Monday 5 January 2015

Kamulah Alur Ceritaku.

Konichiwa, minna-san. Gomenne, karena udah jarang banget posting dan baru dikasih kesempatan nulis lagi sekarang di tengah-tengah peristirahatan sebelum memulai lagi untuk memperjuangkan UAS Metode Penelitian Sosial (meluk buku). Sebenarnya, banyak banget cerita yang ingin saya bagikan di sini (walaupun enggak ada yang baca. -read), namun setelah melewati seleksi alam, akhirnya postingan saya kali ini berjudul, “Kamulah Alur Ceritaku.” Semoga tulisan ini nasibnya akan kelar (tidak seperti tulisan-tulisan saya yang lainnya) yang entah bagaimana nasibnya.


            Jadi beginilah alurnya. Tahun kedua ini, saya sedang menekuni suatu jurusan di salah satu universitas (pada postingan terdahulu, saya pernah menceritakan bagaimana seluk-beluknya tentang universitas ini), yang saya sendiri enggan untuk tercatat sebagai Mahasiswi sini. Namun, bukan hal ini yang akan saya ceritakan secara dalam lagi, melainkan cerita pada tahun pertama yang menurut saya adalah tahun di mana saya masih dengan lugunya menarik ingus dan banyak bertanya, “Eh, ini apa, sih?” atau “Maksudnya gimana sama yang itu?” Oke, saya terbilang polos dan memang tidak mengerti apapun yang ada pada universitas beserta isinya ini (sebenarnya, sekarangpun begitu. –tersipu malu). Yang pasti, saya akan bercerita secara mendalam mengenai salah seorang teman saya (eh, sekarang bukan teman lagi. –hehe).

            Pada saat itu, dalam suasana kelas yang cukup riuh, dosen untuk mata kuliah pada hari Senin pukul 07:30 WIB masuk ke kelas dengan tegap. Suara sepatunya mengagetkan kami, para Mahasiswa Baru yang berkumpul dalam satu ruangan dengan saling tak mengenal, (ada yang saling kenal beberapa, karena kami terbagi menjadi beberapa kelompok dalam kegiatan OSPEK) mendadak harus diam. Saya yang memperhatikan mereka satu persatu tidak begitu kaget dengan kehadiran dosen ini. Dosen ini kemudian duduk di tempat meja dosen yang sedaritadi terlihat horror bagi saya. Satu persatu para Mahasiswa Baru pun disebutkan namanya. Saya tetap memperhatikan ketika nama-nama mereka dipanggil, saya pun segera melihat tangan mana yang menjulang tinggi ke atas, lalu membuat kesimpulan sendiri, “Oh, jadi si itu yang namanya A.” atau “Ternyata, dia toh yang namanya B.” sambil bergurau sendiri, tiba-tiba ketika salah satu para Mahasiswa Baru ini disebutkan, mendadak saya diam terlalu lama. “Ooh, anak yang sedaritadi diam saja itu namanya X, ya?” gumam saya dalam hati sembari memperhatikan dia dari ujung kepala hingga ujung kaki.

            Kesan pertama yang saya dapat tentang anak ini adalah, “Kalem.” Entah mengapa saya bisa menilainya seperti itu, atau mungkin karena dia orang yang duduk paling depan, kemudian terlihat menyendiri dan selalu diam, saya tak mengerti. Namun, ada yang membuat saya terkaget-kaget adalah ketika pada suatu hari (jujur, saya lupa hari apa pada saat itu), pada mata kuliah Bahasa Inggris diadakan pembagian kelompok yang dihitung sesuai dengan jumlah bagi anak-anak sekelas. Setelah berhitung dan mulai berkumpul dengan hasil perhitungan tadi. Hal ini yang membuat saya kaget, ternyata saya satu kelompok dengan dia. Tiada ampun untuk Mahasiswa Baru ini, dosen kemudian memberikan tugas kelompok yang dan memberikan waktu untuk deadline yang enggak lama. Maka dari itu saya, dia, dan beberapa orang lainnya yang tergabung dalam kelompok, sepakat untuk menyelesaikan tugas bahasa inggris ini esok hari, di Perpustakaan Utama, kampus satu.

            Keesokannya, setelah semalam melakukan perjanjian, akhirnya kami sepakat untuk bertemu di kampus. Selain kesan kalem yang saya dapati dari dia, di hari ini pun saya mendapati kesan kedua, yaitu “Rajin” karena dia datang jauh sebelum waktu yang ditentukan. Saya ragu untuk menyapanya. Saya yang datang dengan Dita (teman pertama yang saya kenal di fisip), dengan ragu meyakini bahwa dia adalah dia. Akhirnya dengan langkah seribu, Dita menyapanya dan mengajaknya untuk bersama-sama pergi ke Perpustakaan Umum. Banyak informasi yang saya ketahui tentangnya disepanjang perjalanan (karena Dita yang mengajaknya mengobrol). Saya yang mendengarnya, menjadi kebingungan sendiri dengan diri saya sendiri.

            Lucunya dari awal kelompok Bahasa Inggris inilah saya menjadi dekat. Namun, dekat di sini hanyalah sebatas dekat karena sering menanyakan tugas. Saya pernah menakuti ini sebelumnya kepada Dita. Entah apa yang perlu saya rasa takuti, saya benar-benar merasa takut terjebak dengannya. Namun, lamban laun pada suatu hari, saya mendengar kabar burung bahwa dia sedang dekat dengan anak kelas yang juga teman saya. dan pada saat yang bersamaan pula, saya sedang dekat juga dengan teman sekelas. Alhasil, kami berdua saling menjauh, dan fokus dengan urusan masing-masing (urusan perasaan –read). Akhirnya, saya Berusaha Tumbuh Bersama dengan teman sekelompok waktu OSPEK, dan dia masih berusaha mengejar yang ingin dia kejar pada teman saya.

            Selama saya berproses dengan teman se-OSPEK saya, terkadang ketika saya sedang ada masalah, saya tak ragu ataupun sungkan untuk berbagi cerita padanya. Begitu pula sebaliknya, kami saling untuk berbagi cerita tentang orang spesial yang mengisi hati kami pada saat itu. Bahkan, hingga saya menyudahi berproses dengan teman saya itu, dia bisa menjadi tempat pelampiasan kekesalan saya dengan bercerita panjang lebar tanpa henti. Lucunya lagi, di saat saya merasa bosan dengan teman sekelas saya, dialah yang saya tuju untuk bercerita bagaimana saya bisa merasa bosan, ketika hubungan saya dengannya sedang tidak baik, dan bahkan bertanya segala hal tentang sifat cowok yang sewajarnya mencintai wanita pun ke dia.

Saat semester dua, status saya memang sudah bukan lagi kekasih dari teman seperjuangan OSPEK waktu itu. Namun entah mengapa saya masih saja dekat dengannya (mantan saya. –read). Hubungan saya dengan teman sekelompok Bahasa Inggris pada waktu semester satu ini memang dari dulu hanya sebatas teman. Saat itu, dia masih saja memperjuangkan perasaannya dengan teman satu kelas kami, padahal satu semester telah berlalu. Entah kenapa, ngerasa enggak fair dengan keadaan yang seperti ini.

Semester tigapun sedang berjalan. Bulan pertama di semester ketiga terasa biasa saja. Perbedaannya, saya tak lagi dekat dengan mantan saya ini, namun dia masih memperjuangkan perasaannya. Titik terang di mulai dari bulan kedua semester ketiga, ternyata usut punya usut orang yang sedang diperjuangkan olehnya tak sendiri lagi. Saya tak lagi untuk kaget mengetahuinya, karena orang yang dia tunggu selama ini memiliki gelagat yang aneh dengan salah satu teman sekelas saya (lagi-lagi teman sekelas. –read). Dan akhirnya tak lama dari kecurigaan saya tersebut, muncul kabar bahwa mereka berdua telah menjadi sepasang kekasih. Jujur, saya sedikit iba melihat dia yang setiap hari merasa tak ada semangat. Bisa dibilang, ini masa terberatnya, masa di mana dia harus merelakan dan melupakan wanita idamannya tersebut.

Banyak yang mencoba untuk menghibur, salah satunya saya sendiri agar tak melulu menunjukan kesedihannya. Saya melakukan ini pada saat itu bukan karena saya ada rasa dengannya atau merasa enggak suka ketika dia update status yang berbau kesedihan untuk wanita idamannya tersebut. tapi, memberikan motivasi agar bangkit dan tidak lagi mengingat wanita idamannya ini. Awalnya memang susah dan dapat pula dihitung dengan jari, seberapa banyak orang yang berusaha membuat dia bangkit dan tak melulu merasakan kesedihan ataupun keterpurukan.

Masa ini pun setengah berhasil dia lewati. Di bulan kedua akhir di semester tiga, anak-anak kelasan saya riuh membicarakan akan penelitian ke tempat atau daerah mana. Pilihannya hanya dua tempat saja. Tujuan tempat pertama yang menjadi rekomendasi adalah Tasikmalaya, sedangkan tujuan yang kedua adalah Garut (tentu saja ini atas saran mantan saya ke dosen waktu itu. –read). Alhasil,  tempat tujuan yang menjadi pemenangnya adalah Garut, karena mantan saya melakukan gerakan yang cukup cepat untuk mengurus semuanya, termasuk izin ke daerah pedesaan yang ada di Garut tersebut. Hal inilah yang membuat saya takut, pasalnya dia sempat mengatakan bahwa provider yang saya gunakan terkadang suka gangguan. Akhirnya, saya memutuskan untuk bercerita kepada dia. Dan dia pun memberikan alasan yang simple, “Yaudah ganti kartu aja. Nanti gue beliin deh providernya.” jawabnya.

Dan karena urusan provider ini, entah mengapa saya menjadi dekat dengannya. Selain dia memiliki darah keturunan yang sama dengan saya, kami juga memiliki banyak kesamaan. Dari hal-hal yang besar sampai yang terkecil pun terkadang selalu sama. Jujur saya terkadang merasa bingung sendiri lantaran banyak hal dari kami yang sama. Kesamaan di antara kita tak terlalu membuatku pusing tujuh keliling dibuatnya.

Tak terasa bulan ketiga di semester ketiga, ini kali kedua saya menemaninya mencari makan. Pada saat pertama kali menemaninya makan, ketika semester satu dan kami masih dekat dengan orang yang spesial di hati kami masing-masing. Bahasan pada kali pertama saya menemaninya makan, masih khas sesuai dengan apa yang ada di dalam isi hatinya. Namun sekarang, di kali kedua saya menemaninya makan, bahasan yang saya tau tak lagi sama. Dan ada lagi hal yang mengejutkan saya ketika dia telah selesai menghabiskan makanannya. Dengan sedikit terbata dia bilang, “Gue mau ngomong sesuatu. Tapi jangan diketawain, ya?” saya hanya mengangukkan kepalanya tanda setuju. Satu menit… Dua menit… Sepuluh menit… Lima belas menit… Dia tak lekas berbicara. Akhirnya saya yang saat itu sedang fokus dengan hp saya yang sedaritadi hanya meng-scroll timeline di twitter, memecahkan keheningan, “Mau ngomong apa?” dengan mengalihkan mata saya dari hp menuju kedua bola matanya. "Ah, kedua tatapan mata itu penuh dengan kegugupan." gumam saya dalam hati sembari melempar pandangan saya ke orang-orang disekitaran/

Setelah mendengar apa yang dia bicarakan, saya diam seribu bahasa. Mungkin dia ingin berbalas dendam dengan saya. Ketika saya sedang diam seribu bahasa membayangkan ekspresinya yang lucu tadi, lamunan saya mendadak buyar. “Jadi gimana?” tak banyak bicara, saya langsung berdiri dan mengajaknya ke toko buku untuk memberikannya jawaban. Setelah saya memberikan satu judul buku sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi, akhirnya, matanya berbinar terang, senyumnya mengembang seperti bunga yang bermekaran, dan perasaan lega menyelimutinya. Saya kemudian pergi setelah memberikan salah satu judul buku kepadanya, menjauh darinya dan kemudian senyum-senyum sendiri. Ternyata dia mengikuti saya dari belakang. Mengetahui dia mengikuti saya, saya berkata, “Udah jelaskan jawabannya?” dan dia pun hanya mengangguk tersenyum. Lalu kami pergi ke rak buku bagian komik, saya membaca komik Detective Conan, sedangkan dia membaca komik Naruto.

Dia, seseorang yang kutakutkan terjebak perasaan dengannya, dahulu. Dan sekarang, aku telah benar-benar terjebak dengannya...

“Ah, mungkin orang-orang yang melihat gelagat kita pada hari itu mengira kita orang gila, Mon. Padahal, mereka tak turut serta merasakan apa yang sedang kita rasakan. Dunia terasa indah jika ku deskripsikan, pada waktu itu. Hanya saja, semua itu terkubur manis dalam senyuman ini. J”  

“Let Me Love You, Jo…”



6 comments:

  1. slamattt!!!! bkin sy trharu

    ReplyDelete
  2. wawwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww,so sweatttttt ...

    ReplyDelete
  3. cieeeehhhhhhhhh ..

    ReplyDelete
  4. aseliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, so sweet bgttttttttttttttttt parahhh

    ReplyDelete
  5. :""""""""""""""""""""""""""""""))))

    ReplyDelete