Walaupun
jiwaku pernah terluka, hingga nyaris bunuh diri
Wanita
mana yang sanggup hidup sendiri
Di
dunia ini
Walaupun
tlah ku tutup mata hati begitupun telingaku
Namun
bila dikala cinta memanggilmu
Dengarlah
ini…
Walaupun
dirimu tak bersayap, ku akan percaya
Kau
mampu terbang bawa diriku
Tanpa
takut dan ragu
Walaupun
mulutku pernah bersumpah
Tak
sudi lagi jatuh cinta
Wanita
seperti diriku pun ternyata
Mudah
menyerah
Walaupun
kau bukan titisan sang dewa
Ku
tak kan kecewa
Karena
kau jadikanku sang dewi…
Titi DJ – Sang Dewi, merupakan lagu yang bisa dibilang
sedang saya alami. Pasalnya, Titi DJ pernah berkata, “Saya hanya wanita lemah. Bahkan, sewaktu saya sedang terpuruk saya
sempat berpikiran tak dapat melanjutkan hidup dan terpikir pula untuk
mengakhiri hidup. Namun, ada yang menyapa saya kala itu. Ketika saya berputus
asa bahwasannya saya tidak dapat untuk dicintai lagi, justru di saat seperti
ini saya menemukan seseorang yang mencintai saya dan akhirnya saya dapat lagi
merasa dicintai. Orang ini adalah, orang yang mematahkan sumpah saya bahwa saya
tak sudi lagi untuk jatuh cinta.” Kata-kata di atas, penuh dengan
pengutipan. Saya belum seberuntung Titi DJ, memang. Namun, mengenai sumpah yang
terpatahkan; saya setuju dengan beliau.
SECRET ADMIRER, memangnya, siapa yang
tak mengenal kata ini? Kata yang melambangkan seribu arti maupun makna? Yaa,
saya sedang berada di posisi ini. Bukan di posisi merasa dicintai, namun dalam
posisi mencintai. Anugerah terindah yang Tuhan kasih kepada saya, dengan orang
baru, karakter baru, dan cerita baru, mungkin. Mengapa baru? Karena, saya hanya
berani menyebut namanya, hanya sekedar dalam hati dan benak; saya terlalu
pengecut untuk mengungkap semuanya, memberi fakta. Namun, saya masih cukup
nyaman untuk menyimpannya sendirian; kecuali mereka yang dekat dengan saya,
mereka mengetahui ceritanya.
Sebenarnya, semua ini berawal dari mimpi; namun, saya
mengenal sosoknya dalam dunia nyata. Dia baik, asyik, cukup pintar, dan dia
tidak tampan; namun manis menurut penglihatan saya. Pada awalnya, setiap kali mata saya menangkap akan
sosoknya, jujur saya merasakan hal biasa saja sama halnya seperti saya melihat orang lain. Tak
tahu mengapa, sosok ini menjadi seseorang yang setiap saya tatap matanya, saya
merasakan hal aneh; jantung saya menjadi berdetak lebih cepat, saya tak dapat
berbicara, bahkan ketika saya berada di sampingnya, saya tak tahu harus apa dan
bagaimana. Saya salting alias salah
tingkah. Oh Tuhan!
Mengenai mimpi itu, tak ada yang spesial justru cenderung
mimpi yang menyebalkan. Namun entah mengapa, saya menikmati mimpi ini; hingga
akhirnya, saya terbangun karena mimpi aneh tapi sedikit indah ini. Sesudah mimpi
ini, setiap kalinya saya bertemu dengannya, ada perasaan yang aneh yang saya
rasa. Apa saya terkena penyakit hati
(liver)? Ah, bisa jadi seperti itu.
Saya adalah saya, seorang wanita yang tak mengerti harus
bagaimana, namun tahu apa yang harus dipikirkan. Saya orang yang bukan terlalu
percaya diri atau orang yang tak tahu diri. Justru, dengan kelemahan yang ada
pada diri saya, saya memendam semuanya dalam diam, menatapnya dari kejauhan,
dan berusaha sebisa mungkin untuk bersikap biasa saja. Menurut saya, dia
terlalu sempurna untuk saya, terlalu susah untuk saya memeluk bulan, bahkan
terlampau rumit untuk menyatukan anjing dan kucing, serta air dan minyak. Terlalu
banyak perbedaan mencolok yang saya sadari sehingga saya tak berani melangkah
pasti ke depan. Saya menikmati hal ini untuk sekarang-sekarang ini, dan saya
tak mau berpikir panjang mengenai masalah ini.
’Tuhan, mengapa haruskah sekarang? Baru
saja saya mencicipi rasa pahit dalam kue. Mengapa lagi Engkau timbulkan rasa
manis pada lidah ini? Saya tak ingin sekarang, saya ingin berhenti makan. Saya masih
merasakan kenyang yang sangat teramat, bahkan cenderung begah untuk mencicipi
rasa ini lagi. Tak bisakah Engkau tunda, Tuhan? Hingga saatnya nanti saya dapat
dengan sadar dan merasa saya ingin merasakan manis lagi? Saya ingin rehat sejenak.”
Saya tahu, saya tak pantas dan layak untuk berucap kata
seperti di atas. Namun, saya tak ingin bisa sekarang; saya harus saja mencintai
seseorang. Luka saya belum sepenuhnya sembuh dan mengering. Saya belum siap, oksigen
di sekitar saya belum sepenuhnya bersih; masih banyak debu yang saya hirup. Saya
tak tahu mengapa harus sekarang dan bukan nanti. Saya tak tahu mengapa harus
sekarang dan bukan nanti. Dan saya tak tahu mengapa harus sekarang dan bukan
nanti.
Keadaan yang seperti ini, sebenarnya tak mudah bagi saya.
Bukan, bukan saya menyesalkan mengapa harus hadir sekarang, mengapa harus memberi
rasa sekarang, dan bahkan mengapa harus memberi warna dalam hidup saya sekarang,
walaupun tak akan ada warna yang bisa saya beri kepadanya. Saya merasa teramat
bingung, namun saya menikmatinya, saya sungkan namun saya jalani. Saya tak
mengerti dan tahu menahu perihal ini dan ada apa dibaliknya. Yang saya tahu,
kejadian terdahulu saya terulang kembali pada saat ini, detik ini.
Tak dosa memang, menjadi penggemar dari sesosok orang
yang memang pantas untuk dikagumi dan tak salah pula, memiliki perasaan seperti
ini asalkan tak berdampak mengganggu orang lain. Namun, yang saya pertanyakan
adalah, “Apakah mungkin seorang biasa
menjadi pacar seorang superstar?” Eh, tunggu-tunggu! Pacar? Saya juga tak sampai untuk berpikiran kesana. Saya bukan
seseorang yang ketika memiliki rasa “tertarik” lalu saya mengejar barang
tersebut, membelinya, namun tak digunakan. Tetapi, saya tipikal orang yang
ketika tertarik oleh sesuatu (contoh saja barang), yang saya lihat adalah harga
dan kualitasnya. Setelah itu, sudah. Tetapi, ketika saya berambisi untuk
mempunyai barang tersebut. Saya lihat dan perhatikan, lalu membelinya dan
merawatnya. Tak saya sia-siakan.
Namun, dia bukanlah sebuah barang; yang saya terlalu
ingini atau kejar kemudian saya dapatkan, atau hanya sekedar melihat kualitas
yang dia punya. Tetapi, saya menilainya, “Jika
tak yakin untuk memiliki dan menjaganya- jangankan untuk memiliki dan menjaga, jujur
pada orangnya pun saya tak bisa. Jangan kejar dan miliki dia seperti bola yang
menggelinding; karena tak mau berhenti, dan akan berhenti ketika bola tersebut
kehilangan kecepatannya.” Oleh karena itu, saya tak sampai hati untuk
memilikinya. Di samping banyak perbedaan mencolok yang tak dapat saya
persatukan, juga dia terlalu mahal untuk saya punya. Saya takut untuk
merawatnya; salah-salah, nanti malah hancur.
Perihal status saya sekarang? Tenang saja, dahulu saya
terbiasa untuk dipanggil, “Sang Pengagum.” Saya tak malu untuk disebut sebagai
seorang secret admirer. Karena yang saya tahu, seorang pengagum rahasia
memiliki banyak perjuangan tersirat yang tak orang lain tahu. Hanya Tuhan-nyalah
yang mengetahui perjuangannya, pengorbanannya. Dan mulai sekarang, mulai detik
ini, SEBUT SAYA SEBAGAI SEORANG SECRET
ADMIRER. DAN SAYA ADALAH KURA-KURA DALAM CANGKANG YANG MENGHARAPKAN KEINDAHAN
DALAM TEMPURUNG.
Dear
para pengagum rahasia di seluruh pelosok…
Selamat
berjuang dalam bungkam, ya? Jangan takut untuk merasakannya.
Karena
kita sama; seperjuangan.
Walaupun, kita sama-sama tak menahu apa yang sebenarnya kita perjuangkan...
Walaupun, kita sama-sama tak menahu apa yang sebenarnya kita perjuangkan...
mengharukaaan :""") ahahhhahahaa
ReplyDeleteohhhhh my goddddddddddd *_*
ReplyDelete