Hallo
semua!
Hari ini saya mau cerita (dan mungkin agak sedikit panjang). Tapi saya mohon,
biarkan saya bercerita; mencurahkan segalanya. Karena jujur, saya bingung ingin
membagi cerita ini pada siapa. Memaksa badan untuk beristirahat juga tak bisa;
otak saya penuh sekali dengan memori dan kata-kata yang perlu dicurahkan. Ah,
maaf kalau tulisan kali ini bahasanya agak rancu; saya tidak bisa mengetik
tanpa membasahi kedua pipi saya. Pun dengan pikiran yang tenang.
Jadi, saya akan menceritakan tentang kakek
saya. “Lho, kok soal kakek?” Yaa,
karena sumber tulisan ini ada pada kakek dari mama saya. Perokok berat, itulah
kakek saya. Serius, tiap menit hobinya itu menghisap tembakau; dari saya masih
kecil hingga saya berusia duapuluh tiga tahun ini. Disuruh berhentipun tak bisa
sama sekali; mungkin gambaran rokok di sini seperti narkoba yang bikin candu. Akibat
dari keseringan merokok tersebut membuat kakek saya suka merasakan sakit
kepala; jadilah segala macam obat pereda nyeri kepala diembatnya.
Puncaknya
terjadi setahun belakangan ini. Sudah tidak bisa lepas dari rokok, tak bisa
pula lepas dari obat. Setiap pusing melanda, kakek saya mencari pelampiasan
dengan merokok. Kalau sudah kepalang kabut, selesai merokok baru minum obat. Hal
tersebut dilakukannya berulang. Akhirnya, kakek saya benar-benar merasa pusing
yang teramat seminggu belakangan ini. Karena tak kunjung sembuh, akhirnya
dibawalah kakek saya ke rumah sakit di Pacitan, Jawa Timur (karena kakek saya
memang berasal dari Pacitan).
Semakin
memburuk keadaannya yang ditunjukan dengan trombosit darah makin menurun,
akhirnya keluarga saya menyarankan keluarga di sana untuk meminta tambahan
trombosit darah. Entah dilakukan atau tidak, yang pasti mama saya paling bawel
menyarankan hal tersebut. Jujur, selama seminggu tersebut keadaan dalam rumah
rasanya aneh. Perasaan deg-degan, panik ketika menerima pesan singkat, dan
sedih berbaur menjadi satu. Saya tahu betul bagaimana perasaan mama pada
saat-saat itu. Saya diam namun memperhatikan situasi dan kondisi saat itu. Maklum,
saya anaknya agak polos soalnya.
Sabtu, 20 Oktober 2018
Hari
ini adalah hari paling kisruh. Telepon genggam milik mama tak hentinya berbunyi
menandakan telepon dan pesan singkat masuk. Mama selalu saja terlihat murung
hari ini setelah mendengar kabar dari kakek; tatapannya kosong namun terlihat
berkaca. Saya perhatikan, pola makannyapun terlihat tidak bernafsu. Jujur saya merasa
hancur melihat mama begini. Bingung harus melakukan apa agar mama setidaknya
bisa sedikit terhibur dikala kesedihannya. Tahu film Dancing in the Rain? Yaaa, jadi saya berinisiatif untuk mengajak
seluruh keluarga menonton film tersebut. Mama sempat menolak dengan alasan, “Jangan sekarang-sekarang, Ret. Takutnya kakek
kenapa-kenapa.” Memang, feeling
seorang anak sangat tajam. Saya tidak menjawab, hanya diam sembari berpikir. “Yasudahlah. Masih ada lain waktu,”
begitu ucap dalam hati.
Minggu, 21 Oktober 2018
Pagi
harinya berjalan seperti biasa dan hari ini jatah bapak saya untuk libur
bekerja. Tidak ada yang aneh dengan itu semua. Justru saya merasa aneh dengan
diri saya sendiri yang terus-terusan menanyakan keadaan kakek saya kepada mama.
Keadaan kakek saya masih sama seperti kemarin; tidak mau minum obat dan disuruh
makanpun susah. Lalu sekitaran pukul 09:30 WIB mama nyeletuk, “Film yang mau ditonton ada gak yang di
Bintaro?” Saya sedikit kaget mendengar ucapan mama. “Lho? Memangnya jadi nonton film bioskop?” Akhirnya jadilah hari ini
menonton film. Bagi saya pribadi, film tersebut memang sedih seperti yang
dikatakan oleh orang-orang. Tapi lebih sedih lagi kejadian-kejadian yang akan
saya ceritakan ini.
Setelah
selesai menonton, saya dan keluarga memutuskan untuk makan. Pulang ke rumah
adalah tujuan terakhir selepas makan. Sesampainya di rumah, mama diberi kabar
kalau keadaan kakek saya sudah tidak bisa berbicara dan tidak bisa bernafas
melalui hidung karena merasa sesak. Saat itu saya yang sedang menjemur pakaian
hanya bisa istighfar dalam hati saja. Kenapa harus istighfar? Karena pikiran
saya sudah aneh-aneh dan kemana-mana. Puncak terdahsyatnya adalah ketika sore
hari saat saya mandi.
Karena
saya masih merasa kenyang karena makan tadi, akhirnya saya memutuskan untuk
tidak makan lagi. Rutinitas saya ketika tidak akan makan lagi adalah menyikat
gigi. Saya ingat betul waktu saat itu sepuluh menit sebelum adzan untuk sholat
maghrib berkumandang. Saya berucap dalam hati dengan beratnya, “Ya Allah, jikalau Engkau ingin mengambil
kakek saya, ambilah dengan tanpa rasa sakit. Saya ikhlas,” sempat
terpikirkan, “Apakah kakek saya begitu
sulit karena orang-orang sekitar belum ikhlas melepaskan?” Lalu lima menit
kemudian, adik saya memberitahu saya, “No,
kakek sudah meninggal.” Langsung kaget dan refleks mengucapkan kata, “Innalillahi wa inna ilaaihi rajiun.” Tak
lama setelah saya mengucap, kumandang adzan terdengar.
Asli,
pikiran saya buyar semenjak saat itu. Bapak dan adik-adik saya pergi ke masjid
setelah adzan selesai berkumandang. Di rumah hanya ada saya dan mama; tapi saya
tidak tahu sedang apa dan bagaimana keadaannya setelah kabar tersebut karena
saya masih mandi. Sebenarnya mama sedang sibuk membereskan pakaian yang akan
dibawa karena memang ada niat untuk pulang kampung. Setelah saya selesai mandi,
mama berkata. “Nanti jangan berantem ya
selama mama pulang kampung.” Saya hanya terdiam mendengar kata-katanya
sembari memperhatikan matanya.
Tetangga
satu persatupun yang mendengar kabar kalau kakek saya meninggal mulai
berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Di sini yang membuat hati saya miris dan
terasa sakit sekali. Setiap kali ada yang bertanya, akhirnya tangis mama pecah.
Jujur saat itu rasanya saya juga ingin menangis; tapi saya berusaha kuat agar
mama tidak bertambah sedih dan khawatir. Tiap tangisnya, saya memeluk dan
membelai rambut serta punggungnya agar sedikit tenang. Air matanya yang
mengalir deras saya usap lembut agar berhenti. Entah setiap orang yang datang
langsung untuk bertanya atau keluarga-keluarga yang mulai menelepon ke telepon
rumah, selalu disertai air yang banjir membasahi pipinya.
Saya
bisa katakan kalau mama ini pembohong ulung; di depan saya dan keluarga
terlihat baik-baik saja dan memang terlihat tangisnya tertahan. Namun ketika
ada orang lain yang bertanya, pecah juga tangisnya. “Ma, setegar apapun itu, mama tidak akan bisa membohongi perasaan mama.”
Repot, benar-benar repot dan kalang kabut packing
dengan suasana hati yang benar-benar runyam. Hampir-hampir tangis sayapun ikut
pecah, namun saya masih bisa menahannya.
Maaf, Ma, Aku Menyesal. Sangat...
Sesuai
dengan sub-babnya, saya benar-benar teramat menyesal dan merasa kesal dengan
diri sendiri. Andai, sehari sebelumnya saya tidak mengajak keluarga menonton
film dan hanya berdiam diri di rumah sembari menunggu kabar, mungkin akhirnya
tidak akan seperti ini. Andai, saat mama mulai ingin menonton film tetapi saya tolak
ajakannya. Yah, semua penuh dengan
kata andai; waktu tak bisa terulang kembali. Kata “andai” hanya akan membuat
diri semakin menyesal. Percaya, deh! Saya salah, merasa sangat bersalah di
sini...
“Maaf, Ma. Boleh jujur? Baru kali ini saya lihat
mama menangis terisak-isak seperti itu. Baru kali ini saya lihat mama begitu
rapuh dan terlihat tidak fokus seperti itu. Sakit, rasanya sakit sekali melihat
mama seperti itu. Saya benar-benar merasakan bagaiimana jika posisi saya berada
di posisi mama; mungkin akan lebih hancur dari apa yang mama rasakan. Rasanya hancur,
benar-benar hancur melihat mama menangis tak hentinya; seperti ada yang hilang
dari diri mama. Bukan hanya mama saja yang merasa kehilangan, sayapun. Karena saya
juga dekat dengan Almarhum kakek.”
Terimakasihku untukmu, Kek...
“Dear, Alm. Kakek
Di Surga...
Kek, selamat jalan. Semua rasa sakit terlepas sudah dari
tubuhmu. Kali ini hanya ada kebahagiaan saja, ‘kan, kek? Semoga seluruh amal
ibadahmu selama di dunia di terima oleh Allah SWT. InsyaAllah, keluarga dekat
maupun keluarga jauh di sini akan selalu mendo’akanmu. Tenang-tenang di sana
ya, kek? Kasih tahu aku, dong, kek, surga itu seperti apa? He..hee.
Kek, terimakasih untuk segala memori manisnya, ya! Kakek ingat,
tidak, pada tahun duaribu tigabelas saya pernah menginap di sana selama
sebulan? Saat itu bulan-bulannya saya galau ditinggal mantan saya dan akhirnya
mengisolasikan diri ke kampung. Bulan itu juga bertepatan dengan bulan puasa. Kakek
ingat, setiap sahur kakek selalu bangunin aku? Bahkan menemani aku sahur
(bersama nenek juga) sembari merokok? Bahkan di saat berbuka puasapun kakek
nemenin aku makan, loh! Kakek memang tidak puasa, namun sangat amat menghormati
saya yang puasa sendirian di rumah itu. Ah.. Jujur aku terharu sekali.
Tak banyak yang saya ingat tentangmu, kek. Karena banyak
kenangan manis justru ketika saya masih kecil. Hanya beberapa yang saya ingat,
ketika saya memberi makan kambing-kambingmu lalu kakek menemani aku. Mungkin karena
takut aku kenapa-kenapa, ya? Ah, tenang saja, kek. Saya cewek jagoan, kok. He..he.
Kek, sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas
segala-galanya. Terimakasih untuk segala kebaikannya, kemurahan hatinya, dan
kepeduliannya terhadap saya. Maaf, beribu-ribu maaf saya ucapkan karena masih
belum bisa menjadi cucu yang baik dan diharapkan.
Kek, maaf juga kalau lebaran tahun ini hanya bisa meminta
maaf melalui sambungan udara saja. Sebenarnya ada keinginan yang kuat untuk
pulang kampung; entah, rasanya menggebu-gebu sekali. Tetapi, orangtua saya
memiliki prinsip untuk berlebaran dua tahun sekali. Sedangkan, tahun duaribu
tujuhbelas lalu saya dan keluarga sudah pulang kampung. Terselip rasa
penyesalan kembali di hati ini. Andai, tahun ini bisa pulang kampung; akan
menjadi lebaran terakhir untuk kita.
Kek, tenang-tenang di sana. Rasa sakit kini sudah tak
menggerogoti tubuhmu lagi sekarang. Sampai jumpa di lain waktu, kek! Saya sayang
kakek...”
Inhale. Exhale.
YA Allah . .turut b'duka cita sedalam"ny y k. .smg klrg yg d tinggalkan dbri ketabahan, .. aamiinnnnn ...
ReplyDeleteInnalilahi . Turut berduka cita. Semoga amal & ibadah beliau ditrima di sisi-Nya . Amin ya Rabb ..
ReplyDeleteIky bsdih mb .. yg tabah y mb ..
ReplyDeleteSemangattth !!!!
ReplyDelete