Tuesday 8 July 2014

Menunggumu.


Bila rindu ini masih milikmu kuhadirkan sebuah tanya untukmu.. Harus berapa lama aku menunggumu? Dalam hati kumenunggu, dalam benak kumenunggu. Masih menunggumu..”


            Menunggu? Apa ada yang salah dengan kata tak berdosa itu? Saya rasa tidak. Menunggu, menurut artikata.com adalah tinggal beberapa saat di suatu tempat dan mengharap sesuatu akan terjadi; menantikan sesuatu yang mesti datang atau terjadi; mengharap. Sudah pasti, imbas dari menunggu adalah datangnya sebuah kepastian; penantian dari apa yang telah ditunggu. Banyak orang bilang, menunggu itu tidak enak, membosankan, membuat kita semakin lama semakin lelah untuk menantikan sesuatu itu. Tetapi, akan ada hasil tak terduga dari orang yang akan sabar menunggu. Karena semua akan indah pada waktunya.

            Bisa dibilang, saya diibaratkan dengan Ran dan Shinichi. Kenapa mereka? Karena Ran selalu dengan sabar menunggu Shinichi kembali, walaupun entah waktunya kapan. Namun, saya tak sepenuhnya sama dengan mereka. Shinichi selalu berada dekat dengan Ran, walaupun Ran tidak sadar kalau Conan adalah Shinichi. Bagaimana dengan saya? Ah, saya tergampar jauh oleh jarak. Saya berada di Indonesia, sedang dia berada di Kairo, Mesir; demi menyelesaikan pendidikannya. Ya, dia kakak kelas yang sebelumnya saya ceritakan.

            Kemarin, (07/07/2014) entah kenapa saya merasakan sesuatu yang terduga, yang menurut kebanyakan orang mungkin perasaan tak terduga yang saya rasakan ini adalah lebay. Saya sudah tulis sebelumnya, bahwa saya tak mengetahui apa-apa mengenai dia, bukan? Namun, kemarin, saya sedang iseng membuka facebook adik saya. dan ternyata, adik dari orang yang sedang saya tunggu, sedang online. Dengan refleks, saya melihat profile facebooknya, dan… Ketemu! Sekarang saya lebih dari sekedar mengetahui nama dan rupanya saja. Saya juga mengetahui dia berkuliah di Al-Azhar, dari situ. Dan ternyata tebakan saya benar. Tak heran memang jika dia bisa masuk ke universitas Al-Azhar, karena anaknya cukup pintar yang memperoleh beasiswa semenjak dia pesantren di Kairo, sehabis lulus dari SMP.




            Entah, mulai bermunculan kembali perasaan tak terduga untuk yang kedua kalinya ketika saya mulai melihat-lihat foto dia bersama beberapa teman dan anak kecil. Lucunya, di setiap hari Selasa, ketika dia sedang menghafalkan sesuatu (mungkin ayat Al-Qur’an), dia selalu saja datang dan mengganggunya. Ketika saya mengetahui hal ini, saya hanya berpikir positif; bahwa anak kecil ini ingin mengajaknya bermain. Antara tugasnya dan anak kecil, cobaan yang berat mungkin baginya, ahaha. Lalu, tentang perasaan tak terduga saya yang kedua kalinya? Saya telah terbius oleh panah pesonanya. Dia tak tampan memang namun manis, dan saya bukan terpesona akan rupanya. Melainkan, akhlak yang sedang dia bentuk sekarang, untuk menjadi imam yang soleh. Subhanallah, saya benar-benar kagum akan pesona akhlaknya.

            “Dia pakai kacamata, ya, Ret?” Pertanyaan dari Mama saya, mengagetkan saya. Ya ampun, sejak kapan beliau ada di sana? Mengetahui apa yang saya lihat? Dan melihat bagaimana anehnya tingkah saya waktu itu? “Ini, lagi ngeliat facebook kakaknya si (sensor), benerkan kata aku dia kuliah di Al-Azhar?” Celetuk saya dengan nada bahagia yang disadari oleh Mama saya. Lalu ketika Mama saya beranjak pergi, saya masih saja melihat setiap foto yang ada di facebooknya, tanpa sadar saya bergumam sendiri, “Apa mungkin saya, yang akan mendampingi kamu, sampai akhir nafasmu nanti?” Ketika saya bergumam demikian, sedikit demi sedikit muncul rasa yakin. Rasa yakin di sini bukan yakin untuk di pilih untuk menghabiskan sisa umurnya, karena saya tidak mau terlalu yakin yang berpengaruh kepada saya untuk semakin berharap bahwa jodoh dia adalah saya. Tetapi, saya merasa sedikit tambah yakin di sini adalah untuk menjaga hati saya dan menyambutnya ketika waktu sudah mengizinkan saya untuk menyudahi masa tunggu saya. Dan jika memang Allah menakdirkan dan memberi restu kepada saya untuk mendapatkannya.

            Merasa bosan? Tidak, sama sekali tidak. Justru, saya merasa senang telah diberi waktu untuk menunggu. Alasannya? Saya ingin memperbaiki diri terlebih dahulu. Saya tidak mau nantinya jika dia datang kepada saya, dia akan kecewa. Ibarat seorang pangeran yang menunggu seorang putri cantik dengan gaun yang indah, namun kenyataannya, dia tidak secantik gaun yang telah mengindahkan tubuhnya. Dengan kata lain, saya harus memperbaiki diri terlebih dahulu, agar dia tidak kecewa dengan saya. Jika saya telah berhasil untuk memperbaiki diri, kedatangan dia untuk saya adalah hadiah terindah dari apa yang telah saya tunggu dan perbaiki. Masih banyak hal yang harus saya perbaiki; memantaskan diri untuk kamu, walau saya tahu saya tak bisa untuk menyetarakan atau melebihkan diri dari kamu. Setidaknya, saya akan berusaha untuk menyeimbangkan dirinya.

            Lalu, apa yang mambuat saya semakin yakin untuk menjaga hati saya untuknya? Akhlaknya, saya kagum dari akhlak yang dia punya, dia telah berhasil membuat saya terpesona kepadanya. Bukan dari fisik ataupun harta yang dia miliki. Saya tahu, dia masih belum memiliki harta apapun, kecuali mendapatkannya dari orang tuanya. Tapi, saya tidak memperdulikan hal itu. Karena yang saya tahu, saya hidup di dunia ini untuk akhirat dan saya perlu pemimpin keluarga yang mampu membawa saya dan anak-anak saya kelak ke jalan yang benar. Masalah harta? Jangan permasalahkan itu, karena Allah sendiri yang akan membantu, jika kita sudah benar-benar mencapai batas untuk berusaha. Saya tidak menginginkan dia menjadi mapan dahulu, tapi yang saya mau adalah mencapai kemapanan bersama-sama. Begitupun masalah fisik, karena fisik akan habis di makan oleh waktu. Hanya keindahan dari akhlak yang dapat mengalahkan itu semua, termasuk indahnya pakaian yang di pakai oleh seorang raja ataupun ratu sekaligus.

            Jadi, apalagi yang harus saya resahkan dari perjalanan percintaan saya? Jika selama prosesnya akan berjalan lancar dan berhasil, saya yakin hasilnya pun akan lebih dari kata “memuaskan.” Bukankah menjadi seorang pemimpi yang pasti ingin memiliki perubahan dari kenyataan yang ada, tidak akan pernah salah? Kalau memang iya, siapa yang akan dipermasalahkan dalam konteks ini? Semoga saja, semua ini bukan hanya wacana belaka. Tetapi, menjadi sebuah akhir yang bisa menginspirasi semua orang bahwa, “Tak selamanya menunggu itu tidak enak dan membosankan. Selagi masih memiliki agenda perjalanan ke depannya, kenapa harus takut ataupun ragu untuk berkeyakinan pasti?” Kata-kata itu menjadi prinsip saya, sekarang ataupun nanti.


Dear seseorang berinisial RA... 

Jadi mau sampai kapanpun saya harus menunggu, selama saya masih bisa untuk menunggu, mengapa tidak?
Cepat kembali, oke?
Kurang lebih satu setengah tahun tak akan ada apa-apanya jika kamu datang dengan sejuta pesona yang kamu miliki; sebagai hadiah karena saya telah menunggu kamu.
Tenang, sebisa mungkin saya tidak akan mengeluh karena telah menunggu kamu. Saya menunggu bukan karena nafsu; untuk memiliki kamu. Tetapi, saya menunggu karena Tuhan saya, yaitu Allah.
Pantaskan dirimu, dengan begitu saya akan berusaha mungkin untuk memantaskan diri untukmu. Saya ikhlas lahir dan bathin untuk menunggu kamu,
RA.

3 comments: