Friday 10 October 2014

Kala Kau Menyapa.

(Tulisan ini hanyalah cerita fiktif. Bukan pengalaman dari penulis.)

Di suatu pagi yang damai dan tenang, di salah satu pohon hiduplah seekor burung betina. Dia selalu begitu muram dan terlihat tak bersemangat di sarangnya. Hari-harinya selalu dilewati dengan kemuraman yang mendalam. Hingga suatu sore pun datang, ketika burung betina ini sedang menikmati matahari tenggelam di sarangnya, tiba-tiba burung betina ini tak sengaja melihat yang tak biasa dia lihat di hari-hari sebelumnya. Terdapat seekor burung lainnya yang tertidur di salah satu ranting dekat dengan sarangnya. Karena rasa penasaran burung betina ini besar, di lihatlah burung ini secara dekat. Betapa mengejutkannya burung betina ini ketika mengetahui burung yang ia ketahui ini berjenis kelamin jantan tak bisa bergerak karena sayap dari burng jantan ini terluka. Dengan sangat berhati-hati, di bawalah burung jantan ini ke sarang si betina dan dirawatlah burung jantan ini.


            Hari demi haripun telah terlewati, dengan sabar si betina mengurus dan merawat luka yang telah membuat si jantan lemas tak berdaya. Hingga luka tersebut benar-benar tak lagi dirasakan sakit oleh burung jantan. Setelah sembuh, akhirnya burung jantan pergi dan mengucapkan banyak terimakasih kepada sang betina karena sudah mau mengurusnya. Setelah kepergian burung jantan ini, burung betina sejujurnya merasakan kehilangan yang cukup mendalam. Bagaimana tidak? Hari-hari sebelumnya ia merasa selalu menjadi burung yang paling beruntung karena telah diberi kesempatan untuk memiliki teman mengobrol, melihat matahari terbit dan terbenam, dan masih banyak hal lagi yang mereka lakukan dalam sebuah kebersamaan yang ia rasakan singkat. Ia tak tahu betul apakah luka si burung jantan sudah sembuh total, tapi yang pasti burung jantan ini sudah dapat terbang bebas jauh ke angkasa.


            Tak diduga-duga, pada suatu malam yang larut dan dipenuhi oleh bintang-bintang yang bersinar, sang jantan  membangunkan sang betina yang tengah terlelap dalam tidurnya. Dipatuknya kepala sang betina yang kemudian sang betina terbangun. Sang betina pun terkaget seraya berkata, “Untuk apa kau kembali lagi ke sini? Apakah bekas lukamu itu kau rasakan kembali sakitnya?” ujarnya dengan penuh kekhawatiran. “Tidak, aku hanya saja ingin mengunjungimu, apa tidak boleh?” jawab sang jantan. Sang betina pun menjawabnya, “Tentu saja boleh.” Seraya melihat sang jantan yang berada di depan matanya, mereka terus berbincang hingga matahari terbit pertanda hari sudah pagi pun muncul.


            Hari demi hari pun telah terlewati, setiap sore sang jantan dengan rutin mengajak sang betina berbincang sembari menyaksikan matahari terbenam, begitu seterusnya berulang hingga suatu hari, sang jantan pun mengajak sang betina mengobrol, “Aku ingin berbicara serius denganmu. Apa kau ingin mendengarnya?” tanyanya pada sang betina. Dengan tatapan mata yang tajam, sang betina menimpali pertanyaan sang jantan, “Ya, apa yang kau ingin bicarakan kepadaku?”. “Entah mengapa semenjak kejadian waktu itu, aku tak ingin lukaku untuk cepat sembuh. Tetapi, dengan melihat perjuanganmu merawatku dengan begitu telaten, aku tak tega untuk berlama-lama merepotkanmu. Maka dari itu, ketika lukaku sudah cukup membaik, kuputuskan untuk pergi meninggalkanmu karena aku takut untuk terlalu lama merepotkanmu. Namun, jalan yang aku ambil untuk pergi meninggalkanmu itu salah. Aku merasa menyesal sudah meninggalkanmu dan aku juga tak ingin berada jauh darimu. Apa kau merasa keberatan jika setiap matahari terbit dan terbenam, aku ada di sini untuk menemanimu melihat pemandangan yang indah itu? Aku nyaman berada di dekatmu. Mungkin yang aku rasakan sekarang adalah sebuah rasa yang amat indah yang harus kau tahu, bahwa aku mencintaimu.” Jelas sang jantan panjang lebar. Sang betina merasa terharu mendengar ungkapan langsung dari sang jantan dan diam tak bisa berbicara apapun. Sekali lagi sang jantan berbicara, “Bagaimana? Bolehkah kutemani hari-harimu?” yang kemudian mengangetkan sang betina dari lamunannya. “Hmm, bagaimana bisa kau berbicara seperti itu di hadapanku?” tanyanya secara gambling. Sang jantan pun menatap sang betina seraya berkata, “Aku merasa nyaman berada di dekatmu. Apa itu kurang jelas untukmu?” lalu, sang betina pun menjawab, “Semua cukup jelas. Jika itu adalah keinginanmu untuk menemaniku, lakukanlah jika itu tak membuatmu berkeberatan.”


            Semenjak saat itu, hari-hari yang dilewati oleh sang betina terasa cukup menyenangkan dan berwarna. Sang jantan pun selalu ada menemani sang betina, sehingga sang betina pun tak lagi merasa kesepian dan terlihat muram seperti yang dulu. Bahkan, sang mentari di kala siang dan sang bintang di kala malam merasakan kebahagiaan mereka berdua yang tercermin pada tingkah laku mereka berdua. Hingga suatu waktu, ketika mereka sedang menikmati matahari terbit, sang jantan meminta izin untuk pergi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sudah berulang dua kali. Hingga yang ketiga kalinya, karena sang betina penasaran apa yang membuat sang jantan bersikap tak biasa dan berani melanggar janjinya dahulu, maka sang betina mengikuti sang jantan. Betapa terkejutnya sang betina ketika mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh sang jantan. Bagaimana tidak terkejut, jika sang jantan bersama burung betina yang lain, yang jauh lebih segala-galanya dibandingkan dengan dirinya. Dengan perasaan yang syok, akhirnya sang betina terbang meninggalkan sang jantan kembali ke sarangnya.


            Di sore hari yang tenang dengan penuh kesunyian, sang betina dengan ragu bertanya kepada sang jantan, “Apa telah ada burung lain yang merawat lukamu, selain aku?” sedikit terkaget sang jantan, lalu membalas pertanyaan sang betina dengan tenang, “Tidak. Memang ada apa kau menanyakan hal ini kepadaku?” ujarnya. “Tidak ada, hanya saja aku melihat seekor burung seperti kamu, sedang bersenda gurau dengan burung yang jauh lebih sempurna dari aku.” jawabnya dengan suara melemah, lalu meneruskannya kembali, “Jika kamu tidak lagi mencintaiku dan merasa bosan, untuk apa kamu harus bersusah payah bersembunyi pergi dariku? Untuk apa kamu masih berusaha selalu ada ketika aku membutuhkanmu? Dia jauh lebih membutuhkanmu dibanding aku, mengapa kau tidak saja untuk pergi bersamanya? Aku tak akan mengganggu kalian berdua lagi. Pergilah, dia yang lebih berhak untuk berada di sisimu sampai kapan pun.” Ungkapnya panjang lebar tanpa member sang jantan kesempatan untuk member penjelasan. Sang jantan yang merasa telah membuat sang betina kecewa, akhirnya pergi menjauhi sarang sang betina. Jauh, jauh, dan semakin jauh hingga tak terlihat lagi tubuhnya.



            “Mungkin  aku salah sudah membuat dia kecewa dan justru memilihnya. Ini semua aku lakukan karena rasa cinta yang aku rasakan, tak lagi seperti dahulu. Namun, apa salah jika aku pergi meninggalkannya tanpa alasan yang dia ketahui? Sekarang, justru malah aku yang merindukan dan merasakan kehilangannya. Apalah artinya matahari terbit dan terbenam tanpa sosok dirinya di sampingku? Namun, semua ini sudah terlambat, sudah tak mungkin lagi untuk ku sesali, karena dia telah berbahagia dengan penggantiku; cinta sejatinya. Betapa bodohnya aku telah meninggalkannya dan tak menghargai setiap detik bersamanya. Dan mengapa pula pada saat itu, dia tak member aku kesempatan untuk menjelaskannya? Sekarang, justru aku yang merasa tidak bahagia karena telah memilihnya. Aku amat sangat menyesal telah meninggalkanmu. Dapatkah kamu kembali denganku? Menikmati matahari terbit dan terbenam, hingga melakukan senda gurau khas di setiap harinya? Aku merindukanmu, apa kau tahu?” ujar sang jantan panjang lebar. Ia tak sebahagia seperti dulu, hidupnya penuh dengan kemuraman dan kesunyian yang ia rasakan tanpa hadirnya sang betina di sisinya.

2 comments:

  1. jgn prnh menyesal melepaskan merpati trbaik,krn dia akan thu kmn dia akn plg....

    ReplyDelete
  2. wwooooooooooooow ....

    ReplyDelete