Friday 13 June 2014

Tekadku Sudah Bulat, Ma..

          Tak terasa H-sekian lagi, saya beranjak menempuh semester 3...

Semester yang kata teman-teman saya bobot mata kuliah agamanya tidak seberat semester 1 ataupun 2 yang sekarang sedang saya tempuh. Untuk sekarang, bukan lagi karena mata kuliah yang berbau agama lagi yang saya permasalahkan, tetapi ada hal lain yang sampai detik ini tak ada orang yang memahaminya. Sebenarnya, sebelumnya saya sudah berjanji untuk tidak membandingkan tempat kuliah saya dengan yang lainnya dan berusaha untuk sepenuh hati menjalani hari-hari saya di sana. Namun, ternyata ada alasan lain yang lebih kuat untuk saya melanggar janji saya sendiri; merusak doa restu dan kepercayaan yang orang tua saya kasih kepada saya. Jujur, saya tak sampai hati untuk mengecewakan mereka. Tetapi, jika diperbolehkan jujur untuk sekali lagi, saya sebagai pemeran utama yang menjalankan cerita ini merasa putus asa dan tak sanggup lagi untuk meneruskannya. Walau dengan kaki terseret, tak ada lagi daya yang bisa saya sumbangkan demi membanggakan mereka.


            Sebenarnya menolak untuk kuliah di tempat saya sekarang terjadi di awal. Dengan kata lain, awalnya saya enggan untuk berkuliah jika tidak di universitas yang saya inginkan. Namun doa restu Allah yang dititipkan melalui kedua orang tua saya berkata lain. Semenjak semester 1, awalnya saya merasa, “It’s oke, No. Ini enggak seburuk yang dirasakan.” Memang benar, yang awalnya saya sungkan, makin ke sini saya memiliki alasan kuat untuk tidak mencampakan dan mengkhianati universitas yang orang tua saya restui karena ada beberapa alasan yang dalam tulisan sebelumnya sudah saya singgung. Namun, alasan saya untuk bertahan di sini makin lama semakin pudar. Entah bagaimana bisa, yang pasti saya mulai risau berada di sini; dan berpikir untuk mencampakannya.


            Pikiran saya mulai berterbangan ketika rasa risau menyerang dan melemahkan pertahanan dan janji yang suda saya buat. Harus bagaimanakah, saya? Harus seperti apalagi? Ingin rasanya meronta, tetapi jangankan untuk meronta; mengeluh di depan mereka yang notabene-nyasudah mengenal saya luar-dalam, selama 19 tahun pun saya tak sanggup. Mungkin ini memang jalan yang harus saya tempuh demi keberhasilan membawa beban hingga garis finish. Ibarat kura-kura dalam cangkang yang di atas cangkangnya terdapat beban seberat 10 ton; dia tertatih namun mampu untuk menyelesaikan semua dengan bangga. Namun, saya tak sekuat ataupun setangguh kura-kura tersebut. Saya lebih lunak dari cangkang yang dimiliki untuk kura-kura itu.
            Telah mendapat jawaban dari pikiran saya tadi, saya mencoba untuk mengkhianati pilihan kedua orang tua saya dengan berpikiran untuk keluar dari universitas tersebut. Urusan ke depannya setelah keluar, entah itu berusaha mencari pekerjaan ataupun pindah ke universitas lain, saya masih belum tau. Saya masih normal untuk berpikir berkepanjang dengan resiko yang ada. Namun, saya sudah membulatkan tekad untuk keluar dari dunia kampus saya; membiarkannya terhempas jauh oleh waktu dan segala penyesalan yang ada hingga sampai titik puncaknya sekarang, membawa  saya kepada hal-hal yang saya tak ingini sama sekali.


            Pada mulanya, ide gila ini saya sampaikan kepada Mama saya pada sore; dengan sejuta kepercayaan diri saya. Begini:

Saya: “Ma, nanti semester 3 berhenti, yaa? Mendingan kerja bareng Leli, setidaknya ada yang dihasilkan.”

Mama: “Itu si Leli kerja gajinya udah umr ya?”

Saya: “Iya, Ma.”

Mama: (Diam sembari berpikir).


            Kemudian kejadian di malam harinya yang membuat seakan-akan jantung saya berhenti untuk berdetak. Ketika Bapak saya baru saja pulang kerja, Mama membuka perbincangan yang pada sorenya sudah kami bahas sebelumnya. (dengan bahasa Jawa)

Mama: “Itu si Retno katanya semester 3 mau keluar dari kampusnya. Katanya mau kerja aja gak mau kuliah.”

Bapak: (Hening lama) “Mau jadi apa coba? Udah, lanjutin aja kuliahnya nanti baru kerja. Fokusin dulu untuk lulus secepatnya, urusan kerja nanti aka nada jalannya lagi.”


            Mama diem, ikutan mikir kayaknya. Saya yang memakai headseat dan menonton film Conan cuek bebek dengernya. Yang saya takutkan adalah, “Ah, paling terpengaruh lagi ini.” Di sini, hanya sebelah pihak saja yang mendukung keputusan saya; keputusan yang sudah menghancurkan niat saya untuk tetap tinggal di universitas ini.


            Hari ini, tepatnya Jum’at, 13 Juni 2014, adalah hari di mana saya mengejutkan beberapa kerabat dekat saya dengan pertanyaan singkat saya, “Kalau mau resign dari kampus itu gimana, yaa?”

Tama: “Hah? Lu mau resign, Ret? Mau ngapain coba?”

Saya: “Iya, mau apalagi saya di sini? Saya sudah kalang kabut gak betahnya di sini.”

Dana: “Lu mau resign? Ada universitas lain? Lu ikut simak UI atau gimana?”

Saya: “Iya, enggak ada. Entah ke depannya nyari universitas lain atau kerja, tergantung nanti.”

Ica: “Kalau mau resign mah harus ngajuin surat permunduran diri. Urusannya sama TU.”

Saya: “Ooh, gitu ya, Ca? tapi kayaknya agak sedikit ribet ngurusnya, mesti ke kampus I segala.”

Putri: “Lu emang udah bener-bener yakin mau resign? Pikirin dulu perlahan, lagian emang orang tua lu udah nge-iya-in?”

Saya: “yakin, yakin banget. Tekad saya sudah bulat. Apa yang perlu dipikirin secara perlahan lagi? Yang setuju untuk saya resign sih sebelah pihak, gak taulah, pusing.”


            Dua hari sudah, saya selalu menanyakan kepada Zahara tentang keberadaan kakak mentor saya. Saya menanyakan kakak mentor saya kepadanya karena entah mengapa, setiap dia pergi untuk jajan atau semacamnya, sosok mentor saya selalu tertangkap mata olehnya. Dan memang benar, selama dua hari itu dia selalu melihatnya. Dengan sebuah pertanyaan, “Emang kenapa sih, Ret?” lalu saya balas, “Ada janji, Zah.” Janji? Lebih tepatnya bukan ke janji, tapi saya mengincar dia. Untuk apa? Jadi, sebelum hari ini, saya melakukan percakapan sederhana yang lagi-lagi mengejutkan dia. Saya menanyakan hal ini tidak langsung, namun hanya melalui Whatssapp, begini:

Saya: “Kakak mentor, mau nanya boleh?”

Dia: “Aih, ka mentor. Panggil aja (nama)”

Saya: “Ahaha gak enak sama yang lebih tua, kak.. aku nak Tanya, boleh?” (mengulangi pertanyaan).

Dia: “Iya nanya aja mbak maba. Beda ga sampe setaun juga”

Saya: “Kok mba maba? Maba mah nanti kak ckck. Aku kan diajarin sopan santun kak, menghormati yang lebih tua hehe (sok bijak). Itu kak, cara resign gimana sih?”

Dia: “Yaudah mbak Retno. Resign apa ni? Masuk ais?”

Saya: “Bukan kak, resign dari kampus kak. Keluar hehehe.”

Dia: “Hah? Kamu mau keluar pindah apa mau cuti? Kamu dapet buku panduan kan kemarin? Di buku itu kamu baca aja, ada ko caranya.”

Saya: “Mungkin pindah, mungkin juga cuti hehe. Udah dibaca, tapi gak ngerti kak ckckck.”

Dia: “Aduh, kalo itu saya ga ngerti. Coba tanya senior yang lebih atas atau sering ngobrol ke TU. Kaya gini si urusan bagian administratif di kampus I.”

Saya: “Waduh.. Berarti ngurus segala macemnya itu di kampus I ya kak?”

Dia: “Yoi. Kaya kamu daftar masuk aja. Makanya biar lebih pasti nanya ke senior yang lebih pengalaman aja.”

Saya: “Hmm kalau nanya ke kakak yang dipukul sama nyamuk aja gimana kak? (eh). Yasudah kak, terimakasih udah mau jawab pertanyaan aku.”

Dia: “Hahah itu bang (nama). Boleh tuh tanya ke dia.”

Saya: “Hahaha si kakak, itukan hanya ide gila.. itu beneran keluar dia kak?”

Dia: “Yang keluar bukan (nama), tapi nyamuk yang dikeluarin.”

Saya: “Terus, kenapa aku nanya ke dia kalo dia aja gak resign kak?”

Dia: “Siapa tau dia tau dan ada kenalan.”

Saya: “Kakak kenal sama dia gak?”

Dia: “Kenal. Tapi kontaknya gak ada.”

Saya: “Hmm, gitu ya kak..”


            Jujur, inisiatif yang saya punya untuk menanyakan hal seperti ini ke orang-orang sebenarnya hanya memperburuk keadaan saya. Pasalnya, saya telah menceritakan semua ini kepada Mama saya. Dengan jawaban yang mencengangkan saya, kayak gini:

Saya: “Katanya kalau mau resign harus ngajuin surat permohonan pengunduran diri, udah gitu ngurusnya agak ribet karena mesti bolak-balik ke kampus I terus.”

Mama: “Lagian mau ngapain pake keluar segala sih, Ret? Udah terusin aja. Nantikan kalau mau cari apa-apa yang sederajat. Itu (nama) aja punya gelar S1 yang hanya orang kampung aja.”


Jujur, saya geram mendengar perkataan Mama ini.


Saya: “Keluar yaa mau cari kerjaan aja, ya kalau enggak boleh kerja, pindah ke universitas lain. Yakan, aku mah gak mentingin gelar. Emang aku kayak si (nama) apa, yang kalau aku S1, pasangannya harus S2? Yang aku carimah yang akhlaknya baik, bisa ngebimbing. Kan kita hidup di dunia ini untuk tabungan di akhirat.”
Mama: (diam seribu bahasa).


            Dan lagi, di sini saya merasa sedikit menggurui masalah kehidupan kepada Mama saya. Tapi, bukan itu yang saya maksud, bukan menggurui, bukan. Tapi, menyadarkan kepadanya bahwa sosok orang yang akan mengambil anaknya nanti bukanlah yang fisik atau gelarnya sempurna, tetapi akhlaknya yang mengalahkan itu semua.


            Mungkin, Mama merasa tidak terima atas jawaban yang saya beri tadi, beliau menceritakannya secara tidak langsung dengan Bapak saya melalui pesan singkat (sms). Setibanya Bapak saya pulang kerja, saya yang sedari sore mengurung sore demi merangkai kata ini di kamar, pergi keluar untuk menemui Bapak. Belum ada 5 langkah saya melangkah, saya diserang pertanyaan:

Bapak: “Emang ada masalah apa sih, Ret? Sampai-sampai kamu mau keluar segala dari kampus?” (nada tinggi).

Saya: “Gak ada apa-apa.” (jawaban dan ekspresi saya datar).

Bapak: “Kalau mau keluar, Bapak gak mau ngasih izin. Lagian jangan tergiur dengan temannya yang udah punya uang.”

Saya: “Siapa yang tergiur? Emang anakmu ini sematre itukah? Emangnya, kalau aku gak dapetin hak aku, aku menuntut untuk selalu dituruti? Cuma mau kerja aja, udah.”

Bapak: (Diam) “Kalau hanya lulusan SMA, mau kerja apa dan digaji berapa? Nanti kamu lulus dulu S1, baru gajinya 5 juta. Penyesalan itu selalu datang terakhir. Kalau aja dulu Bapak ngelanjutin SMA dan enggak terpengaruh temen untuk mencari uang di Jakarta, mungkin gaji Bapak akan lebih besar dari sekarang.”


                                     (Mungkin, yang namanya penyesalan itu tidak pandang rasa syukur)


Saya: (Diam, berpikir sejenak. Kalau saja, aspirasi yang saya pikirkan untuk saya utarakan kepada Bapak saya, “Emangnya hidup enak itu mudah? Gak ada prosesnya? Sekarangpun, bukan masalah gaji yang penting kebutuhan tercukupi, kan? Yang penting bisa makan dan dapat tempat berlindung yang nyaman, kan? Penyesalan, sebenarnya hanya tolak ukur untuk menjadikan hal itu lebih baik. Contohnya dari penyesalan itu, setiap tahunnya pasti dapat bonus, kan?” berani saya utarakan, mungkin saja saya durhaka, sudah dikutuk dan tidak dianggapnya sebagai anak lagi, walaupun dahulu beliau pernah berkata demikian dengan kerasnya dihadapan saya.)


            Namun, saya lebih memilih diam, bungkam, mengalah, pura-pura tak mengerti apapun. Padahal, mungkin saja, antara saya dan kedua orang tua saya, sayalah yang memiliki pemikiran dewasa. Tapi kala itu saya mengingat kata-kata dari Pak Mario Teguh,”Anak muda itu lebih suka untuk bersalah, namun mengetahui bagaimana caranya untuk sesegera diselesaikan. Sedangkan orang tua, sudah pasti banyak salah. Jadi, orang tua menginginkan anaknya tidak terjerumus seperti kesalahan orang tuanya; orang tualah yang menyelamatkan mereka.”


            Saya setuju, sangat setuju. Tetapi, jalan hidup antara saya dan kedua orang tua saya berbeda. Zaman pun telah berbeda. Dan diantara perbedaan tersebut, saya tidak ingin disamakan. Saya punya alur sendiri yang sudah Allah tentukan, tanpa ada campur tangan yang berlebiha terhadap kehidupan saya. Waktu itu, saya lebih memilih diam dan pergi ke kamar untuk melanjutkan ketikan ini; tulisan ini. Perdebatan masalah masa depan, memang tak akan pernah selesai saja hanya karena saya memasuki kamar. Hal ini akan semakin panjang ceritanya jika saya tetap melanjutkan kuliah saya, menuruti kata-kata orang tua saya, dan sahabat saya, Dita Rismayanti, yang menginginkan saya untuk tetap ada untuknya hingga masa wisuda nanti. Saya bingung, kalut, gundah, semua jadi satu. Mungkin, jika saya melanjutkan cerita ini, di tengah perjalanan nanti, saya akan gila, gila, dan gila.


  
Apa harus, saya kabur dari Rumah dengan tidak membawa dompet beserta isinya, handphone, dan motor?

Agar mereka sadar, saya berada di sini, dan telah mereka sia-siakan keberadaan saya, dan mungkin tidak akan mencari saya, mempedulikan, bahkan sekedar memikirkan pun tidak? Lalu, harus pergi kemanakah, saya? Tuhan, bisakah Engkau memeluk saya untuk sebentar saja? Saya sudah terlampau sering membasahi kedua pipi saya di hadapanMu, dan pasti Engaku bosan akan hal itu, bukan?
Dan dalam keheningan saya selalu terbawa akannya…

1 comment: