Sunday 2 August 2015

Today, in Ciledug, South Tangerang.

Hai, kalian semua! Hari Minggu ini saya dapat banyak sekali pembelajaran, nih. Pembelajaran yang sangat-sangat berarti untuk saya. Jadi, rekam jejaknya untuk hari ini seperti ini:


            Hari Minggu ini adalah hari kedua di bulan Agustus. Kebetulan sekali Bapak saya mendapat jatah untuk libur dari kerjanya. Karena saya belum berlebaran ke rumah Bude saya di bilangan Kedoya, Jakarta Barat, kami merencanakan untuk berlebaran kesana pada hari ini (tanpa Asik saya yang kedua). Hampir-hampir saja rencana untuk berlebaran itu gagal lantaran genting rumah saya sehari sebelumnya bocor ketika hujan deras menyerbu. Kemudian, Mama saya memanggil tukang bangunan untuk membenahi genting tersebut. Dari sini kami harus menunggui tukang bangunan tersebut hingga pekerjaannya selesai.

            Selain menunggu tukang bangunan tersebut, Bapak saya pergi ke bengkel untuk menyervis motornya. Pagi-pagi sekali beliau sudah berangkat ke bengkel, namun tetap saja mengantri. Ketika Bapak saya masih berada di bengkel, sempat si kuning Nazwa; motor kecintaan saya, tidak mau menyala. Karena terlihat kebingungan, akhirnya tukang bangunan itu membantu saya membenarkan Nazwa. Rentang satu jam kemudian, baik tukang bangunan maupun Bapak saya telah selesai dengan urusannya masing-masing. Saya dan Mama saya bergegas untuk bersiap-siap pergi. Sebelum berangkat, Bapak saya mengecek Nazwa dengan seksama.

            Oke, kita berangkat! Perjalanan ke Kedoya terbilang tidak terlalu jauh karena melewati jalan yang bisa dibilang jalan tikus. Melewati arah Ciledug dan tidak lama kemudian kami semua sampai di rumah Bude saya. Jalanan pada hari ini terbilang ramai lancer dan hanya memakan waktu satu jam di perjalanan. Tak terasa hari mulai sore, perbincangan terpaksa harus disudahi karena takut-takut sampai di rumah kemaleman. Dan juga macet menjadi alasan nomor satu. Akhirnya kami pulang. Rute perjalanannya agak sedikit berbeda dengan rute ketika pergi tadi; namun sama-sama menggunakan jalan di daerah Ciledug. Di sinilah pembelajaran itu terjadi.

            Saya lagi anteng-antengnya mengikuti motor Bapak saya di belakangnya. Bapak saya terkenal dengan kegilaannya ketika membawa kendaraan. Jarak saya dengan Bapak saya saat itu sekitar dua meter. Masih terlihat dengan jelas beliau berada di depan saya. Tak berapa lama, entah mengapa Bapak saya menyingkir pelan ke jalan pinggir ketika ada bis. Saya terus saja menggas motor saya karena saya berpikir, Bapak saya akan menyalip bis tersebut. tak jauh dari bi situ berada, akhirnya saya berhenti ketika saya tidak bisa melihat sosok Bapak saya di kaca spion. Lima menit… Sepuluh menit…, tak kunjung terlihat. Saya sempat untuk menelepon menanyakan di mana posisi Bapak saya. Namun suara yang terdengar tidak terlalu jelas karena terdengar riuh dengan kendaraan yang lalu lalang. Akhirnya saya memutar balik dengan kemungkinan saya dapat mengetahui posisi Bapak saya dari seberang jalan.

            Namun, tak ada sesosok yang saya kenal di sepanjang jalan tersebut. Sesekali lagi saya menelepon Mama saya, yang justru saya disuruh pulang lebih dahulu saja. Panik campur bingung saat itu, karena saya tidak hafal dengan jalanan di daerah Ciledug. Dengan bermodal sedikit ketenangan dan keyakinan pada hati kcil saya, akhirnya saya melanjutkan perjalanan. Awalnya, saya sedikit bingung dengan papan penunjuk jalan yang ada di sana. “Harus kemana, nih? Ke kiri atau ke kanan, ya?” dengan secepat kilat akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jalan ke kanan.

            Ternyata, jalan ke kanan itu jalanan yang sedikit tidak asing bagi saya. Karena sekitar setahun yang lalu saya pernah melewati jalanan ini bersama Mama saya. Tanpa ragu-ragu saya terus berjalan menyusuri ramainya jalan di Ciledug saat itu. Dan kemudian, saya senang bukan main ketika saya mulai mengenali jalanan yang dulunya sering saya lewati bersama Mama saya untuk ke dokter gigi. Akhirnya saya pun sampai di rumah. Ketika baru banget sampai di depan pagar, Adik saya menertawakan saya karena nyasar dan kehilangan jejak Bapak sembari membukakan pagar tersebut. saya juga ikut tertawa, walau terselimut sedikit rasa kesal dalam hati.

            Pernah mendengar kata-kata seperti ini, “Jangan pernah ragu melepas merpati terbaik untuk pergi. Karena dia pasti tahu jalan untuk pulang.” tidak? Mungkin, kedua orang tua saya mengibaratkan saya seperti merpati; tak peduli dimana dan seberapa jauh anaknya tersebut, pasti dia akan pulang karena dia telah hafal dengan jalan pulangnya tersebut. Sama halnya seperti burung-burung merpati yang bepergian pada pagi hari untuk mencari makan dan kembali ketika hari petang ketika sudah kenyang dengan makanan yang di dapatnya. Merpati-merpati itu dengan tenangnya mencari makanan karena dia tahu, setelah mendapati makanan, dia akan segera pulang. Dan membawa hasil makanannya tersebut kepada anaknya-anaknya.


“Jangan pernah ragu untuk melepas merpati terbaik untuk pergi. Karena dia pasti tahu jalan untuk pulang.” Karena seberapa jauh dia pergi, seberapa sering dia mengabaikan rasa rindu dengan rumahnya, dan seberapa lama dia berada di luaran sana, dia akan segera pulang entah cepat atau pun lambat. J


Hasil gambar untuk burung merpati

6 comments: