Thursday 3 July 2014

Inilah Alasannya...

Moshimoshi, minnasan.. :):

Ah, liburan semester dua selama dua bulan sedang saya rasakan sekarang. Sebenarnya, liburan semester ini lebih terasa tenang dibanding semester lalu. Tak bisa begitu saja dibandingkan memang, karena masalah yang akan saya lalui sama beratnya, tak ada yang berbeda. Tenang karena bisa untuk sementara waktu, saya rehat dari aktifitas saya di tempat 1001 kenangan tersebut, dan bermasalah berat, yang akan saya tempuh di bulan Agustus mendatang.

            Sebenarnya, ini masalah lama yang saya ungkit kembali walaupun saya telah mengambil keputusan. Ini tentang persyaratan agar saya mau untuk bertahan di sana; pergi mengunjungi dia yang telah aku relakan dan korbankan, dan bersamanya untuk waktu yang cukup lama. Mengiming-imingin saya merupakan ide terburuk yang pernah saya dapat dan tak mudah juga “menyogok” seseorang yang keras kepala dengan iming-imingan biasa. Orang tua saya sempat kewalahan untuk mengancam saya, jika saya tidak mau bertahan di sini. Lalu, saya punya istilahnya permintaan terakhir, “Jika ini mau kalian, jika saya harus mengikuti alur kalian, tolong dengarkan saya untuk terakhir kalinya, bawa saya ke Yogyakarta pada bulan Agustus nanti. Lalu, saya tidak akan pernah untuk menuntut kembali dan membuka permasalahan ini lagi.” Orang tua saya tertegun dalam diam. Saya tak tau mereka memikirkan apa, yang jelas sekali saya menuntut mereka yang tuntutan ini merupakan berupa ucapan selamat tinggal dan permintaan maaf.

            Masalah ini sebenarnya sudah diselesaikan ketika melewati hari pertama UAS. Sesungguhnya, ada perasaan yang lega menyelimuti saya ketika itu; walau saya bisa bilang, UAS semester 2 ini adalah UAS yang kacau ketimbang semester sebelumnya. Awalnya tidak terpikirkan hal ini lagi ketika memasuki awal liburan. Namun, ada satu pikiran yang mengganggu ketika saya membuka website dari universitas saya. Tak bisa dideskripsikan dengan jelas, yang pasti website ini telah membuka luka lama yang tertutup dan berusaha saya hilangkan. Ah, macam apalagi ini?

            Masalah ini semakin memperkeruh otak saya yang sedang tidak baik, ketika saya berangkat ke masjid untuk tarawih hari ini. Sudah 6 hari berlalu semenjak hari pertama, saya selalu terbiasa untuk sendiri dan menjauhkan diri dari orang-orang yang mengenal saya, agar saya juga bisa berinstropeksi diri sendiri dengan kejadian sebelumnya. Pada hari pertama, saya merasakan kenyamanan dan kedamaian yang saya rasakan ketika saya bercakap dengan diri sendiri; di dalam hati. Namun makin hari makin ke sini, ocehan anak-anak kecil mulai bersorak sorai seperti kembang api ketimbang para ibu-ibu yang berada di sekeliling saya. Ketanangan dan kedamaian yang saya dapatkan seperti pada awal sholat tarawih sirna. Ditambah pula masjid yang mulai menyepi, membuat gemaan mereka semakin terdengar. SALAH SAYA APA? SAYA HANYA BUTUH INSTROPEKSI DIRI. Saya tak tahu harus bagaimana, saat itu saya berusaha mengalah dengan keadaan dan sebisa mungkin berserah tanpa menimbulkan kekesalan dalam jangka waktu yang lama.

            Ini tentang kelanjutan cerita saya; alasan dibalik alasan. Entah saya berusaha tegar di atas alasan yang benar atau salah, yang pasti saya sedang berusaha bangkit dan harus bangkit ketikadi bulan Agustus. Mungin pilihan seperti ini salah, tetapi saya hanya ingin untuk sekali lagi bertemu dengan dia, di sana, terakhir kalinya, apa tidak boleh? Menghempas jauh segala keraguan agar dapat berkonsentrasi pada satu hal. “Aku menyayangimu, tetapi aku harus berbesar hati merelakanmu.” Adalah kata-kata yang akan saya bisikan kepadanya, di tempat 2 tahun yang lalu; UGM, Yogyakarta.

            Maaf, tetapi lagi-lagi di sini terdapat perbandingan antara tempat kuliah saya dan UGM. Bukan, bukan karena saya tidak bisa untuk bersyukur. Tetapi, kesannya di sini saya berjalan dengan terpaksa. Terpaksa? Ah sudahlah, jangan bahas yang satu ini. Ada hal lain seperti, janji saya untuk tidak membandingkan dia dengan UGM, telah saya langgar. Sedih? Iya, karena saya menanamkan prinsip untuk tidak berjanji bila tidak ditepati. Dan jujur, saya sangat amat kecewa dengan diri saya sendiri. Manusia macam apa kamu ini? Ah, sebenarnya, ada alasan mencolok yang saya ketemui untuk melanggar janji itu sendiri. Alasan yang orang-orang terdekat saya ketahui; kecuali orang tua saya.

Tentang Benda Mati yang Terselimuti Kabut.

Benda mati itu, diibaratkan dengan fakultas yang awalnya saya tak ingini-kemudian saya segani-dan kemudian kembali tak saya ingini. Dan kabut itu diibaratkan dengan segala cerita yang berada di dalam naungannya, namun kabut ini berada di sekitaran gedung ini. Berulang kali saya berusaha keras untuk menghindari dan membuang jauh-jauh kabut itu. Tapi usaha yang saya lakukan adalah nihil.

            Ini tentang benda mati yang berbicara, benda mati yang hidup dalam angan. Banyak cerita yang saya lewati dengan benda mati ini; yang dengan ikhlas menjadi potret dan kesaksian dari apa saja yang saya lakukan di sana. Saya tak tahu menahu harus sampai kapan, menyalahi benda mati ini; saya terlampau kehabisan nafas jika kabut itu tiba-tiba dating dan menghantarkan tegangan listrik kecil pada diri saya. Ada yang janggal, ketika saya tak mengingatnya. Itu sebabnya, mengapa saya setidaknya masih bisa untuk tersenyum riuh walaupun dia telah mengkhianati saya bersama kabutnya. Saya ridha, ridha, dan ridha lahir bathin.

            Dahulu, saya sempat bertanya kepada salah satu teman saya, “Kenapa burung-burung itu betah ada di sini?” dia, yang memiliki keinginan yang sama dengan saya, menjawab pertanyaan polos saya, “Karena ini rumah mereka.” Kenapa dia bisa menjawabnya seperti itu? Kenapa bukan dari burung itu sendiri yang menjawab pertanyaan dari saya? Dan kenapa, setiap pertanyaan “kenapa” harus dijawab dengan jawaban “karena” bukan yang lain? Saya tak bisa mengerti ini lagi dengan logika. Mungkin, semua permasalahan ini terlihat sulit diposisi mereka, tanpa mereka merasakan bagaimana jika mereka berada di posisi saya. Saya tak bisa seperti dia yang bisa menyelesaikan segala permasalahan sendirian, yang hanya dengan diam saja dapat menemukan suatu kesimpulan. Tetapi saya lebih suka menggertak terlebih dahulu, sebelum saya akhirnya luluh.

Doa yang Tak Terucap.

Ini tentang doa yang terpanjatkan tanpa melalui ucapan. Dia sebenarnya tahu apa yang saya ingini dan harapkan, tapi antara keinginan dan harapan yang saya panjatkan belum lebih baik dari kebutuhan saya. Saya sadar, jika memang bulan itu akan menjadi bulan perpisahan, Allah telah merencanakan hal lain dengan adil dan lebih baik. Saya selalu berusaha berpikiran positif, dikala pikiran negatif saya menyerang.

Dear Tuhanku yang maha mendengar
Selama ini Engkau mengetahui segala harap saya, bukan?
Mengetahui segala ingin ini dan memperhatikannya?
Doa saya memang tak sebanding dengan restu kedua orang tua saya

Tetapi apa bisa doa yang saya panjatkan, Engkau kabulkan?
Mungkin bukan sekarang, tetapi nanti pada waktunya
Walaupun saya harus bertempur dengan musuh yang kuat
Sebisa mungkin saya akan menahan dari serangan mereka

Atau antara doa dan usaha saya, belum sebandingkah?
Mungkin sudah, tapi bukan itu masalahnya
Ini tentang doa restu yang Engkau izinkan
Kepada mereka yang memang menginginkan dan datang padanya

Tetapi, bukankah saya memiliki aturan yang saya jalankan?
Jika restu itu bukan jalannya, lalu untuk apa?
Untuk saat ini saja, saya bingung harus bagaimana
Selain berjalan di keadaan riuh, yaitu peperangan

            Bukankah Engkau mengetahui segala doa yang saya panjatkan, walaupun tidak terucap dengan bibir ataupun hati? Bukankah Engkau tahu, doa yang saya panjatkan setiap harinya selalu sama? Dan, bukankah Engkau mengerti apa dan bagaimananya saya? Haruskah di akhir ini saya menyerah dan menjalani yang ada? Untuk sekali lagi saya ungkapkan, saya berpikir dua kali bukan karena saya tidak mensyukuri hal ini, tapi jujur ini terlalu berat untuk saya pikul sendiri, saya jalani sendiri. Dan satu lagi, kemungkinan besar jika saya tidak memiliki pemikiran yang panjang, saya tidak akan bisa menikmati indahnya lebaran pada tahun ini. Tapi, saya masih belum cukup amal jika melakukan itu.





Hal seperti ini yang selalu melelahkan saya, dan bukan urusan yang lain.
Karena urusan lain, datang dari permasalahan kecil ini…

Usaha yang tak dihargai.

No comments:

Post a Comment