Aku
termenung di bawah mentari
Di
antara megahnya ala mini
Menikmati
indahnya kasih-Mu
Ku
rasakan damainya hatiku
Sabda-Mu
bagai air yang mengalir
Basahi
panas terik di hatiku
Menerangi
semua jalanku
Kurasakan
tentramnya hatiku
Jangan
biarkan damai ini pergi
Jangan
biarkan semuanya berlalu
Hanya
padamu Tuhan tempat ku berteduh
Dari
semua kepalsuan dunia
Bila
ku jauh dari diri-Mu
Akan
ku tempuh semua perjalanan
Agar
selalu ada dekat-Mu
Biar
kurasakan lembutnya kasih-Mu
Tulisan di atas itu lirik lagu, bukan puisi ciptaan saya.
Entah, lagu ini yang selalu terngiang pertama kali di otak saya ketika saya
sedang menyendiri; menikmati dunia yang sedang berusaha memanjakan mata saya,
namun sedikit membuat saya sedikit kecewa. Mengapa? Saya tak tahu alasan
tepatnya, tetapi saya tahu persis apa yang sedang saya rasakan, saya
benar-benar mengerti. Membaca sang dunia dengan mata sadar, dan memang ada
kesalahan yang terlihat.
Duniaku, penuh
kepalsuan. Sedikit penggalan dari lirik lagu di atas. Palsu? Kenapa harus
palsu? Tak tahu, tapi saya selalu setuju dengan kata-kata ini yang menjadi
lirik pengulang di akhir lagunya. Palsu itu bohong. Palsu itu tidak seperti apa
yang sedang dilihat atau dibayangkan. Palsu itu tidak asli. Palsu itu ya palsu,
p-a-l-s-u. saya tak bisa mendeskripsikan tentang palsu; karena saya termasuk
orang polos yang mungkin telah terperangkap oleh atau dengan kata “palsu”
tersebut. Oh, why? Kenapa harus saya yang terjebak? Dan duniaku sedang tidak
mendukungku untuk saat ini.
Dahulu, pernah ada seseorang yang berusaha menyadarkan
saya bahwasannya dunia yang saya miliki itu unik, dunia saya yang dulu menurut
saya tak penting dan tak berarti; menjadi dunia yang paling penting dan
berarti, dan dunia yang saya miliki selalu penuh dengan keceriaan layaknya
dunia yang dimiliki anak kecil yang penuh oleh imajinasi. Namun, ada
kejanggalan yang saya rasakan, sekarang, untuk dunia yang dulu begitu saya
abaikan dank arena disadarkan oleh seseorang tersebut menjadi dunia yang saya
amat cintai; berbalik menjadi boomerang, dia menyerang saya, dia menginginkan
saya menujukkan bagaimana cara bermainnya kepada permainan yang sulit dan saya
tak tahu tentang instruksi cara bermainnya.
Tentang permainan kepalsuan, permainan yang sebelumnya
saya tak ketahui apa dan bagaimana macam atau modelnya, sekarang ada di depan
mata. Di mana saat saya sedang berusaha menanjak pada jalanan tanjakan yang
rusak penuh dengan lubang dan banyak bebatuan kali yang besar yang menghiasi
jalan menanjak saya. Pada jalan menanjak tersebut, selalu dihiasi jalan
tikungan tajam yang tak terlihat oleh kasat mata, bisa jadi ada sesuatu yang
mengejutkan ataupun mengagetkan. Atau mengejutkan dan mengagetkan, saya tak
tahu perihal itu. Tetapi yang saya tahu, saat ini saya tak kuat lagi untuk
melangkah terus maju; mengimbangi beban tas yang saya pikul sedari awal yang
semakin naik, semakin bertambah; dengan kedua pundak saya. Saya lelah! Saya
ingin berhenti! Daya yang saya miliki habis, saya tak kuat lagi!
Di saat seperti ini, bukan di antara mereka yang tidak
ada dan menghampiri yang saya lihat. Tetapi, mereka yang berjalan dengan saya
dari awal dan berusaha bertahan dan tidak meninggalkan yang saya lihat. Memang,
banyak sekali sesuatu yang mengharuskan untuk berubah ketika ada perubahan,
namun melihat mereka yang memang sudah berubah dan tetap berusaha untuk
bertahan bukan karena alasan, “Kasihan, nanti dia beristirahat sendirian.”
Tetapi, “Karena kita satu, kita terlalu solid.
Susah-senang harus bersama-sama.” Saya salut sekali dengan orang tipe kedua;
tak memanfaatkan keadaan ketika ada peluang.
Perihal memanfaatkan keadaan dengan peluang, jujur sekali
saya menghargai orang yang seperti ini. Mereka selalu saja untuk membutuhkan
bantuan, lalu saya bantu. Bukan karena saya selalu menyediakan bantuan kepada
siapapun, saya jadi dimanfaatkan olehnya. Tetapi sebenarnya tak mengapa jika
saya dimanfaatkan, dipermainkan; saya dimanfaatkan karena saya bermanfaat untuk
orang lain dan berusaha ada untuk mereka, dan dipermainakn karena ibarat saya
sebuah mainan dari yang anak kecil punya, dia selalu terbahak-bahak dengan
permainan yang digenggamnya itu hingga membuangnya ketika anak kecil itu sudah
merasa bosan. Sungguh berjasa permainan yang dimainkan anak kecil itu.
Mungkin saja, tulisan ini tidak akan muncul jika merasa
senang. Eh, sebentar. Kapan terakhir kali saya bisa merasakan kesenangan atau
kebahagiaan? Mungkin, sudah tak terhitung berapa lamanya karena saya hidup dan
tinggal dalam dunia penuh kepalsuan. Entah, saya dibutakan oleh yang namanya
kesenangan, kebahagiaan yang nyatanya saya tak benar-benar bisa untuk bahagia
pada zona tak nyaman saya; saya terancam. Tetapi, saya memilih untuk diam
terlebih saya tidak memiliki akses untuk keluar dari zona ini. Saya terjebak,
untuk waktu yang lama, bukan tak ada yang dating, tetapi ada atau tidaknya yang
mau sama-sama bertahan untuk satu sama lainnya.
Dear
duniaku yang indah…
Katamu,
aku dapat benar-benar untuk tersenyum?
Menikmati
sang matahari dengan sinar yang cerah
Tanpa
kepura-puraan dari rona wajah yang meranum
Kamu
bilang, bahagiaku nomor satu
Mendamaikanku
jikaku sedang tak nyaman
Namun,
mengapa semuanya ibarat seperti batu?
Yang
datang menimpa dan aku tak lagi aman?
Awalnya,
memang aku meragukanmu
Ragu
jika pandanganku buyar secara tetiba
Tetapi,
ada yang berusaha membantuku
Dalam
gelap untuk bisa meraba
Ini
bukan masalah datang dan pergi
Tetapi
masalah siapa kuat dia bertahan
Akan
ada yang berusaha menghindari
Tetapi
ada pula yang selalu mencoba bersamaan
Dear
duniaku yang indah…
Banyak
sekali warna kutemukan di dalamu
Ibarat
pelangi di dalam bayang semu
Indah,
namun nyatanya tak terlihat jelas
Seperti
memandang dengan mata melalui gelas
Tetapi
dunia, mengapa kau begitu kejam padaku?
Aku
tak ingin bermain denganmu, tapi mengapa kamu memberikanku sebuah permainan?
Aku
takut, berhenti di tengah jalan karena tertusuk paku
Ataupun
berusaha untuk memenangkannya, karena kamu, aku sangat berhutang
Tapi
tak masalah dengan itu semua
Tentang
segala rasa yang tertinggal di dalam dunia
Tak
cukup untukku berucap sepatah-dua patah kata
Tentang
semua kebaikan atau sebaliknya yang ada
Karena aku sadar,
mereka yang menyakitiku, melukaiku tak bermaksud seperti itu.
Dan aku
membukakan pintu yang bagi orang pendendam sulit unutk dibukakan.
Bukan ingin
menuntut maaf atau timbal balik, tetapi lebih ke kesadaran diri.
Bahwasannya,
semua yang ada tak abadi; semua yang ada akan bertahan. Karena semua yang ada
mungkin akan berganti dengan yang baru seiring berjalannya waktu. Tetapi,
terimakasih kuucapkan kepada mereka yang mau menemaniku di masa sulitku…J
MANTAPPPPP!!!
ReplyDeletekerennnnnnnnnnnnnnn!!
ReplyDelete