Tuesday 24 June 2014

Kalau Saja...

1.      Kalau saya tidak menghargai keputusan kedua orang tua saya, saya tidak akan mementingkan tugas daripada bermain.


2.      Kalau saya tidak menyayangi kedua orang tua saya, saya tidak akan belajar untuk segala macam UTS ataupun UAS yang ada.

3.      Dan, kalau saya tidak menghormati kedua orang tua saya, jarak dari rumah ke kampus sekitar 20 km, akan saya menambah atau mengurangi jarak tersebut; saya kabur, kelayapan kemanapun saya suka dan kembali ketika jam pulang kuliah.


            Mengenai poin nomor ketiga, saya pernah mendapati cerita dari salah seorang sahabat. Dia berbeda 1 tahun lebih tua dari saya dan dia seorang laki-laki. Saya mendapati cerita ini dari orangnya langsung, ketika saya ingin beranjak dari SMA ke Kuliah. Pada waktu itu, dia sedang menjalani semester 2 di kampusnya. Awalnya dia kuliah dan bekerja, namun rahasia dalam bekerja ini jelas disembunyikan dari orang tuanya, saya sedikit lupa untuk alasannya mengapa dia melakukan hal itu. Mungkin, karena dia anak pertama dan tidak tega untuk membebani orang tuanya lagi.


            Awalnya lancar, tidak ada kendala ataupun masalah apapun yang dia ketemui. Sampai-sampai, dia harus ditugaskan ke daerah Tangerang di saat tempat perkuliahan dia belum memasuki masa libur. Kalau tidak salah, ketika saya menanyakan bagaimana meminta izin kepada orang tuanya, dengan lugu dia menjawab, “Aku bilangnya di kampus lagi PKL.” Saya, yang belum mengerti dunia kampus dan kerja dikala itu, hanya mengiyakan karena saya sendiri tak tahu banyak perihal itu.


            Teman saya ini, sangat berbeda sekali dengan Ibu Pipit. Guru bimbingan konseling kesayangan saya; karena jelas teman saya ini laki-laki yang notabene-nya agak keras dan susah untuk ditantang, dengan Ibu Pipit yang notabene-nya seorang ibu beranak satu. Teman saya ini dengan langkah seribu, dengan segala keberaniannya akhirnya mulai terbuka kepada orang tuanya tentang dia bekerja. Kedua orang tuanya tidak melarang atau marah sama sekali, bahkan yang saya tangkap dia justru melanjutkan pekerjaannya dan keluar dari kuliahnya. Sedang Bu Pipit sendiri, saya tak tahu ketika beliau memiliki keinginan lain, apa yang beliau lakukan; tetap meneruskan kuliahnya atau menuntut apa yang menjadi keinginannya itu. Saya tidak paham, hanya sekilas yang saya tahu tentang cerita beliau, hingga sekarang beliau sudah menyelesaikan pendidikan S2-nya sebagai Psikolog.



            Memasuki fase liburan telah tiba, saya semakin diserang rasa gundah gulana. Pasalnya, langkah apa yang akan saya ambil untuk kedepannya? Bagaimana perjalanan saya hingga menggapai cita-cita saya yang mengangkat kedua orang tua saya? Dan berusaha bertahan pada pilihan yang beresiko tanpa perasaan menyesal? Ini, masih tentang kelanjutan cerita dari semester 3 nanti; selalu tidak ada kejelasan tentang kedepannya akan seperti apa dan bagaimana, karena saya sendiri tidak bisa melihat indahnya masa depan dengan satu mata tertutup. Semua berawal dari kata, “Mengapa?” mengapa harus kata mengapa? Dan, mengapa harus di tempat saya berkuliah sekarang saya menimba ilmu?


Karena semua kata jelas, bukan hanya berasal dari kejelasan. Tetapi, dari tindakan berani.

1 comment:

  1. hidup itu PILIHAN...pilih yg menurutmu benar
    & jgn membandingkan kehidupanmu dgn yg lain,krn kmu memiliki alur yg berbeda ;) slam knl

    ReplyDelete