Dea, untuk sesekali lagi melirikan
kedua bola matanya ke arah sumber suara. Matanya dengan begitu cepat dan kompak
melihat handphone jadul kesayangannya itu. Ia menghentikan
aktivitas mengetik yang sedang dikerjakan untuk memenuhi tugas dari si dosen killer. Seketika Dea melupakan
dosen ter-killernya itu dan
menebarkan senyuman manis yang tidak dapat di lihat oleh siapapun, kecuali handphone kesayangannya tersebut. entah
apa yang ia baca atau lihat, selalu begitu setiap handphonenya berbunyi.
Dea Anindya, merupakan salah satu mahasiswi
dari perguruan tinggi negeri di bilangan Jakarta. Ia merupakan mahasiswi yang
terbilang biasa saja dengan kesederhanaan yang dimilikinya. Otak yang tidak
terlalu pintar, tidak begitu rajin, tidak cantik, namun ia baik. Ia akan merasa
begitu rajin karena dia memiliki sesuatu yang unik, yaitu sikap ‘panik’ yang
dia punya. Sebenarnya, Dea bingung mengapa harus dilahirkan dengan memiliki
sikap yang panikan seperti itu. Ia jadi merasa kurang bisa untnuk teliti di
setiap tugas, bahkan sikap panikan ini membuat Dea selalu ceroboh.
Kecerobohan Dea terlihat ketika pada
suatu hari, dia sudah telat masuk kelas untuk mata kuliah dosen tercintanya
yang killer itu. Setelah memarkirkan
motornya dengan sembarang, ia berlari terburu-buru tanpa mengindahkan kunci
motornya tersebut. Dea baru benar-benar sadar ketika dia sudah berada di depan
kelas, “Oh iya! Kunci motor gue!” Alhasil, mau tidak mau dia harus kembali ke
parkiran motor untuk mengambilnya, dan mulai berlari kembali menuju kelas
layaknya orang yang kesetanan.
Walaupun Dea orang cukup ceroboh,
tidak terlalu pintar, tidak cantik, dan tidak rajin, dia memiliki beberapa
orang teman yang selalu membuatnya selalu bahagia untuk setiap harinya. Salah
satu teman dari beberapa temannya itu bernama Awan Anindito. Awan adalah teman
Dea sejak awal masuk universitas tersebut. dia orang yang sangat baik, setia
kawan, pendiam, dan memiliki sifat yang lemah lembut terhadap wanita, termasuk
Dea. Maka dari itu, ketika Dea merasa sudah tidak tahan dengan sifat ceroboh
yang dimilikinya, Awan selalu datang tepat waktu untuk menenangkan Dea.
Menginjak permulaan semester tiga,
semuanya masih berjalan normal dan seperti hari-hari biasanya. Satu bulan
berlalu, keadaan yang dijalani oleh Dea dan Awan tak lagi sama. Dea yang
mengetahui Awan menyukai seseorang wanita dan terus berusaha untuk mendapatkan
hatinya, harus mengubru dalam-dalam perasaannya itu. Pasalnya, orang yang
dicintainya tersebut telah memiliki pasangan dan sudah berjalan sejak dua bulan
belakangan ini. Sangat menyakitkan untuk Awan ketika mengetahui hal tersebut.
wanita itu pun hanya sekedar member harapan-harapan palsu agar Awan tidak pergi
dan terus berapa di hidupnya. “Licik, benar-benar licik.” ujar Dea dengan
geramnya karena telah membuat temannya terpuruk.
Setelah kejadian itu, Awan yang
sekarang bukanlah Awan yang Dea kenali dulu. Awan yang selalu bisa membuat Dea
merasa tenang ketika ia sedang tidak tahan dengan sifat cerobohnya, harus bisa
menenangkan diri sendiri. Karena Dea pun tahu, Awan sedang tidak bisa diganggu
untuk saat-saat ini. Awan selalu terlihat murung dan menyendiri walaupun
suasana di sekitarnya sedang ramai. Dea yang banyak berhutang budi dengan Awan
karena dia selalu membuatnya tenang, membuat Dea tidak bisa berduam diri begitu
saja. Dea harus menghibur Awan agar bisa kembali seperti dulu lagi dan tidak
terus-terusan terpuruk dalam keadaan terpuruk seperti ini.
Niat Dea untuk menghibur Awan
sepertinya berjalan dengan sempurna. Awan tidak terlalu terlihat begitu sedih
lagi sekarang walaupun ada beberapa momen di mana mata Dea menangkap sosok Awan
sedang melamun di saat keadaan kelas sedang riuh-riuhnya. Dengan cepat Dea
mengagetkannya dan kemudian mereka tertawa bersama seolah-olah mereka melihat
acara komedi yang lucu sekali.
Semakin hari, Dea dan Awan semakin
dekat. Lebih dekat dari sebelumnya. Entah apa yang membuat mereka berdua bisa
sedekat ini. Kedekatan mereka berbeda dengan awal mereka berkenalan dan menjadi
teman. Berbeda, benar-benar berbeda. Lambat laun, kedekatan mereka dicurigai
oleh sebagian anak-anak di kelas. Entah apa yang membawa kecurigaan terhadap
Dea dan Awan, mereka benar-benar sangat curiga dan terus mendesak apa yang
terjadi di antara kami berdua dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
Sebulan kemudian,
pertanyaan-pertanyaan konyol dari sebgaian anak-anak di kelas tersebut
mendapati titik cerah. Mereka menemukan jawaban atas rasa penasaran mereka
selama ini terhadap Dea dan Awan. Benar, mereka sudah menjadi sepasang kekasih
sekarang. Entah apa yang membuat Dea meng-“iya”-kan tawaran dari Awan. Beberapa
anak-anak di kelas justru ada yang tidak percaya bahwa mereka berdua telah jadian.
Hari-hari yang Dea lewati sangatlah
berwarna dengan seseorang yang dapat menjaga hati dan perasaannya tersebut.
Bahkan, jika dapat Dea memetik bintang untuk Awan, akan dia lakukan dengan
setulus hati. Awalnya, Dea sempat ragu untuk mulai melangkah bersama Awan.
Bukan apa-apa, namun Awan adalah teman dekat sekaligus teman akrabnya dahulu.
Orang yang pendiam dan kadang bisa berubah menjadi sebegitu menyebalkan, namun
begitu menenangkan saat Dea sedang tak tahan dengan sifat cerobohnya itu. Orang
yang begitu bisa membuat Dea menggelengkan kepalanya karena mau saja hanya diberikan
harapan palsu oleh seorang wanita. Dan orang yang tidak terduga karena telah membuat hari-hari Dea
begitu berbeda selama seumur hidupnya.
Dea, untuk sesekali lagi melirikan
kedua bola matanya ke arah sumber suara. Matanya dengan begitu cepat dan kompak
melihat handphone jadul kesayangannya itu. Ia menghentikan
aktivitas mengetik yang sedang dikerjakan untuk memenuhi tugas dari si dosen killer. Seketika Dea melupakan
dosen ter-killernya itu dan
menebarkan senyuman manis yang tidak dapat di lihat oleh siapapun, kecuali handphone kesayangannya tersebut. entah
apa yang ia baca atau lihat, selalu begitu setiap handphonenya berbunyi.
Pesan singkat itu masuk memenuhi notification dihandphone Dea. Siapa lagi kalau bukan dari Awan? Orang yang telah
berhasil mengukir senyum dibibir maupun di hati Dea secara tersembunyi tanpa
diketahui oleh orang lain. Ketika mereka berada di kampus, Awan dapat melihat
senyum riang yang terpancar dari wajah Dea. Namun, ketika mereka harus kembali
ke rumah masing-masing, senyum yang dipersembahkan Dea masih sama seperti Awan
melihat Dea di kampus. Tapi bedanya, Awan tak bisa melihatnya secara langsung.
Hanya bisa merasakannya saja.
Cukup lama hubungan mereka terjalin,
selalu manis terasa bagi Dea ketika melewati setiap detik dalam hidupnya
bersama Awan. Segala canda dan tawa selalu Awan berikan agar Dea terlihat
bahagia, begitu pula sebaliknya. Dea yang awalnya ragu dan tidak yakin akan
bisa menjalin hubungan bersama Awan, akhirnya ia dapat meyakinkan dirinya
sendiri dan tidak lagi memiliki keraguan sama sekali untuk melangkah bersama
menuju masa depan.
Namun, daun yang layu pun lama
kelamaan jika selalu diterpa oleh angin yang kencang, akan copot dari
rantingnya dan terhempas ke tanah. Begitulah hubungan antara Dea dan Awan saat
ini. Mereka adalah pasangan yang jarang sekali untuk bertengkar. Namun sekalinya
bertengkar, semuanya akan hancur dan pecah seperti saat seseorang secara tidak
sengaja menjatuhkan piring beling ke lantai. Hanya faktor “ketidaksengajaan”
tersebut, semua hancur berserakan. Mereka berdua sama-sama terkena pecahan
belingnya; mereka sama-sama terluka, karena sama-sama telah saling menyakiti.
Perpisahan yang terjadi di antara
mereka merupakan suatu “tamparan” bagi Dea. Dea sama sekali tidak memikirkan
dirinya sendiri. Ia sangat khawatir terhadap Awan mengenai luka yang diterima
atas perbuatan dirinya. Dea takut nantinya Awan akan menemukan seseorang yang tidak tulus dalam mengobati lukanya. Dan
juga, Dea selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang telah terjadi. Memang,
memang semua kesalahan ada ditangan Dea. Tapi akhirnya, ia berusaha mengalah
pada keadaan dan tidak mengeluarkan sifat keras kepalanya atas semua yang telah
diperbuatnya.
Gelang pemberian dari Awan sebelum
mereka menjadi sepasang kekasih pun sampai saat ini masih dengan setia
mengikuti kemana pun langkah Dea pergi. Padahal, Awan sendiri telah member kebebasan
untuk gelang itu kepada Dea, entah dilepas atau disimpan. Tetapi Dea lebih
memilih untuk menggunakan gelang tersebut. Alasannya cukup unik bahkan lucu,
dia berkata ketika ada orang yang menanyakan,
“Gelang ini udah lama banget nangkring dipergelangan tangan kanan
gue. Gue gak pernah ngelepas gelang ini kecuali saat mandi aja. Jadi, ya lo tau
sendiri gimana cintanya gue sama gelang ini. Udah gitu setiap saat gelang ini
bener-bener bisa ngerasain denyut nadi ditangan gue ini. Dan lagi, pernah suatu
ketika gue lupa untuk mengenakan gelang ini setelah mandi, rasanya ada yang
kurang, gitu. Abisan, gelang ini selain bisa jadi aksesoris ditangan gue, gue
kadang-kadang kalo iseng melintirin tali gelang ini. Liat aja, tali gelang
kemungkinan sebentar lagi akan putus. Dan kalo putus nanti gelang ini pun akan
gue simpen, bersama yang lainnya.” ujarnya
dengan panjang lebar seraya menunjukkan gelangnya yang berwarna-warni itu.
Selain
itu, hanya gelang itu yang bisa mengingatkannya kepada Awan. Segala canda tawa
yang telah dia terima hanya akan terlihat secara tersirat melalui gelang
tersebut. Sejujurnya, Dea masih tidak bisa untuk jauh dari Awan. Dua tahun yang
mereka lewati bersama, tak memiliki arti apa-apa ketika hati mereka sama-sama
menyimpan luka. Dea merasa sangat-sangat bodoh karena telah melakukan suatu “ketidaksengajaan”
yang akan menjauhkannya dengan Awan walaupun dalam status berteman sekalipun,
karena Dea merasa piring yang telah terjatuh dan hancur berkeping-keping akan
utuh kembali seperti saat-saat terdahulu.
Tetapi Dea sangat bersyukur dan
sangat berterimakasih sekali terhadap Awan. Karena Awan pernah mengajari
sesuatu yang tak pernah diterima oleh Dea melalui cowok lain. Awan juga telah
berhasil membuat Dea tertawa dan menangis, keduanya merupakan paket lengkap
dalam hal percintaan. Dan Dea diberitahu bagaimana arti bertahan kala sakit oleh Awan. Baginya, Awan seperti awan-awan yang
berada di langit, sulit untuk diraih. Namun ketika berhasil diraih, ia dapat
meneduhkan dan menenangkan segala-galanya. Dan ketika ketika Awan merasa sakit,
ia akan menghilang bagaikan gas dan terus berjalan beriringan di atas sana.
Ada sebuah puisi yang Dea bikin
untuk Awan:
Selamat
Jalan, Awan Putih
Indah dirimu
menemani sang matahari
Tatapanmu seakan
terlihat putih suci
Hadirmu bak
penyejuk di siang bolong
Tak perlu lagi ku
bersembunyi di kolong-kolong
Kau peneduh dikala hujan
yang deras
Dan penenang dikala
badai menghadang
Selalu saja ingin
berusaha dengan keras
Hingga hidupku pun kau singgahi
dan datang
Semua terasa nyaman
ketika kau ada
Bagai syair yang
membutuhkan nada
Kau berada di
sini bagaikan peneduh
Setiap detik seperti detak jantungku yang tak tentu
Namun kau sekarang telah
pergi
Tinggalkan seluruh hidup
dan sang hati
Terbang sejauh dan
setinggi mungkin
Bergabung dengan
awan-awan yang lain
Tak berhak dan
tak bisa ku melarang
Ibarat diriku
sendiri terkena boomerang
Menatapmu pergi
dan semakin menjauh
Membuatku meratap
dan tak merasa utuh
Untuk seseorang yang
kumaksud, yaitu Awan
Sepatah duapatah kuucapkan
terimakasih terdalam
Mengenalmu bagaikan
bermimpi di pagi buta, dan
Memilikimu adalah
anugerah terindah dari sang pencipta
“Selamat
jalan, Awan-ku. Semoga kelak kau akan temukan seseorang yang akan benar-benar
dengan tulus mengobati luka dihatimu
atas perbuatanku tersebut. Maafkanku karena telah melukaimu tanpa maksud dariku,
secuil apapun itu. Kini, antara langkahku dan langkahmu sudah tak lagi
beriringan, arah yang kita tentukan telah berbeda jauh 360º. Jaga dirimu
baik-baik, Awan. Dan carilah wanita yang mampu mengayomimu dan wanita tersebut
bisa menuntunmu ke jalan yang lebih baik lagi, nantinya.”
“Akan
sangat sulit ku mencari penggantimu saat ini maupun nanti. Terbanglah. Terbanglah.
Terbanglah. Sampaikan pada sang matahari bahwa kita tak bersama lagi dan aku
akan dengan senang hati menerima panas terik dari matahari tersebut tanpa ada
lagi yang meneduhkan. Jangan katakana padanya bahwa kau bersedih karena kita telah berbeda jalan, sekarang. Tunjukkan bahwa kau bahagia dan
siap melangkah lagi ke depannya. Jangan kau tengok lagi ke belakang, karena
akan selalu ada aku yang memperhatikanmu dari belakang sana, walaupun jarak itu
semakin jauh di setiap harinya.”
“Selamat
jalan, Awan…”
Tutup Dea mengakhiri tulisannya yang
begitu dalam. Pesan nan tulus yang tidak akan tersampaikan kepada Awan. Pesan yang
tak pernah bisa untuk dimengerti oleh Awan. Dan pesan yang tak akan pernah
dibahasnya lagi, karena telah berakhirnya hubungan antara Dea dan Awan. Dea memasukkan
selembar puisi tersebut ke dalam kotak kardus di dalam kamarnya. Di mana kotak
kardus tersebut merupakan semua barang-barang pemberian dari Awan, kecuali
gelang yang sampai saat ini masih ia kenakan di pergelangan tangan kanannya…
Goodbye, Awan. See you again...
sedih bacanya
ReplyDeletebagus"
ReplyDeletewuah, keren critanya ...
ReplyDeleteOMGGG
ReplyDeletetrrharuu :|
ReplyDelete