. Kalian pasti tau
jadah, kan? Pastilah. Saya tidak tahu mengapa harus jadah, makanan yang
dijadikan sebagai oleh-oleh. Selain membuat jadah, saya juga membuat entik. Nah,
kalau entik pasti banyak yang tidak tahu. Jadi, entik itu terdiri dari kelapa
dan singkong yang diparut kemudian dicampurkan dengan telur ayam. Tambahannya berupa
gula dan garam secukupnya agar rasanya berimbang. Dan kaliah tahu? Rasanya itu
uenaaak tenan! Seperti nugget yang
dijual di pasar-pasar tradisional atau modern. Bedanya entik ini renyah sekali
rasanya dan lembut.
Saya membantu Nenek saya untuk
memarut kelapa dan singkong dengan dibantu oleh Mama saya. Kami berdua berkutat
dengan kerjaan masing-masing. Tidak berapa lama kemudian, ada insiden ketika
memarut. Iya, tangan Mama saya terparut dan berdarah. Dengan terpaksa saya yang
menyelesaikan semuanya. Buah tidak jatuh dari pohonnya, dong. Tak berapa lama,
jari saya juga berdarah. Namun, tidak separah Mama saya. luka yang saya punya
hanya sekedar lecet kecil di bagian jari tengah. Saya dengan santai melanjutkan
pekerjaan hingga selesai. Setelahnya, parutan kelapa dan singkong tersebut saya
serahkan kepada Nenek saya untuk diproses.
Semua bahan sudah siap untuk
digoreng pada sore menjelang malam hari. Saking enaknya makanan ini, ludes
tidak lebih dari sejam. Wah, jadi laku keras nih? Biasanya makanan ini
dijadikan cemilan dikala santai. Oke, setelah kami semua merasa kekenyangan,
kami semua merasa mengantuk saat sedang menonton televisi bersama. Jam menunjukkan
pukul 19:50 WIB pada waktu itu. Dan satu persatu semua yang berada di dalam
rumah bergegas untuk pergi tidur. Masih sama seperti kemarin-kemarin, kami
tidur benar-benar dalam keadaan yang sangat dingin. Brrr..
Day VI: Haruskah Kita Berpisah
Sekarang?
Asli, sedihnya bukan main-main. Sedihnya
lebih dari rusaknya suatu barang berharga. Sedih, benar-benar sedih. Susah sekali
untuk diungkapnkan dengan tulisan, apalagi dengan kata-kata. Mengapa bisa
sesedih ini? Ya, karena saya harus kembali ke BSD, Tangerang Selatan, di mana
tidak ada lagi aktivitas menghangatkan diri di depan tungku api, tidak bisa
memberi makan sapi atau pun kambing, bahkan saya tidak bisa lagi berbicara
dengan diri sendiri seperti orang gila. Tiap kali saya diberi kesempatan untuk
mudik, selalu saya gunakan sebagai ajang instroopeksi diri. Mengoreksi diri
sendiri dengan cara-cara yang cukup aneh bagi saya. semisal, berbicara pada
diri sendiri, mengirim surat untuk diri sendiri, bahkan melamun dan mendengar
suara-suara alam yang ada di sekitar seperti desiran angin, menjadi cara saya
untuk menginstropeksikan diri. Dan biasanya, cara-cara seperti ini terlihat
ampuh bagi saya.
Dan, pada hari ini saya harus
berpisah. Berpisah dengan Kakek dan Nenek saya, berpisah dengan kambing dan
sapi yang biasa menemani saya berbincang, bahkan berpisah dengan tungku api
yang lengkap dengan bara apinya. Terkadang, saya mendapat suatu pelajaran yang
tak terduga dari benda-benda mati yang berada di sekitaran. Namun, sekarang ini
saya harus pergi jauh dengan benda-benda yang telah berjasa dan cukup mengambil
andil selama saya berada di rumah ini. Hal paling sedih ketika para tetangga
menunggui kami sekeluarga menaiki mobil dan ketika mobil telah berjalan, mereka
semua melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan.
Sebenarnya, saya mulai masuk kuliah
pada tanggal 31 Agustus 2015. Kurang lebih masih ada sebulan lebih waktu saya
untuk libur. Saya ingin sekali, benar-benar ingin sekali untuk menetap selama
liburan itu; berusaha menghabiskan waktu liburan di kampung sama seperti empat
tahun yang lalu. Namun, kedua orang tua saya lagi-lagi melarang saya. Padahal, jika
diizinkan pun saya berada di tangan yang aman dan tepat; yaitu Kakek dan Nenek
saya. sama seperti empat tahun yang lalu, pasti mereka berdua bisa menjaga
saya, selama saya masih betah berada di kampung. Lagi-lagi, alasan klasik yang
terlontar dari mulut kedua orang tua saya membuat saya sedikit kecewa. Kalian tahu?
Alasannya adalah, “Nanti kamu berani pulang sendirian?”
Bulan Maret tahun ini umur saya
genap menjadi dua puluh tahun. Selama dua puluh tahun belakangan ini banyak
sekali pengalaman hidup yang dapat saya petik untuk dijadikan pembelajaran. Salah
satunya ketika empat tahun yang lalu. Ketika menjelang masuk kuliah, saya mau
tidak mau harus pulang dari rumah Kakek dan Nenek saya menuju ke BSD. Pada saat
itu usia saya enam belas menuju tujuh belas tahun. Saya pulang dengan diantar
oleh Kakek dan Nenek saya sekaligus mereka ingin melihat cucu mereka yang
kecil; Adik saya yang kecil. Selama perjalanan pulang tersebut, pengalaman yang
ada tidak begitu saja saya lewatkan. Saya memperhatikan semua detilnya ketika
pulang bersama Kakek dan Nenek saya pada empat tahun yang lalu.
Yang saya bingungkan adalah alasan
klasi kedua orang tua saya yang tidak bisa dicernah oleh akal sehat saya. Bukankah
yang harus saya lakukan hanyalah duduk manis di bis, meratapi jalanan panjang
yang memubuat saya dan kampung semakin jauh, dan menjaga diri. Di umur saya
sekarang ini, kedua orang tua saya masih susah untuk memberikan saya izin dan percaya
sepenuhnya dengan saya. Dua puluh tahun sudah mereka merawat saya, namun mereka
seperti tidak melihat saya tumbuh besar dan berkembang. Seakan-akan saya masih
balita di mata mereka.
Oke, sekian kalinya saya harus
benar-benar mengalah kepada orang tua, juga pada keadaan yang ada. Saya melangkahkan
kaki ke arah mobil dengan beratnya, seperti ada yang memegang kaki saya. saya
benar-benar tidak rela harus pulang hari ini, karena sejujurnya waktu emapat
hari di sana seperti dua jam dalam seumur hidup saya. Ditambah lagi, berita-berita
di televisi menyiarkan pemberitaan arus balik yang macet. Makin enggan saja
rasanya saya untuk pulang pada hari itu. Saya memalingkan wajah dan tidak
melihat wajah-wajah mereka semua yang melepas kepergian mobil kami dengan
lambaian tangan. Karena sejujurnya, di setiap lambaian tangan mereka, tersimpan
air mata yang bersikeras untuk mengalir dikedua pipi saya.
Day VII: Bersih-Bersih, Yuk!
Day VII: Bersih-Bersih, Yuk!
Dan benar saja, akses jalan menuju
rumah benar-benar padat namun dapat berjalan dengan merayap. Rasanya jalanan
sesak sekali dengan mobil-mobil para pemudik yang ingin kembali ke rumah mereka
masing-masing. Dengan memakan waktu seharian diperjalanan, akhirnya kami semua
sampai di rumah. Lelah bukan main menghadapi kemacetan yang ada. Namun, lelah
dan letihnya kami bukanlah suatu hambatan untuk membersihkan rumah yang kotor. Suasana
rumah tampak terlihat berdebu dan kotor; tidak seperti saat kami sekeluarga
meninggalkan rumah. Akhirnya kami semua berkeja bakti membersihkan rumah. Saya kebagian
menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian.
Setelah tugas-tugas tersebut saya
lakoni, saya menemani Bapak saya untuk ke bengkel. Karena usut punya usut, ban
mobil yang sebelah kanan belakang kempes. Belum lagi mobil terlihat kotor
sekali. Setelah pergi ke bengkel dan mengganti ban yang bocor itu, saya dan
Bapak saya mencari tempat untuk mencuci mobil. Lumayan lamalah menunggu hingga
bagian kami, kurang lebih tiga puluh menit karena antriannya lumayan panjang. Setelah
selesai mencuci mobil, saya dan Bapak saya segera meluncur ke Pondok Indah
untuk mengembalikan mobil yang kami sewa untuk pulang kampung kepada rekan
Bapak saya. Dengan saya membatalkan jadwal bersepedah saya di sore hari, hitung-hitung
saya ikut Bapak saya untuk bersilaturahmi dan berlebaran. Karena sudah lumayan
lama saya tidak ke Pondok Indah hanya sekedar melihat begitu sepinya
rumah-rumah yang berada di sana.
Setelah berbincang sebentar dengan
teman-teman Bapak saya, saya dan Bapak saya memutuskan untuk sholat Ashar
terlebih dahulu sebelum pulang. Setelah sholat, Bapak saya memanaskan motor
yang tidak pernah dipakai selama seminggu tersebut agar mesinnya panas. Setelah
itu, kami berdua bergegas pulang. Diperjalan ketika pulang, mulut saya tidak
bisa berhenti untuk berkomat-kamit dan saya tidak berani untuk membuka kedua
mata saya. Kalian tahu kenapa? Iya, karena Bapak saya mulai gila membawa motor.
Pepet sana, pepet sini. Salip sana, salip sini. Membuat jantung saya berdetak
tidak menentu dengan uji adrenalin bersama Bapak saya. Serius, naik motor
dengan Bapak saya jauh lebih menyeramkan ketimbang wahana halilintar yang
berada di Dufan sekaligus. Beneran, deh, saya tidak bohong…
hmmmm...... ..
ReplyDeletepjg jg tlsnny hhe tpi sy bca smp hbs & bnr" mnyentuh :"<
ReplyDeleteWADDUHH .... :O
ReplyDeleteT_T
ReplyDelete