Tuesday 19 June 2018

60 Menit Bersama Imajinasi


Assalamu’alaikum Wr. Wb, para pembaca gaib..

Masih sedikit terasa momen-momen lebarannya, nih. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan? Iya, saya di sini ingin meminta maaf lahir dan batin untuk segala ucapan atau tulisan atau perbuatan yang pernah saya lakukan baik yang disengaja maupun tidak, ya! Oh, iya, permintaan maaf saya juga berlaku, kok, untuk mantan-mantan saya. Saya tidak ingin memiliki musuh. Jadi, maafin, ya!


Di tulisan kali ini, kenapa saya memberikan judul 60 Menit Bersama Imajinasi? Sebenarnya setiap postingan di blog ini melibatkan imajinasi-imajinasi dan setiap kata-katanya saya atur sedemikian rupa beberapa jam sebelum saya mulai mengetik. Tapi, ada yang berbeda pada postingan ini. Bedanya, sih, tidak terlalu jauh; hanya saja imajinasi yang akan saya tuang dalam tulisan ini sudah saya bayangkan pada tujuh tahun silam. Iya, ketika saya menginjak bangku SMA, saya sudah memikirkan lima sampai sepuluh tahun kemudian. Sementara untuk kata-katanya, ini murni kejadian atau percakapan yang baru saja terjadi kemarin sore.


Saat itu saya baru masuk SMA; ya, masa-masa awal di mana saya culunnya minta ampun! Maklum, peralihan dari masa SMP ke masa SMA memang seperti itu. Jujur, semenjak TK bahkan hingga kuliah, saya selalu dimudahkan jalannya oleh Allah SWT dalam hal pendidikan. Maksud dari dimudahkan adalah saya tidak harus capek-capek berpikir dengan keras untuk mengisi lembar jawaban test masuk untuk ke jenjang berikutnya; misal, peralihan dari SD ke SMP, lalu SMA, dan dilanjut kuliah. Alhamdulillah, ternyata Allah SWT baik sama saya!


Waktu kelas 10, semua siswa baru diwajibkan untuk mengikuti semacam test psikotest untuk mengetahui saran jurusan yang nantinya akan dipilih pada kelas 11. Hasil saat itu menunjukkan bahwa saya cocok masuk jurusan IPS dan menjadi penyiar radio serta bekerja yang berkaitan dengan masyarakat. Wow! Saya cukup kaget saat itu meskipun dalam test kepribadian, hasil testnya adalah saya introvert. Introvert ke masyarakat? Bagaimana bisa? Tetapi, saya tidak memusingkan hasil test tersebut.


Kenaikan kelas 11 pun tiba ditandai dengan pengambilan raport. Jika dilihat dari segi nilai, justru nilai saya lebih bagus di IPA daripada IPS. Karena saya memiliki kekurangan dalam hal menghitung dan juga ragu jika masuk jurusan IPA, akhirnya dengan berlandaskan pada saran almarhumah wali kelas saya saat itu, Ibu Dewi, serta hasil test tersebut, akhirnya saya memilih jurusan IPS. “Tidak apa-apa. Masuk jurusan IPS tidak seburuk yang orang lain katakan. Lebih baik menjadi nomor satu dijurusan IPS daripada nomor sekian dijurusan IPA.” Saya diam mendengar ucapan beliau. Alasan ini juga menjadi salah satu penguat mengapa saya mengambil jurusan IPS. Terima Kasih atas sarannya, Ibu Dewi!


Ternyata benar, jurusan IPS tidak seburuk yang kebanyakan orang kira! “Santai tapi pasti,” menjadi slogan saya dalam menjalani hari-hari saya. Saya santai namun selalu berusaha untuk fokus dalam setiap mata pelajaran yang saya ambil (hehe, walaupun tidak jarang saya selalu bolos dalam mata pelajaran yang membuat saya bosan dan ngantuk). Saat itu, yang saya pikirkan hanya, “Belajar yang rajin, masuk universitas negeri, bekerja, dan hasil kerja ditabung untuk membeli minimal tanah untuk dibangun rumah.” Ternyata apa yang saya pikirkan ketika sewaktu SMA, diucapkan oleh Bapak saya pada kemarin sore!


Saat ini saya sudah selesai menyelesaikan studi saya di universitas negeri sesuai dengan apa yang saya inginkan. Jerih payah yang saya hasilkan saat kuliah memang tidak bagus-bagus banget, sih. Namun, nilainya tidak mengecewakan juga; standar saja. Singkat cerita, saat ini saya sedang melamar dibanyak perusahaan sejak selesai sidang skripsi dari bulan Januari lalu. Lucunya, ada enam panggilan wawancara dari sekian banyaknya lamaran, namun tidak pernah saya hadiri dengan alasan banyak sekali pertimbangannya. Bapak saya marah bukan main saat mengetahui hal ini. Saya tahu alasan mengapa beliau marah adalah dirinya akan merasa gagal jika anak yang dididik hampir duapuluh tiga tahun, masih belum bisa mandiri; saya paham betul. Maka dari itu saya memutuskan untuk diam ketika beliau marah. Diam dengan pertimbangan yang cukup matang.



Senin, 18 Juni 2018

Hari ini adalah hari pertama orangtua saya menjalankan puasa sunah syawal, sedang saya membayar hutang puasa ramadhan tahun ini. Tidak ada yang spesial dengan puasa hari ini; maksudnya sama saja dengan puasa bulan ramadhan. Tradisi buka bersama di rumahpun menjadi salah satu kegiatan yang tidak asing bagi keluarga saya ketika Bapak bisa pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Makanan yang terlihat menggoda membuat saya dan orangtua saya berkumpul di meja makan; menanti bedug. Sembari menunggu azan maghrib, Bapak membahas suatu permasalahan yang jujur saja saya lupa bahasan awal tentang apa. Hingga akhirnya Bapak nyeletuk:


Bapak: “Ret, nanti kalau sudah bekerja bikin buku tabungan sendiri. Ma, nanti kalau Retno sudah bekerja, jangan diganggu. Biarin ngumpul.” (Ucapnya dengan nada serius).

(Ah, roman-romannya ngomongin soal pekerjaan, nih. Pembahasan masalah gaji pula. Belum kerja saja yang dibahas sudah masalah gaji. Saya yang saat itu benar-benar merasa lapar, hanya bisa diam seribu bahasa. Menyimak dan berusaha mencerna kata-kata yang masuk ke telinga dengan sisa-sisa tenaga yang saya punya. Mama juga demikian; ikut diam dan menyimak).

Bapak: (Melanjutkan kata-kata yang belum selesai diucapkan) “Kalau bisa, uangnya dikumpulin dulu. Terus dibuat beli tanah sebelum menikah.

(Jujur, saya agak sedikit tercengang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Bapak barusan. Kenapa kata-kata barusan sama seperti yang saya pikirkan ketika saya SMA? Tapi ketika saya mendengar ucapan Bapak tersebut, saya justru merasa sedikit ada yang janggal).

Saya:   (Mulai menatap mata Bapak sambil mengernyitkan dahi) “Lah, Pak? Kalau menunggu uang segitu banyaknya, kapan aku akan nikah? Harga tanah per-meternya saja mahal sekali, lho! Masa iya saya jadi perawan tua hanya gara-gara tanah?” (Saya beristighfar dalam hati karena tidak ingin menjadi perawan tua).

(Suasana sangat awkward pada saat itu. Mama yang sedaritadi diam, tidak berkutik. Sedangkan Bapak terlihat memutar otak dan mengatur kata-kata dengan sebaik mungkin).

Bapak: “Bukan begitu, Ret. Bapak aja dulu sebelum menikah sama Mamamu, Bapak udah punya tanah. Jadi, kan, enak tinggal membangun rumah di atas tanah itu,” ujarnya setelah diam selama lima menit.

(Mendengar hal tersebut, saya merasa agak sesak. Pasalnya, saya ini perempuan. Saya sama dengan Mama. Haruskah saya menyediakan tanah dan suami saya membangun rumah? Atau, saya yang membeli dan membangun rumah? Ah! Saya tahu pikiran seperti ini salah besar. Kalau begini jadinya, tugas dan tanggungjawab saya disamakan oleh laki-laki, dong?)

Retno: “Lho? Kenapa aku yang harus membeli tanah? Memangnya aku laki-laki? Yang harus menyediakan tempat tinggal untuk pasangannya? Bapak begitu, kan, karena memang sudah tanggungjawab Bapak sebagai laki-laki karena meminang anak orang. Bertanggungjawab dengan kedua orangtuanya dengan cara memberikan penghidupan yang baik dan layak untuk Mama. Namanya juga mengambil anak orang untuk dijadikan istri, pasti bertanggungjawab penuh atas kehidupan selanjutnya. Apa aku harus begitu juga? Mengambil anak orang? Aku tidak masalah jika nantinya harus patungan dengan suami untuk membangun rumah. Tetapi kenapa harus aku yang beli tanah? Ini sama saja dengan aku yang berjuang dari nol, dong, Pak?” Ucap saya panjang lebar dengan nafas sedikit tertahan.

Retno: (Karena tidak ada balasan, saya menimpali sekali lagi) “Iya, kalau suaminya mengizinkan aku untuk bekerja setelah menikah. Kalau tidak? Mau beli tanah pakai apa, coba?

(Mama seperti menunjukkan bahwa dirinya sedang tidak ada di sana; ya, makin tidak berkutik pada arah pembicaraan ini. Bapak yang awalnya terlihat berpikir, akhirnya diam seribu bahasa. Akhirnya azan maghrib pun berkumandang dan obrolan tersebut terlupakan begitu saja. Terhempas bagai debu yang tertiup angin).


Sebenarnya apa yang dikataan Bapak di atas itu benar dan tidak sepenuhnya salah juga mengingat pemikiran saya dengan Bapak sama. Memang awalnya, jika nantinya gaji saya sudah cukup, saya ingin membeli tanah. Namun, bukan tanah untuk dibangun rumah. Tetapi untuk tabungan di masa depan kalau-kalau ada keperluan mendadak atau untuk sekedar warisan untuk anak nanti. Saya tahu pikiran seperti ini dirasa masih jauh; sampai memikirkan warisan untuk anak. Tetapi jika tidak dipikirkan dari sekarang, kapan lagi? Dipikirkan sekarangpun karena saya memiliki waktu yang cukup untuk menata masa depan. Kalau nantinya akan meleset, itu sudah lain cerita; karena manusia merencanakan, Allah SWT yang mengizinkan.


Memang pada awalnya saya ingin sekali membeli tanah yang kemudian di bangun rumah di atasnya. Namun jika saya nantinya menikahi seorang laki-laki yang (mau dan akan) bertanggungjawab kepada saya dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, bahkan papan, untuk apa saya membangun rumah lagi? Untuk dijadikan kontrakan? Ah, saya tidak berniat akan membuat kontrakan; karena saya tipikal orang yang tidak enakan, jika yang mengontrak menunggak beberapa bulan, bagaimana? Jadi, hanya satu keinginan terakhir yang belum tercapai adalah memiliki tanah kosong untuk tabungan di masa depan. Ya, hanya tanah kosong. Lagipula, harga tanah itu mahal sekali, kan? Saya tidak tahu apa keinginan ini bisa terwujud atau tidak. Jika terwujud, berapa lama saya harus bekerja?

2 comments:

  1. Wow ! Cr pandang'a unik skl hheheh . Berharap / bermimpi it blh , asal jgn lpa u/ d wujudin gt mbk'e hhehehe ..

    ReplyDelete
  2. Argumennya Ble Jg......

    ReplyDelete