Oke,
kejadian ini sebenarnya terjadi pada beberapa hari yang lalu, tepatnya di saat
kami sekeluarga sedang asyik-asyiknya untuk packing.
Yeay! Benar sekali! Lebaran pada tahun ini kami sekeluarga berencana untuk
berlebaran di kampung halaman orang tua saya, lebih tepatnya di rumah nenek
saya yang berkediaman di daerah Pacitan, Jawa Timur. Asyik, asyik, mudik!
Sebenarnya tujuan kami kesana bukan
saja hanya sekedar berlebaran dan bersilaturahmi dengan para keluarga besar. Salah
satu saudara saya dikabarkan akan memiliki anak, dan itu anak pertama bagi
mereka! Congrats! Maka dari itu,
selain berlebaran di sana, kami sekeluarga pun akan kedatangan sanak keluarga
baru. Asyik, punya mainan baru~ *eh
Untuk menyambut anak dari saudara
saya tersebut ke dunia, setelah selesai packing
tersebut, Mama saya terlihat agak
sibuk dengan kegiatan lainnya. Saya berusaha untuk mendekati dan menanyai apa
yang sedang dilakukannya. Sisa satu langkah untuk mendekati Mama saya, saya
telah mengtahui apa yang beliau lakukan tanpa lagi harus bertanya. Iya, Mama
saya sedang memilah-milah barang-barang adik saya yang ketiga; Hilmi, untuk
dijadikan kado. Eh, tapi bukan kado ulang tahun, ya, maksudnya.
Sebelum memilih barang-barang yang
akan dijadikan kado, sempat ada perbincangan yang seru antara keluarga kamu,
begini:
Mama: “Kira-kira mau ngasih kado apa,
ya? Ini barang-barang yang dikasih waktu Hilmi lahiran masih ada beberapa. Daripada
enggak terpakai, lebih baik dijadikan kado saja, ya?” Mama saya mulai memintai
pendapat sekeluarga.
Bapak: “Peralatan makan bayi ada yang
masih utuh belum terbuka dan terpakai, kan? Baju-baju yang belum pernah dipakai
oleh Hilmi juga ada beberapa yang sudah tidak muat, kan? Selain itu, bukannya
Hilmi masih memiliki gendongan bayi
yang belum terpakai sama sekali?” timpal Bapak saya dengan panjangnya.
Mama: “Memang masih ada. Mungkin baju
bayi sama gendongan bayi saja, ya, yang dijadikan kado? Kalau semua dijadikan
kado, bagaimana kalau Retno nanti punya anak? Barang-barang tersebut bisa saja
diwariskan untuk anaknya.” balas Mama.
Bapak: (Mengernyitkan dahi), “Biar saja
nanti dia bisa beli sendiri.” Bapak saya membalas ucapan Mama saya dengan agak bingung sepertinya.
Mama: (Tertawa asyik sendiri dan
kemudian mengambil bungkusan kado beserta selotip
dan gunting).
Saya
yang sedaritadi menunggu untuk membantu, mendengar Mama saya berucap kemudia,
saya jadi salah tingkah tingkah sendiri dibuatnya. Kemudian saya bengong lumayan lama sebelum akhirnya
Mama saya mengagetkan saya dan saya tersadar dari lamunan saya sendiri. “Oh my
god, apa yang tadi saya dengar? Pasti telinga saya sedang salah, nih? Atau Mama
saya yang sedang berkhayal terlalu jauh? Ah, apa itu semacam harapan yang beliau
inginkan dari saya?” pikiran-pikiran rese
seperti ini mulai mengganggu otak saya. Dan untuk beberapa saat, ucapan Mama
saya tadi terngiang untuk satu-dua kali. Terus berulang-ulang.
Pada
bulan Maret tahun ini, usia saya baru saja genap memasuki kepala dua. Ya, dua
puluh tahun. Umur-umur di mana dari yang namanya remaja yang masih labil
menjadi fase remaja yang mulai tumbuh dewasa. Dalam lamunan panjang tadi, saya
membayangkan saat umur saya yang masih dua pulu tahun tersebut, telah
menggendong anak bayi dan mengurusi suami ketika akan berangkat kerja. Di saat
itu pula status saya masih menjadi mahasiswa yang tugas-tugas perminggunya
tidak bisa dihentikan seperti air hujan yang turun dengan derasnya. Saya hanya
bingung sesaat saja, mengapa Mama saya bisa berpikiran seperti itu, ya? Walaupun
memang hanya sekedar bercanda saja, sih.
Yang
lebih membuat saya bingung lagi adalah Mama berucap seperti itu ketika saya
sedang tidak mood membicarakan
tentang percintaan. Pikiran saya terus berlanjut, “Baru juga kecelakaan soal
cinta, ini Mama malah ngomongin masalah cucu. Seseorang yang diperjuangkan
untuk masa depan saja saat ini tidak punya, ini malah bahas cucu. Pantas saja
Bapak sedikit kebingungan waktu Mama berucap demikian.” protes saya dalam hati
dengan imajinasi-imajinasi yang muncul di kepala saya. Sesekali saya tersenyum
kecil dengan apa yang saya bayangkan.
Yang
saya tahu berkat membaca-baca artikel lepas di website-website, seorang Bapak itu sedikit susah untuk melepaskan
anak perempuannya. Kenapa? Soalnya Bapak itu orang yang bertanggung jawab untuk
mencari nafkah, menghidupkan istri dan anak-anaknya. Ketika anak perempuannya
menikah, otomatis anak perempuannya tersebut menjadi hak milik suaminya
tersebut, dan Bapak tidak lagi harus menafkahi anak perempuannya itu. Dan seorang
Bapak akan benar-benar melepaskan anak perempuan yang ia cintai tersebut jika
jatuh ke tangan pria yang tepat; yang bertanggung jawab dan bisa mengayomi
rumah tangga yang baik, nantinya. Biasanya sih, pesan para orang tua teritama
Bapak itu kurang lebih tercurah seperti dalam artikel ini http://www.idntimes.com/relationship/dating/248/Nak-Sebelum-Kamu-Hidup-Bersama-Putriku-di-Masa-Depan-Mau-Kah-Kamu-Membaca-Pesanku-Ini.
Jujur saja, berulang kali pun saya membacanya, saya tidak pernah bosan untuk
terus mengulanginya. Silahkan dimengerti baik-baik, ya. J
Dan
saya mengerti mengapa Bapak saya memasang ekspresi ‘mengernyitkan dahi’ ketika
Mama berbicara tentang cucu tersebut. Tidak salah juga sebenarnya, karena
memang hanya bercandaan seperti biasa namun dengan momen yang cukup berbeda. “Ah,
semua ini memang gara-gara kegiatan membungkus kado, sih. Jadi mikirnya
kemana-mana juga, kan.” gumam saya dalam hati sambil tersenyum ketika
membayangkan kembali kata-kata Mama saya tersebut dengan imajinasi yang saya
punya ketika berada di dalam kamar. Dan akhirnya saya pun terlelap dengan
keadaan saya memimpikan memiliki dua orang anak yang lucu-lucu.
kode mnta cu2 itu mgkn hhe ...
ReplyDeleteeeeetptp trharu pas bca bgian 'bapaknya' :")
ReplyDeleteoooo oooo....
ReplyDeleteweeeew
ReplyDeletewuuihhhhhhh
ReplyDeletejdl blog'a sm ky gru d smp dl hhe
ReplyDeleteCucu?
ReplyDelete