Monday 14 May 2018

Penutup dari UINJ: Part II


Assalamu’alaikum semua...

Wah, gak berasa ya balik lagi dijudul posting-an yang sama tapi berbeda part hehe. Ketika saya menulis tulisan ini, saya sudah melewati masa-masa wisuda ke-108 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Bermodal empat koma lima tahun mengenyam pendidikan di sana, banyak sekali hal-hal yang membuat hari-hari saya begitu indah.



Belajar Ikhlas Meredam Ego Sendiri (2013-2017)

Siapa bilang kuliah di UINJ itu atas keinginan diri sendiri? Kalau soal jurusan, ya, saya yang menginginkan. Itupun hanya berlandaskan suka pada mata pelajarannya selama SMA. Kayaknya sudah tidak perlu dijelaskan lagi kemana hati saya ingin melangkah saat itu pada tahun 2013 silam. Berawal dari keterpaksaan kuliah di sini karena tidak mendapatkan restu dari kedua orangtua, berusaha berlapang dada untuk menerima dan menjalaninya dengan seikhlas mungkin, hingga akhirnya saya mersa sedih sendiri ketika sudah dinyatakan sebagai alumni UINJ.


Berat, benar-benar berat hari-hari yang harus saya lalui di sini. Banyak beban di pundak yang membuat saya selalu merasa lelah di tiap harinya. Saya diberi tanggung jawab di tempat yang tidak saya ingini. “Yaa Allah, hamba ingin menitipkan anak hamba di UINJ. Tolong, kabulkanlah keinginan hamba,” begitulah kira-kira isi do’a dan pengharapan dari kedua orangtua beberapa tahun yang lalu. Sedikit kecewa saya rasakan karena kedua orangtua saya tidak memberika restu do’a kepada saya jika tempat yang akan saya tuntut ilmunya jauh dari jarak mereka. “Tapi, kenapa? Toh, saya hanya akan menuntut ilmu, tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Saya juga tahu mana yang benar dan mana yang salah,” pikir saya selama empat semester.


Kuliah di UINJ mengharuskan saya menggunakan jilbab karena memang hampir semua mahasiswanya beragama islam (walau ada beberapa mahasiswa pindahan dari luar negeri, dan kebanyakan cowok, sih). Semasa TK, SD, SMP, bahkan SMA saya tidak menggunakan jilbab ketika bersekolah (hanya ketika saya berada di TPA saja, itupun kerudung yang langsung pakai). Saya yang saat itu sadar sudah berada di akhir kelas tiga SMA diberitahu oleh Ibu Dwi selaku Guru Bimbingan Konseling (BK) bahwa kuliah di sana harus menggunakan jilbab dan kalau bisa harus permanen memakai jilbabnya. Saat mendengar kata-kata beliau, hati saya deg-degan tidak karuan. “Bisa tidak, yaa? Saya saja tidak betahan kalau memakai jilbab. Udah gitu kalau make jilbab habis satu jam sendiri!” Tapi berhubung saya sudah mendaftar SPMB-PTAIN dan lolos di Jurusan Sosiologi, mau tidak mau saya harus mulai belajar menggunakan jilbab ketika liburan panjang. Lucunya, saya memberi syarat, “belikan saya kerudung, Pak. Saya akan belajar memakai kerudung dan Insya Allah akan permanen memakainya,” kepada bapak saya.


Awalnya sulit, sangaaaattt sulit. Saya harus berubah 360 derajat dalam hal berpakaian (hanya berubah pada penggunaan baju dan jilbab aja, sih). Tapi lama-kelamaan, ternyata saya menikmati sekali proses belajar ini; merasa nyaman dan tenang sendiri karena sudah menutup diri. Semester awal, saya hanya fokus pada bagaimana menggunakan jilbab dengan rapi. Pertengahan semester, saya mulai belajar menggunakan jilbab yang panjang dan didobel agar tidak menerawang dan belajar menggunakan rok. Di akhir semester, saya hanya perlu mempertahankan apa yang sudah saya pelajari sebelum-sebelumnya.


Rasanya? Jangan ditanya gimana tidak betah pada awalnya, ditambah lagi ketika kuliah. Kenapa? Karena... Di sini saya diajarkan untuk ikhlas dalam versi lain (jiah hahaha). Apalagi kalau bukan masalah perasaan. Jadi kalau digambarkan polanya, seperti ini: tidak betah dan ingin pindah universitas – berpacaran dengan a, dan akhirnya betah – putus, dan risih kembali dengan UINJ – berpacaran dengan b, dan hati semakin mantap menetap di UINJ – putus ketika semester akhir, dan tetap akan menempuh pendidikan di sini tanpa perlu adanya kata risih kembali.


Itu dari segi percintaan, lain lagi dari segi pertemanannya. Di kelas saya, bisa dibilang pergaulannya genk-genk-an. Mereka yang memiliki genk, hanya akan bermain dengan temannya. Sedangkan yang tidak punya genk, berkumpul dengan anak yang tidak ber-genk juga. Pola interaksi yang diajarkan di sosiologi tidak dapat terlihat dengan fenomena teman sekelas saya (lain cerita kalau masalah kelompok presentasi, yaa). Namun, semua akhirnya mau berbaur ketika ada satu mata kuliah yang mengharuskan kami menetap selama beberapa hari di kota orang, yaitu ke Garut pada semester tiga dan pergi ke Bandung di semester lima. Gara-gara kedua tempat ini nih, saya baru merasakan kekeluargaan pada mereka.



Januari, 2018...

Inilah bulan dan tahunnya. Inilah saatnya saya diluluskan dari kampus ini; kampus yang sudah menjadi saksi bisu perjalanan panjang saya. Waktunya mengucapkan selamat tinggal dan terimakasih kepada gedung FISIP UINJ yang ‘katanya’ paling bagus se-UINJ. Rasanya akan sangat jarang sekali saya menyapa awan dan matahari ketika sedang menunggu kelas jam pertama dimulai. Melaksanakan ‘dhugem’ alias ‘dhuha gembira saat jeda jam kuliah di musholla fisip yang speaker-nya diputus oleh entah siapa. Serta membawa perbekalan yang sengaja saya bawa dari rumah untuk dimakan bersama teman-teman. Kalau dijabarin satu-satu akan panjang, sih.


Mahasiswi Fisip UINJ, Jurusan Sosiologi, dengan Nama Retno Setyowati, Dinyatakan Lulus Sidang,” adalah kata-kata yang paling saya sukai di bulan itu, yang keluar dari mulut ketua kaprodi. Sebenarnya, ada rasa sesak ketika saya mendengar kalimat tersebut, entah apa dan bagaimana. Terasa seperti disuruh pergi secara terhormat, tetapi tidak ingin pergi. “Salahkah jika saya masih ingin di sini? Ya, saya akui, awalnya saya tidak menyukai tempat ini. Tapi lain ceritanya dengan sekarang. Saya masih ingin tetap berada di sini.” Celetuk saya di dalam hati.




Mei, 2018...

Di awal bulan ini, akhirnya saya dilantik oleh rektor UINJ. Aseli, pas barisan mulai memasuki ruang Auditorium Harun Nasution, rasanya sedih sekali dan ingin menangis :’D (wkwkw lebay, ya, tapi kenyataan, deh). Akhirmya, penantian untuk dipindahkan tali toganya berakhir bahagiaaaa. Padahal dulu sempet durhaka dulu sama orangtua (ahaha ampun, Ma, Pak). Ya, gelar sarjana ini, medali ini, dan baju toga saya persembahkan untuk kedua orangtua saya yang dengan bangganya menginginkan saya mendapat gelar di universitas ini. Ma, Pak, sudah kelar tanggung jawab saya. Beban yang kalian beri, Alhamdulillah sudah saya rampungkan. Maaf, kalau harus memakan sedikit lama waktu. Mungkin begitu cara Allah membahagiakan hamba-hambanya; menunda lalu memberi nikmat yang tak terduga. Alhamdulillah..


Dear UINJ...

Terimakasih banyak karena sudah menjadi kunci inti dalam perjalanan saya mengemban pendidikan. Terimakasih atas segala cerita yang telah terukir dengan indahnya dan akan selalu tersimpan dengan rapi ketika saya menyambanginya nanti. Terimakasih karena sudah menjadi bangunan yang kokoh untuk saya bersandar, ketika saya mengeluh ‘mengapa harus UINJ,’ dan saat saya merasakan arti pelajaran hidup sebelum dan sesudahnya. Maaf saya harus hengkang secara terhormat dari tempatmu berada, menjauhi, bahkan meninggalkan sementara semua cerita yang sudah tercipta. Berjanjilah ketika saya kembali berkunjung, jangan sungkan untuk menghidupkan kembali segala memori yang pernah terjadi; entah itu memori bahagia atau sedih. Maaf karena dahulu saya sempat meragukanmu karena bukan tempat kuliah pilihan saya, bahkan harus membuat orangtua saya kecewa, mungkin.


Dear UINJ, terimakasih untuk segala-galanya; pelajaran dan pengajaran, teman-teman, lingkungan sepi khas fisip, tempat berteduh kala terik maupun hujan, dan pengalaman-pengalaman unik selama saya di sana. See you soon, Fisip UINJ...

2 comments:

  1. Mashaa Allahhh... sedih mb sy bacanya.selamat utk krn tlh slesai y mb ....

    ReplyDelete
  2. wallahu...., cara Allah memberi hidayah beda" ya trnyata ...,

    ReplyDelete