Tak terasa H-sekian lagi,
saya beranjak menempuh semester 3...
Semester yang kata
teman-teman saya bobot mata kuliah agamanya tidak seberat semester 1 ataupun 2
yang sekarang sedang saya tempuh. Untuk sekarang, bukan lagi karena mata kuliah
yang berbau agama lagi yang saya permasalahkan, tetapi ada hal lain yang sampai
detik ini tak ada orang yang memahaminya. Sebenarnya, sebelumnya saya sudah
berjanji untuk tidak membandingkan tempat kuliah saya dengan yang lainnya dan
berusaha untuk sepenuh hati menjalani hari-hari saya di sana. Namun, ternyata
ada alasan lain yang lebih kuat untuk saya melanggar janji saya sendiri;
merusak doa restu dan kepercayaan yang orang tua saya kasih kepada saya. Jujur,
saya tak sampai hati untuk mengecewakan mereka. Tetapi, jika diperbolehkan
jujur untuk sekali lagi, saya sebagai pemeran utama yang menjalankan cerita ini
merasa putus asa dan tak sanggup lagi untuk meneruskannya. Walau dengan kaki
terseret, tak ada lagi daya yang bisa saya sumbangkan demi membanggakan mereka.
Sebenarnya menolak untuk kuliah di tempat saya sekarang
terjadi di awal. Dengan kata lain, awalnya saya enggan untuk berkuliah jika
tidak di universitas yang saya inginkan. Namun doa restu Allah yang dititipkan
melalui kedua orang tua saya berkata lain. Semenjak semester 1, awalnya saya
merasa, “It’s oke, No. Ini enggak seburuk
yang dirasakan.” Memang benar, yang awalnya saya sungkan, makin ke sini
saya memiliki alasan kuat untuk tidak mencampakan dan mengkhianati universitas
yang orang tua saya restui karena ada beberapa alasan yang dalam tulisan
sebelumnya sudah saya singgung. Namun, alasan saya untuk bertahan di sini makin
lama semakin pudar. Entah bagaimana bisa, yang pasti saya mulai risau berada di
sini; dan berpikir untuk mencampakannya.
Pikiran saya mulai berterbangan ketika rasa risau
menyerang dan melemahkan pertahanan dan janji yang suda saya buat. Harus
bagaimanakah, saya? Harus seperti apalagi? Ingin rasanya meronta, tetapi
jangankan untuk meronta; mengeluh di depan mereka yang notabene-nyasudah
mengenal saya luar-dalam, selama 19 tahun pun saya tak sanggup. Mungkin ini
memang jalan yang harus saya tempuh demi keberhasilan membawa beban hingga
garis finish. Ibarat kura-kura dalam cangkang yang di atas cangkangnya terdapat
beban seberat 10 ton; dia tertatih namun mampu untuk menyelesaikan semua dengan
bangga. Namun, saya tak sekuat ataupun setangguh kura-kura tersebut. Saya lebih
lunak dari cangkang yang dimiliki untuk kura-kura itu.
Telah mendapat jawaban dari pikiran saya tadi, saya
mencoba untuk mengkhianati pilihan kedua orang tua saya dengan berpikiran untuk
keluar dari universitas tersebut. Urusan ke depannya setelah keluar, entah itu
berusaha mencari pekerjaan ataupun pindah ke universitas lain, saya masih belum
tau. Saya masih normal untuk berpikir berkepanjang dengan resiko yang ada.
Namun, saya sudah membulatkan tekad untuk keluar dari dunia kampus saya;
membiarkannya terhempas jauh oleh waktu dan segala penyesalan yang ada hingga sampai
titik puncaknya sekarang, membawa saya
kepada hal-hal yang saya tak ingini sama sekali.
Pada mulanya, ide gila ini saya sampaikan kepada Mama
saya pada sore; dengan sejuta kepercayaan diri saya. Begini:
Saya: “Ma, nanti
semester 3 berhenti, yaa? Mendingan kerja bareng Leli, setidaknya ada yang
dihasilkan.”
Mama: “Itu si Leli
kerja gajinya udah umr ya?”
Saya: “Iya, Ma.”
Mama: (Diam sembari
berpikir).
Kemudian kejadian di malam harinya yang membuat
seakan-akan jantung saya berhenti untuk berdetak. Ketika Bapak saya baru saja
pulang kerja, Mama membuka perbincangan yang pada sorenya sudah kami bahas
sebelumnya. (dengan bahasa Jawa)
Mama: “Itu si Retno
katanya semester 3 mau keluar dari kampusnya. Katanya mau kerja aja gak mau
kuliah.”
Bapak: (Hening lama)
“Mau jadi apa coba? Udah, lanjutin aja kuliahnya nanti baru kerja. Fokusin dulu
untuk lulus secepatnya, urusan kerja nanti aka nada jalannya lagi.”
Mama diem, ikutan mikir kayaknya. Saya yang memakai
headseat dan menonton film Conan cuek bebek dengernya. Yang saya takutkan adalah,
“Ah, paling terpengaruh lagi ini.” Di sini, hanya sebelah pihak saja yang
mendukung keputusan saya; keputusan yang sudah menghancurkan niat saya untuk
tetap tinggal di universitas ini.
Hari ini, tepatnya Jum’at, 13 Juni 2014, adalah hari di
mana saya mengejutkan beberapa kerabat dekat saya dengan pertanyaan singkat
saya, “Kalau mau resign dari kampus itu gimana, yaa?”
Tama: “Hah? Lu mau
resign, Ret? Mau ngapain coba?”
Saya: “Iya, mau apalagi
saya di sini? Saya sudah kalang kabut gak betahnya di sini.”
Dana: “Lu mau resign?
Ada universitas lain? Lu ikut simak UI atau gimana?”
Saya: “Iya, enggak ada.
Entah ke depannya nyari universitas lain atau kerja, tergantung nanti.”
Ica: “Kalau mau resign
mah harus ngajuin surat permunduran diri. Urusannya sama TU.”
Saya: “Ooh, gitu ya,
Ca? tapi kayaknya agak sedikit ribet ngurusnya, mesti ke kampus I segala.”
Putri: “Lu emang udah
bener-bener yakin mau resign? Pikirin dulu perlahan, lagian emang orang tua lu
udah nge-iya-in?”
Saya: “yakin, yakin
banget. Tekad saya sudah bulat. Apa yang perlu dipikirin secara perlahan lagi?
Yang setuju untuk saya resign sih sebelah pihak, gak taulah, pusing.”
Dua hari sudah, saya selalu menanyakan kepada Zahara
tentang keberadaan kakak mentor saya. Saya menanyakan kakak mentor saya
kepadanya karena entah mengapa, setiap dia pergi untuk jajan atau semacamnya,
sosok mentor saya selalu tertangkap mata olehnya. Dan memang benar, selama dua
hari itu dia selalu melihatnya. Dengan sebuah pertanyaan, “Emang kenapa sih,
Ret?” lalu saya balas, “Ada janji, Zah.” Janji? Lebih tepatnya bukan ke janji,
tapi saya mengincar dia. Untuk apa? Jadi, sebelum hari ini, saya melakukan
percakapan sederhana yang lagi-lagi mengejutkan dia. Saya menanyakan hal ini
tidak langsung, namun hanya melalui Whatssapp, begini:
Saya: “Kakak mentor,
mau nanya boleh?”
Dia: “Aih, ka mentor.
Panggil aja (nama)”
Saya: “Ahaha gak enak
sama yang lebih tua, kak.. aku nak Tanya, boleh?” (mengulangi pertanyaan).
Dia: “Iya nanya aja
mbak maba. Beda ga sampe setaun juga”
Saya: “Kok mba maba?
Maba mah nanti kak ckck. Aku kan diajarin sopan santun kak, menghormati yang
lebih tua hehe (sok bijak). Itu kak, cara resign gimana sih?”
Dia: “Yaudah mbak
Retno. Resign apa ni? Masuk ais?”
Saya: “Bukan kak,
resign dari kampus kak. Keluar hehehe.”
Dia: “Hah? Kamu mau
keluar pindah apa mau cuti? Kamu dapet buku panduan kan kemarin? Di buku itu
kamu baca aja, ada ko caranya.”
Saya: “Mungkin pindah,
mungkin juga cuti hehe. Udah dibaca, tapi gak ngerti kak ckckck.”
Dia: “Aduh, kalo itu
saya ga ngerti. Coba tanya senior yang lebih atas atau sering ngobrol ke TU.
Kaya gini si urusan bagian administratif di kampus I.”
Saya: “Waduh.. Berarti
ngurus segala macemnya itu di kampus I ya kak?”
Dia: “Yoi. Kaya kamu
daftar masuk aja. Makanya biar lebih pasti nanya ke senior yang lebih
pengalaman aja.”
Saya: “Hmm kalau nanya
ke kakak yang dipukul sama nyamuk aja gimana kak? (eh). Yasudah kak,
terimakasih udah mau jawab pertanyaan aku.”
Dia: “Hahah itu bang
(nama). Boleh tuh tanya ke dia.”
Saya: “Hahaha si kakak,
itukan hanya ide gila.. itu beneran keluar dia kak?”
Dia: “Yang keluar bukan
(nama), tapi nyamuk yang dikeluarin.”
Saya: “Terus, kenapa
aku nanya ke dia kalo dia aja gak resign kak?”
Dia: “Siapa tau dia tau
dan ada kenalan.”
Saya: “Kakak kenal sama
dia gak?”
Dia: “Kenal. Tapi
kontaknya gak ada.”
Saya: “Hmm, gitu ya
kak..”
Jujur, inisiatif yang saya punya untuk menanyakan hal
seperti ini ke orang-orang sebenarnya hanya memperburuk keadaan saya. Pasalnya,
saya telah menceritakan semua ini kepada Mama saya. Dengan jawaban yang
mencengangkan saya, kayak gini:
Saya: “Katanya kalau
mau resign harus ngajuin surat permohonan pengunduran diri, udah gitu ngurusnya
agak ribet karena mesti bolak-balik ke kampus I terus.”
Mama: “Lagian mau
ngapain pake keluar segala sih, Ret? Udah terusin aja. Nantikan kalau mau cari
apa-apa yang sederajat. Itu (nama) aja punya gelar S1 yang hanya orang kampung
aja.”
Jujur, saya geram
mendengar perkataan Mama ini.
Saya: “Keluar yaa mau
cari kerjaan aja, ya kalau enggak boleh kerja, pindah ke universitas lain.
Yakan, aku mah gak mentingin gelar. Emang aku kayak si (nama) apa, yang kalau
aku S1, pasangannya harus S2? Yang aku carimah yang akhlaknya baik, bisa
ngebimbing. Kan kita hidup di dunia ini untuk tabungan di akhirat.”
Mama: (diam seribu
bahasa).
Dan lagi, di sini saya merasa sedikit menggurui masalah
kehidupan kepada Mama saya. Tapi, bukan itu yang saya maksud, bukan menggurui,
bukan. Tapi, menyadarkan kepadanya bahwa sosok orang yang akan mengambil
anaknya nanti bukanlah yang fisik atau gelarnya sempurna, tetapi akhlaknya yang
mengalahkan itu semua.
Mungkin, Mama merasa tidak terima atas jawaban yang saya
beri tadi, beliau menceritakannya secara tidak langsung dengan Bapak saya
melalui pesan singkat (sms). Setibanya Bapak saya pulang kerja, saya yang
sedari sore mengurung sore demi merangkai kata ini di kamar, pergi keluar untuk
menemui Bapak. Belum ada 5 langkah saya melangkah, saya diserang pertanyaan:
Bapak: “Emang ada
masalah apa sih, Ret? Sampai-sampai kamu mau keluar segala dari kampus?” (nada
tinggi).
Saya: “Gak ada
apa-apa.” (jawaban dan ekspresi saya datar).
Bapak: “Kalau mau
keluar, Bapak gak mau ngasih izin. Lagian jangan tergiur dengan temannya yang
udah punya uang.”
Saya: “Siapa yang
tergiur? Emang anakmu ini sematre itukah? Emangnya, kalau aku gak dapetin hak
aku, aku menuntut untuk selalu dituruti? Cuma mau kerja aja, udah.”
Bapak: (Diam) “Kalau
hanya lulusan SMA, mau kerja apa dan digaji berapa? Nanti kamu lulus dulu S1,
baru gajinya 5 juta. Penyesalan itu selalu datang terakhir. Kalau aja dulu
Bapak ngelanjutin SMA dan enggak terpengaruh temen untuk mencari uang di
Jakarta, mungkin gaji Bapak akan lebih besar dari sekarang.”
(Mungkin, yang namanya penyesalan itu tidak pandang rasa
syukur)
Saya: (Diam, berpikir
sejenak. Kalau saja, aspirasi yang saya pikirkan untuk saya utarakan kepada
Bapak saya, “Emangnya hidup enak itu mudah? Gak ada prosesnya? Sekarangpun,
bukan masalah gaji yang penting kebutuhan tercukupi, kan? Yang penting bisa
makan dan dapat tempat berlindung yang nyaman, kan? Penyesalan, sebenarnya
hanya tolak ukur untuk menjadikan hal itu lebih baik. Contohnya dari penyesalan
itu, setiap tahunnya pasti dapat bonus, kan?” berani saya utarakan, mungkin
saja saya durhaka, sudah dikutuk dan tidak dianggapnya sebagai anak lagi,
walaupun dahulu beliau pernah berkata demikian dengan kerasnya dihadapan saya.)
Namun, saya lebih memilih diam, bungkam, mengalah,
pura-pura tak mengerti apapun. Padahal, mungkin saja, antara saya dan kedua
orang tua saya, sayalah yang memiliki pemikiran dewasa. Tapi kala itu saya
mengingat kata-kata dari Pak Mario Teguh,”Anak muda itu lebih suka untuk
bersalah, namun mengetahui bagaimana caranya untuk sesegera diselesaikan.
Sedangkan orang tua, sudah pasti banyak salah. Jadi, orang tua menginginkan
anaknya tidak terjerumus seperti kesalahan orang tuanya; orang tualah yang
menyelamatkan mereka.”
Saya setuju, sangat setuju. Tetapi, jalan hidup antara
saya dan kedua orang tua saya berbeda. Zaman pun telah berbeda. Dan diantara
perbedaan tersebut, saya tidak ingin disamakan. Saya punya alur sendiri yang
sudah Allah tentukan, tanpa ada campur tangan yang berlebiha terhadap kehidupan
saya. Waktu itu, saya lebih memilih diam dan pergi ke kamar untuk melanjutkan
ketikan ini; tulisan ini. Perdebatan masalah masa depan, memang tak akan pernah
selesai saja hanya karena saya memasuki kamar. Hal ini akan semakin panjang
ceritanya jika saya tetap melanjutkan kuliah saya, menuruti kata-kata orang tua
saya, dan sahabat saya, Dita Rismayanti,
yang menginginkan saya untuk tetap ada untuknya hingga masa wisuda nanti. Saya
bingung, kalut, gundah, semua jadi satu. Mungkin, jika saya melanjutkan cerita
ini, di tengah perjalanan nanti, saya akan gila, gila, dan gila.
Apa
harus, saya kabur dari Rumah dengan tidak membawa dompet beserta isinya,
handphone, dan motor?
Agar
mereka sadar, saya berada di sini, dan telah mereka sia-siakan keberadaan saya,
dan mungkin tidak akan mencari saya, mempedulikan, bahkan sekedar memikirkan
pun tidak? Lalu, harus pergi kemanakah, saya? Tuhan, bisakah Engkau memeluk
saya untuk sebentar saja? Saya sudah terlampau sering membasahi kedua pipi saya
di hadapanMu, dan pasti Engaku bosan akan hal itu, bukan?
Dan dalam keheningan saya selalu
terbawa akannya…
hmm , no comment .
ReplyDelete