Tuesday 3 June 2014

Duniaku yang Palsu.


Aku termenung di bawah mentari
Di antara megahnya ala mini
Menikmati indahnya kasih-Mu
Ku rasakan damainya hatiku


Sabda-Mu bagai air yang mengalir
Basahi panas terik di hatiku
Menerangi semua jalanku
Kurasakan tentramnya hatiku

Jangan biarkan damai ini pergi
Jangan biarkan semuanya berlalu
Hanya padamu Tuhan tempat ku berteduh
Dari semua kepalsuan dunia

Bila ku jauh dari diri-Mu
Akan ku tempuh semua perjalanan
Agar selalu ada dekat-Mu
Biar kurasakan lembutnya kasih-Mu


            Tulisan di atas itu lirik lagu, bukan puisi ciptaan saya. Entah, lagu ini yang selalu terngiang pertama kali di otak saya ketika saya sedang menyendiri; menikmati dunia yang sedang berusaha memanjakan mata saya, namun sedikit membuat saya sedikit kecewa. Mengapa? Saya tak tahu alasan tepatnya, tetapi saya tahu persis apa yang sedang saya rasakan, saya benar-benar mengerti. Membaca sang dunia dengan mata sadar, dan memang ada kesalahan yang terlihat.


            Duniaku, penuh kepalsuan. Sedikit penggalan dari lirik lagu di atas. Palsu? Kenapa harus palsu? Tak tahu, tapi saya selalu setuju dengan kata-kata ini yang menjadi lirik pengulang di akhir lagunya. Palsu itu bohong. Palsu itu tidak seperti apa yang sedang dilihat atau dibayangkan. Palsu itu tidak asli. Palsu itu ya palsu, p-a-l-s-u. saya tak bisa mendeskripsikan tentang palsu; karena saya termasuk orang polos yang mungkin telah terperangkap oleh atau dengan kata “palsu” tersebut. Oh, why? Kenapa harus saya yang terjebak? Dan duniaku sedang tidak mendukungku untuk saat ini.


            Dahulu, pernah ada seseorang yang berusaha menyadarkan saya bahwasannya dunia yang saya miliki itu unik, dunia saya yang dulu menurut saya tak penting dan tak berarti; menjadi dunia yang paling penting dan berarti, dan dunia yang saya miliki selalu penuh dengan keceriaan layaknya dunia yang dimiliki anak kecil yang penuh oleh imajinasi. Namun, ada kejanggalan yang saya rasakan, sekarang, untuk dunia yang dulu begitu saya abaikan dank arena disadarkan oleh seseorang tersebut menjadi dunia yang saya amat cintai; berbalik menjadi boomerang, dia menyerang saya, dia menginginkan saya menujukkan bagaimana cara bermainnya kepada permainan yang sulit dan saya tak tahu tentang instruksi cara bermainnya.


            Tentang permainan kepalsuan, permainan yang sebelumnya saya tak ketahui apa dan bagaimana macam atau modelnya, sekarang ada di depan mata. Di mana saat saya sedang berusaha menanjak pada jalanan tanjakan yang rusak penuh dengan lubang dan banyak bebatuan kali yang besar yang menghiasi jalan menanjak saya. Pada jalan menanjak tersebut, selalu dihiasi jalan tikungan tajam yang tak terlihat oleh kasat mata, bisa jadi ada sesuatu yang mengejutkan ataupun mengagetkan. Atau mengejutkan dan mengagetkan, saya tak tahu perihal itu. Tetapi yang saya tahu, saat ini saya tak kuat lagi untuk melangkah terus maju; mengimbangi beban tas yang saya pikul sedari awal yang semakin naik, semakin bertambah; dengan kedua pundak saya. Saya lelah! Saya ingin berhenti! Daya yang saya miliki habis, saya tak kuat lagi!


            Di saat seperti ini, bukan di antara mereka yang tidak ada dan menghampiri yang saya lihat. Tetapi, mereka yang berjalan dengan saya dari awal dan berusaha bertahan dan tidak meninggalkan yang saya lihat. Memang, banyak sekali sesuatu yang mengharuskan untuk berubah ketika ada perubahan, namun melihat mereka yang memang sudah berubah dan tetap berusaha untuk bertahan bukan karena alasan, “Kasihan, nanti dia beristirahat sendirian.” Tetapi, “Karena kita satu, kita terlalu solid. Susah-senang harus bersama-sama.” Saya salut sekali dengan orang tipe kedua; tak memanfaatkan keadaan ketika ada peluang.


            Perihal memanfaatkan keadaan dengan peluang, jujur sekali saya menghargai orang yang seperti ini. Mereka selalu saja untuk membutuhkan bantuan, lalu saya bantu. Bukan karena saya selalu menyediakan bantuan kepada siapapun, saya jadi dimanfaatkan olehnya. Tetapi sebenarnya tak mengapa jika saya dimanfaatkan, dipermainkan; saya dimanfaatkan karena saya bermanfaat untuk orang lain dan berusaha ada untuk mereka, dan dipermainakn karena ibarat saya sebuah mainan dari yang anak kecil punya, dia selalu terbahak-bahak dengan permainan yang digenggamnya itu hingga membuangnya ketika anak kecil itu sudah merasa bosan. Sungguh berjasa permainan yang dimainkan anak kecil itu.


            Mungkin saja, tulisan ini tidak akan muncul jika merasa senang. Eh, sebentar. Kapan terakhir kali saya bisa merasakan kesenangan atau kebahagiaan? Mungkin, sudah tak terhitung berapa lamanya karena saya hidup dan tinggal dalam dunia penuh kepalsuan. Entah, saya dibutakan oleh yang namanya kesenangan, kebahagiaan yang nyatanya saya tak benar-benar bisa untuk bahagia pada zona tak nyaman saya; saya terancam. Tetapi, saya memilih untuk diam terlebih saya tidak memiliki akses untuk keluar dari zona ini. Saya terjebak, untuk waktu yang lama, bukan tak ada yang dating, tetapi ada atau tidaknya yang mau sama-sama bertahan untuk satu sama lainnya.




Dear duniaku yang indah…
Katamu, aku dapat benar-benar untuk tersenyum?
Menikmati sang matahari dengan sinar yang cerah
Tanpa kepura-puraan dari rona wajah yang meranum


Kamu bilang, bahagiaku nomor satu
Mendamaikanku jikaku sedang tak nyaman
Namun, mengapa semuanya ibarat seperti batu?
Yang datang menimpa dan aku tak lagi aman?


Awalnya, memang aku meragukanmu
Ragu jika pandanganku buyar secara tetiba
Tetapi, ada yang berusaha membantuku
Dalam gelap untuk bisa meraba


Ini bukan masalah datang dan pergi
Tetapi masalah siapa kuat dia bertahan
Akan ada yang berusaha menghindari
Tetapi ada pula yang selalu mencoba bersamaan


Dear duniaku yang indah…
Banyak sekali warna kutemukan di dalamu
Ibarat pelangi di dalam bayang semu
Indah, namun nyatanya tak terlihat jelas
Seperti memandang dengan mata melalui gelas


Tetapi dunia, mengapa kau begitu kejam padaku?
Aku tak ingin bermain denganmu, tapi mengapa kamu memberikanku sebuah permainan?
Aku takut, berhenti di tengah jalan karena tertusuk paku
Ataupun berusaha untuk memenangkannya, karena kamu, aku sangat berhutang


Tapi tak masalah dengan itu semua
Tentang segala rasa yang tertinggal di dalam dunia
Tak cukup untukku berucap sepatah-dua patah kata
Tentang semua kebaikan atau sebaliknya yang ada

                                                                                                                                   




Karena aku sadar, mereka yang menyakitiku, melukaiku tak bermaksud seperti itu.
Dan aku membukakan pintu yang bagi orang pendendam sulit unutk dibukakan.
Bukan ingin menuntut maaf atau timbal balik, tetapi lebih ke kesadaran diri.

Bahwasannya, semua yang ada tak abadi; semua yang ada akan bertahan. Karena semua yang ada mungkin akan berganti dengan yang baru seiring berjalannya waktu. Tetapi, terimakasih kuucapkan kepada mereka yang mau menemaniku di masa sulitku…J

2 comments: