Thursday 3 May 2018

Penutup dari UINJ: Part I


Assalamu’alaikum, semuaaaa...

Kalau saya dahulu sering membandingkan antara UIN dengan UGM, bagaimana tidak enaknya berkuliah di sana, dan segala cerita yang pernah saya lalui, kali ini saya akan membuat penutup dari cerita-cerita di atas. Kenapa? Karena saya sudah di penghujung, di akhir, di bagian penutup dari cerita bertema UINJ ini. Jadi rasanya kurang afdhol saja kalau ada pembuka dan isi, tetapi tidak ada penutup. Maka tulisan ini akan mengakhiri cerita saya di UIN.


Lima tahun lamanya saya menempuh pendidikan strata satu di UIN. Jika melihat kembali waktu secara mundur, banyak sekali cerita yang sudah saya lalui. Maka klimaks-klimaks dari cerita tersebut adalah bagian penutup; di mana saya akan diresmikan menjadi alumni pada tanggal 06 Mei 2018 mendatang. Hari ini, saya sudah resmi dilepas oleh fakultas; untuk selanjutnya mengikuti tahap wisuda. Saya senang, senang bukan main. Karena lagi-lagi, cerita bagian ini hanya akan saya lalui satu kali dalam seumur hidup saya. Serius, hanya tawa sepanjang saya mengikuti gladiresik dan pelepasan fakultas pada hari ini. Sisanya? Berubah menjadi tangis menyakitkan yang luar biasa. Kok bisa?


Sekarang, izinkan saya bertanya tentang satu hal, kepada kalian “pernahkah orangtua kalian merasa tidak ingin menghadiri acara wisuda kalian yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidup?” Jika belum, saya doakan semoga kalian tidak mengalami kejadian yang menimpa saya, ya. Saya  bertanya demikian karena hal ini benar-benar nyata sedang terjadi pada saya saat ini. Ya, saya tidak disupport oleh orangtua saya; yang katanya menyayangi saya dan selalu ada untuk saya saat senang maupun sedih. Semua kata-kata tersebut bohong adanya, mereka tidak pernah mengganggap saya ada dan berpikir kalau saya tidak membutuhkan support mereka. Sakit tapi tak berdarah haha. Yaa begitulah kalau kata anak zaman sekarang.


Kok bisa berpikir begitu, sih? Kan enggak ada orangtua yang enggak sayang dan ngasih support untuk anaknya.” Nih, aku jelasin duduk perkaranya, ya. Setiap acara wisuda sudah pasti memiliki tata tertib yang harus diikuti agar acara dapat berjalan dengan khidmat. Di salah satu poin tertera dengan jelas, “tidak boleh membawa anak kecil,” sedangkan adik saya yang paling kecil baru berusia enam tahun pada tahun ini. Saya takut jika adik saya masuk dan sedikit saja membuat kegaduhan, dia akan disuruh keluar oleh panitia yang mengurus wisuda. Kalau sampai ada cerita seperti ini, akan lebih ribet lagi urusannya nanti.


Orangtua saya tetap bersikukuh untuk masuk dengan adik saya. Karena aturan tersebut tertera dengan jelas, saya mencoba menjelaskan lagi aturan tersebut dengan bahasa yang mudah untuk dipahami. Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, justru orangtua saya berpikir bagaimana kalau salah satu saja yang masuk ke audit (antara mama atau bapak saya). “Biar bapak saja yang masuk ke audit,” kata mama. Tapi? Lucunya bapak saya justru tidak mau masuk jika sendiri, beliau menimpali, “atau biar mama saja yang masuk ke dalam. Nanti bapak sama Hilmi (nama adik saya yang kecil) main ke mall,” katanya. Waaaahh, ucapan seperti ini secara tidak langsung merupakan penolakan halus untuk berkata, “tidak mau, kamu saja yang masuk audit.” Ada rasa sesak di dada ketika kata-kata tersebut sampai di telinga saya. Hey, bagaimana tidak?! Anaknya ingin wisuda, resmi dilepaskan oleh kampus untuk menjadi alumni, justru tidak didukung sama sekali. Sedih rasanya; karena masih banyak sekali kata-kata yang tidak layak untuk diposting di sini.


Sebenarnya ketika saya mencoba meceritakan hal ini kepada teman saya, dia ingin sekali membantu saya. Ya, sebut saja dia bidadari. Dia bilang akan menjaga adik saya ketika kedua orangtua saya mengikuti acara wisuda tersebut. Saya pikir ide ini cukup cemerlang; cara berpikirnya memang cerdas meskipun ini akan merepotkan sekali. Orangtua saya sempat terdiam lama ketika saya mengutarakan ide teman saya tersebut, sampai akhirnya mama memberi respon, “atau enggak biar bapak sama bidadari saja yang ikut.” Waaah serius, kalau misalnya saya tipikal orang yang ketika marah melampiaskannya dengan merusak barang-barang, saya sudah lakukan saat itu juga. Tapi saya hanya bisa terdiam, benar-benar d-i-a-m seribu bahasa mendengar ucapan mama. Sempat saya berfikir, “apa aku benar-benar anak yang kau lahirkan, ma?


Dukungan, hal terakhir itu yang ingin saya minta pada orangtua. Saya kuliah di UINJ atas keinginan mereka; dan sudah saya lakukan. Ini hasil akhirnya, untuk mereka juga pada akhirnya karena telah berhasil menyukseskan anaknya dan mewujudkan keinginan terpendam mereka; kuliah hingga jenjang S1. Tapi, balasan apa yang saya dapat ketika saya berhasil mewujudkan impian mereka? Tidak ada. Bahkan hanya sekedar dukungan saja tidak diberi, apalagi hal yang lain? Saya hanya ingin dukungan orangtua untuk mengikuti wisuda dan menitipkan adik saya pada bidadari. Hanya itu. Toh adik saya cukup menyukai teman saya ini. Bagaimana tidak, dia saja memanggil bidadari dengan sebutan, “dedek,” aneh, kan? Jelas-jelas bidadari lebih tua dari dia.


Mungkin keinginan saya untuk mendapatkan dukungan dari orangtua sedikit egois. Tapi percayalah, ma, pak, keegoisan saya ini akan saya kenang seumur hidup karena hanya akan terjadi satu kali saja. Saya justru berpikiran untuk memberikan undangan wisuda itu kepada orangtua bidadari; ya, agar mereka yang mewakilkan dan akan terus mereka yang saya kenang, nantinya. Orangtua bidadari tahu permasalahan ini dan mungkin akan membantu saya keluar dari permasalahan yang sepele ini; walaupun akan sangat-sangat merepotkan nantinya. Tapi pikiran ini belum saya utarakan dan masih tersimpan rapi di dalam otak saya.


Melalui tulisan ini yang mungkin nantinya akan dikenang, saya akan menuliskan satu pesan untuk kalian. “Dear mama dan bapak yang saya sayangi. Mungkin saya adalah anak durhaka yang tidak pernah mengerti apa dan bagaimana kalian. Mungkin elama hidup, saya hanya menyusahkan kalian saja. Maaf, tapi pilihan hidup bukan di tangan saya; saya juga tidak ingin berada di sini, kalau bisa. Ma, pak, saya hanya seorang biasa yang membutuhkan dukungan dari orangtuanya. Saya bukan anak robot, ma, pak. Dari semua dukungan yang saya butuhkan, hanya dukungan yang bersifat menyemangati yang ingin saya minta kepada kalian. Apakah hal itu berat untuk dilakukan? Sulitkah? Saya hanya ingin kalian berada di memori kehidupan saya yang indah, enggak lebih. Wisuda S1 saja sudah banyak sekali dramanya, bagaimana jika saya menikah nanti? Mengurus dari tidur yang harus dikelonin hingga mampu berjalan sendiri di pilihan kehidupannya, lalu anak itu diberikan kepada orang lain, akan terjadi drama apalagi? Sebenarnya hanya perkara dukungan saja, ma, pak. Dukungan. Saya kekurangan dukungan dari kalian dan selama ini harus menanggung sendiri resiko dari pilihan yang kalian ingini. Jujur saja lelah berjalan sendiri. Tapi saya enggak bisa apa-apa, karena ini jalan kehidupan saya tanpa adanya dukungan dari kalian selaku orangtua saya.”



1 comment:

  1. astagfirullah ,mbak .sedih bgt asliiii ..aku gtw kl ad d posisi mbaknya ..

    ReplyDelete