1. Kalau
saya tidak menghargai keputusan kedua orang tua saya, saya tidak akan
mementingkan tugas daripada bermain.
2. Kalau
saya tidak menyayangi kedua orang tua saya, saya tidak akan belajar untuk
segala macam UTS ataupun UAS yang ada.
3. Dan,
kalau saya tidak menghormati kedua orang tua saya, jarak dari rumah ke kampus
sekitar 20 km, akan saya menambah atau mengurangi jarak tersebut; saya kabur,
kelayapan kemanapun saya suka dan kembali ketika jam pulang kuliah.
Mengenai poin nomor ketiga, saya pernah mendapati cerita
dari salah seorang sahabat. Dia berbeda 1 tahun lebih tua dari saya dan dia
seorang laki-laki. Saya mendapati cerita ini dari orangnya langsung, ketika
saya ingin beranjak dari SMA ke Kuliah. Pada waktu itu, dia sedang menjalani
semester 2 di kampusnya. Awalnya dia kuliah dan bekerja, namun rahasia dalam
bekerja ini jelas disembunyikan dari orang tuanya, saya sedikit lupa untuk
alasannya mengapa dia melakukan hal itu. Mungkin, karena dia anak pertama dan
tidak tega untuk membebani orang tuanya lagi.
Awalnya lancar, tidak ada kendala ataupun masalah apapun
yang dia ketemui. Sampai-sampai, dia harus ditugaskan ke daerah Tangerang di
saat tempat perkuliahan dia belum memasuki masa libur. Kalau tidak salah,
ketika saya menanyakan bagaimana meminta izin kepada orang tuanya, dengan lugu
dia menjawab, “Aku bilangnya di kampus lagi PKL.” Saya, yang belum mengerti
dunia kampus dan kerja dikala itu, hanya mengiyakan karena saya sendiri tak
tahu banyak perihal itu.
Teman saya ini, sangat berbeda sekali dengan Ibu Pipit. Guru
bimbingan konseling kesayangan saya; karena jelas teman saya ini laki-laki yang
notabene-nya agak keras dan susah untuk ditantang, dengan Ibu Pipit yang
notabene-nya seorang ibu beranak satu. Teman saya ini dengan langkah seribu,
dengan segala keberaniannya akhirnya mulai terbuka kepada orang tuanya tentang
dia bekerja. Kedua orang tuanya tidak melarang atau marah sama sekali, bahkan
yang saya tangkap dia justru melanjutkan pekerjaannya dan keluar dari
kuliahnya. Sedang Bu Pipit sendiri, saya tak tahu ketika beliau memiliki
keinginan lain, apa yang beliau lakukan; tetap meneruskan kuliahnya atau
menuntut apa yang menjadi keinginannya itu. Saya tidak paham, hanya sekilas
yang saya tahu tentang cerita beliau, hingga sekarang beliau sudah
menyelesaikan pendidikan S2-nya sebagai Psikolog.
Memasuki fase liburan telah tiba, saya semakin diserang
rasa gundah gulana. Pasalnya, langkah apa yang akan saya ambil untuk kedepannya?
Bagaimana perjalanan saya hingga menggapai cita-cita saya yang mengangkat kedua
orang tua saya? Dan berusaha bertahan pada pilihan yang beresiko tanpa perasaan
menyesal? Ini, masih tentang kelanjutan cerita dari semester 3 nanti; selalu
tidak ada kejelasan tentang kedepannya akan seperti apa dan bagaimana, karena
saya sendiri tidak bisa melihat indahnya masa depan dengan satu mata tertutup. Semua
berawal dari kata, “Mengapa?” mengapa harus kata mengapa? Dan, mengapa harus di tempat saya berkuliah sekarang saya menimba ilmu?
Karena semua kata jelas, bukan hanya berasal dari kejelasan. Tetapi, dari tindakan berani.
hidup itu PILIHAN...pilih yg menurutmu benar
ReplyDelete& jgn membandingkan kehidupanmu dgn yg lain,krn kmu memiliki alur yg berbeda ;) slam knl