Friday 25 April 2014

Sebut Saja Secret Admirer.





Walaupun jiwaku pernah terluka, hingga nyaris bunuh diri
Wanita mana yang sanggup hidup sendiri
Di dunia ini

Walaupun tlah ku tutup mata hati begitupun telingaku
Namun bila dikala cinta memanggilmu
Dengarlah ini…

Walaupun dirimu tak bersayap, ku akan percaya
Kau mampu terbang bawa diriku
Tanpa takut dan ragu

Walaupun mulutku pernah bersumpah
Tak sudi lagi jatuh cinta
Wanita seperti diriku pun ternyata
Mudah menyerah
                                                                                        
Walaupun kau bukan titisan sang dewa
Ku tak kan kecewa
Karena kau jadikanku sang dewi…



            Titi DJ – Sang Dewi, merupakan lagu yang bisa dibilang sedang saya alami. Pasalnya, Titi DJ pernah berkata, “Saya hanya wanita lemah. Bahkan, sewaktu saya sedang terpuruk saya sempat berpikiran tak dapat melanjutkan hidup dan terpikir pula untuk mengakhiri hidup. Namun, ada yang menyapa saya kala itu. Ketika saya berputus asa bahwasannya saya tidak dapat untuk dicintai lagi, justru di saat seperti ini saya menemukan seseorang yang mencintai saya dan akhirnya saya dapat lagi merasa dicintai. Orang ini adalah, orang yang mematahkan sumpah saya bahwa saya tak sudi lagi untuk jatuh cinta.” Kata-kata di atas, penuh dengan pengutipan. Saya belum seberuntung Titi DJ, memang. Namun, mengenai sumpah yang terpatahkan; saya setuju dengan beliau.


            SECRET ADMIRER, memangnya, siapa yang tak mengenal kata ini? Kata yang melambangkan seribu arti maupun makna? Yaa, saya sedang berada di posisi ini. Bukan di posisi merasa dicintai, namun dalam posisi mencintai. Anugerah terindah yang Tuhan kasih kepada saya, dengan orang baru, karakter baru, dan cerita baru, mungkin. Mengapa baru? Karena, saya hanya berani menyebut namanya, hanya sekedar dalam hati dan benak; saya terlalu pengecut untuk mengungkap semuanya, memberi fakta. Namun, saya masih cukup nyaman untuk menyimpannya sendirian; kecuali mereka yang dekat dengan saya, mereka mengetahui ceritanya.


            Sebenarnya, semua ini berawal dari mimpi; namun, saya mengenal sosoknya dalam dunia nyata. Dia baik, asyik, cukup pintar, dan dia tidak tampan; namun manis menurut penglihatan saya. Pada awalnya, setiap kali mata saya menangkap akan sosoknya, jujur saya merasakan hal biasa saja sama halnya seperti saya melihat orang lain. Tak tahu mengapa, sosok ini menjadi seseorang yang setiap saya tatap matanya, saya merasakan hal aneh; jantung saya menjadi berdetak lebih cepat, saya tak dapat berbicara, bahkan ketika saya berada di sampingnya, saya tak tahu harus apa dan bagaimana. Saya salting alias salah tingkah. Oh Tuhan!


            Mengenai mimpi itu, tak ada yang spesial justru cenderung mimpi yang menyebalkan. Namun entah mengapa, saya menikmati mimpi ini; hingga akhirnya, saya terbangun karena mimpi aneh tapi sedikit indah ini. Sesudah mimpi ini, setiap kalinya saya bertemu dengannya, ada perasaan yang aneh yang saya rasa. Apa saya terkena penyakit hati (liver)? Ah, bisa jadi seperti itu.


            Saya adalah saya, seorang wanita yang tak mengerti harus bagaimana, namun tahu apa yang harus dipikirkan. Saya orang yang bukan terlalu percaya diri atau orang yang tak tahu diri. Justru, dengan kelemahan yang ada pada diri saya, saya memendam semuanya dalam diam, menatapnya dari kejauhan, dan berusaha sebisa mungkin untuk bersikap biasa saja. Menurut saya, dia terlalu sempurna untuk saya, terlalu susah untuk saya memeluk bulan, bahkan terlampau rumit untuk menyatukan anjing dan kucing, serta air dan minyak. Terlalu banyak perbedaan mencolok yang saya sadari sehingga saya tak berani melangkah pasti ke depan. Saya menikmati hal ini untuk sekarang-sekarang ini, dan saya tak mau berpikir panjang mengenai masalah ini.



’Tuhan, mengapa haruskah sekarang? Baru saja saya mencicipi rasa pahit dalam kue. Mengapa lagi Engkau timbulkan rasa manis pada lidah ini? Saya tak ingin sekarang, saya ingin berhenti makan. Saya masih merasakan kenyang yang sangat teramat, bahkan cenderung begah untuk mencicipi rasa ini lagi. Tak bisakah Engkau tunda, Tuhan? Hingga saatnya nanti saya dapat dengan sadar dan merasa saya ingin merasakan manis lagi? Saya ingin rehat sejenak.



            Saya tahu, saya tak pantas dan layak untuk berucap kata seperti di atas. Namun, saya tak ingin bisa sekarang; saya harus saja mencintai seseorang. Luka saya belum sepenuhnya sembuh dan mengering. Saya belum siap, oksigen di sekitar saya belum sepenuhnya bersih; masih banyak debu yang saya hirup. Saya tak tahu mengapa harus sekarang dan bukan nanti. Saya tak tahu mengapa harus sekarang dan bukan nanti. Dan saya tak tahu mengapa harus sekarang dan bukan nanti.


            Keadaan yang seperti ini, sebenarnya tak mudah bagi saya. Bukan, bukan saya menyesalkan mengapa harus hadir sekarang, mengapa harus memberi rasa sekarang, dan bahkan mengapa harus memberi warna dalam hidup saya sekarang, walaupun tak akan ada warna yang bisa saya beri kepadanya. Saya merasa teramat bingung, namun saya menikmatinya, saya sungkan namun saya jalani. Saya tak mengerti dan tahu menahu perihal ini dan ada apa dibaliknya. Yang saya tahu, kejadian terdahulu saya terulang kembali pada saat ini, detik ini.


            Tak dosa memang, menjadi penggemar dari sesosok orang yang memang pantas untuk dikagumi dan tak salah pula, memiliki perasaan seperti ini asalkan tak berdampak mengganggu orang lain. Namun, yang saya pertanyakan adalah, “Apakah mungkin seorang biasa menjadi pacar seorang superstar?” Eh, tunggu-tunggu! Pacar? Saya juga tak sampai untuk berpikiran kesana. Saya bukan seseorang yang ketika memiliki rasa “tertarik” lalu saya mengejar barang tersebut, membelinya, namun tak digunakan. Tetapi, saya tipikal orang yang ketika tertarik oleh sesuatu (contoh saja barang), yang saya lihat adalah harga dan kualitasnya. Setelah itu, sudah. Tetapi, ketika saya berambisi untuk mempunyai barang tersebut. Saya lihat dan perhatikan, lalu membelinya dan merawatnya. Tak saya sia-siakan.


            Namun, dia bukanlah sebuah barang; yang saya terlalu ingini atau kejar kemudian saya dapatkan, atau hanya sekedar melihat kualitas yang dia punya. Tetapi, saya menilainya, “Jika tak yakin untuk memiliki dan menjaganya- jangankan untuk memiliki dan menjaga, jujur pada orangnya pun saya tak bisa. Jangan kejar dan miliki dia seperti bola yang menggelinding; karena tak mau berhenti, dan akan berhenti ketika bola tersebut kehilangan kecepatannya.” Oleh karena itu, saya tak sampai hati untuk memilikinya. Di samping banyak perbedaan mencolok yang tak dapat saya persatukan, juga dia terlalu mahal untuk saya punya. Saya takut untuk merawatnya; salah-salah, nanti malah hancur.


            Perihal status saya sekarang? Tenang saja, dahulu saya terbiasa untuk dipanggil, “Sang Pengagum.” Saya tak malu untuk disebut sebagai seorang secret admirer. Karena yang saya tahu, seorang pengagum rahasia memiliki banyak perjuangan tersirat yang tak orang lain tahu. Hanya Tuhan-nyalah yang mengetahui perjuangannya, pengorbanannya. Dan mulai sekarang, mulai detik ini, SEBUT SAYA SEBAGAI SEORANG SECRET ADMIRER. DAN SAYA ADALAH KURA-KURA DALAM CANGKANG YANG MENGHARAPKAN KEINDAHAN DALAM TEMPURUNG.
















Dear para pengagum rahasia di seluruh pelosok…
Selamat berjuang dalam bungkam, ya? Jangan takut untuk merasakannya.
Karena kita sama; seperjuangan.
Walaupun, kita sama-sama tak menahu apa yang sebenarnya kita perjuangkan...

2 comments:

  1. mengharukaaan :""") ahahhhahahaa

    ReplyDelete
  2. ohhhhh my goddddddddddd *_*

    ReplyDelete