Selamat pagi…
Hari ini pasti mood kamu
membaik, kan? Karena efek tidur selama 10 jam dan sudah terbebas dari beban
UAS? Dan merasa tenang untuk menjalani pagi ini, bukan? Syukurlah jikalau
memang benar begitu. Suratku kali ini, kusampaikan kepada pribadi terdalamku,
yang mengerti isi hati dan pikiran yang selama ini terpikirkan secara jelas.
Bukankah hal pikiran
seperti itu sudah jelas tak perlu lagi kau pikirkan? Ku tahu, aku adalah orang
yang keras kepala yang berusaha untuk menjadi dan bersikap dewasa dengan cara
yang salah. Ini tentang masa depanmu, sadarkah? Aku menyadarinya,
sesegera mungkin menyadarinya, dan berusaha menyadarinya, setelah semua yang
aku perbuat dan kulakukan. Sejujurnya, ada perasaan sedih ketika kutahu, aku
akan meninggalkannya; berusaha mencari kesenangan tersendiri dan melupakannya. Tapi,
tahukah kau, jika dia merindukanmu sebagai sesuatu yang tidak bisa berbuat
apa-apa? Menjadi gagal karena merupakan satu-satunya yang akan kamu abaikan dan
tinggalkan? Iya, dia itu adalah gedung Fisip-ku, suatu tempat tentang 1001
kenangan.
Aku menuliskan surat ini,
pada hari ini, dalam keadaan damai dan tenang serta tentram. Di hari pertama
libur panjang setelah UAS selama 2 bulan ini, aku mengawali semuanya dengan
suasana baru, dengan senyuman hangat yang orang lain tak akan tahu, dan segala
kebebasan yang membelenggu. Aku menantikan masa ini sejak lama, agar aku bisa
instropeksi mengenai apa saja yang telah membuatku merasa tertekan selama ini. Dan
mungkin, aku baru menemukan 1 diantara sekian lain alasannya.
Dear, pribadi yang keras kepala…
Kutahu, bersikap dewasa itu
bukan saja milik orang yang berumur lebih tua dari kamu, tetapi pengalamanlah
yang mengajarkanmu untuk menjadi dewasa. Tapi, dewasa yang kamu mengerti dan
yakini di sini itu salah. Dewasanya mereka itu, yang tulus ikhlas menerima dan
menjalankan semuanya tanpa beban pikiran yang berlebihan. Tetapi, justru kamu
melakukan yang sebaliknya. Kamu justru melelahkan diri dengan yang tidak perlu,
berpikiran pendek, dan memikirkan resiko untuk diri sendiri dan tanpa
memikirkan resiko dari orang lain. Mungkin, kamu akan melakukan pembelaan, “Tapi,
di saat itu aku tidak memiliki pilihan lain, aku terlalu semangat untuk
meninggalkan Fisip; yang nyatanya tak bisa kutinggalkan, entah itu karena ada
alasan yang benar-benar tulus atau sekedar alasan yang terpaksa.” Aku terlalu
menyibukkan dan mempermasalahkan ini yang ternyata hanya saja menyita waktuku. Dan
satu yang kutahu, pilihan itu ada bukan untuk dipikirkan, tetapi diambil untuk
tindakan nyata; bukan utopia.
Teruntuk: orang yang “sok” tegar…
Maaf, aku melemahkanmu
dengan cara seperti ini. Tapi bukankah kamu bisa memetik banyak pelajaran dari
sini? Bersikap dewasa walau caranya salah? Aku tak tahu, suatu hari nanti kamu
akan berubah pikiran lagi atau tidak. Tapi yang kutahu, kamu merasa nyaman
dengan semua ini, SEKARANG; sehingga bisa meluapkan energy positif pagi ini,
pada tulisan ini. Sekarang, dalam 2 bulan ini, istirahatlah dengan tenang. Agar
semua tetap stabil dari hari ini hingga seterusnya dengan permanen, sendirinya.
Harapan mereka, ada di
tanganmu; sama seperti pilihan yang kamu genggam sekarang. Tetapi, kesadaran
ini telah mampu menuntun kamu ke dalam pilihan yang tinggal kamu mantapkan. Untuk
cita-citamu? Jangan takut, cita-citamu akan tersalur melalui restu orang tuamu;
entah apapun yang akan menghalanginya. Jangan ragu, karena hal yang menjadi
keraguanmu adalah boomerang untuk menjadi motivasimu. Entah, pikiran seperti
ini akan kurasakan untuk sekarang ini saja, atau sampai nanti; aku memakai
pakaian toga dan membuat kedua orang tuaku menangis karena terharu dan bangga,
terhadap pribadi yang keras kepala dan sok tegar ini…
Berucap, tak semudah menghirup
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Tetapi, jika sudah berucap setulus
lahir bathin, bisa apa?
pribadi tangguh...memutar otak demi kata yg sulit dimengerti org,tak sulit memangnya???
ReplyDelete