Konichiwa,
minna-san. Gomenne, karena udah jarang banget posting dan baru dikasih
kesempatan nulis lagi sekarang di tengah-tengah peristirahatan sebelum memulai
lagi untuk memperjuangkan UAS Metode Penelitian Sosial (meluk buku).
Sebenarnya, banyak banget cerita yang ingin saya bagikan di sini (walaupun
enggak ada yang baca. -read), namun setelah melewati seleksi alam, akhirnya
postingan saya kali ini berjudul, “Kamulah Alur Ceritaku.” Semoga tulisan ini
nasibnya akan kelar (tidak seperti tulisan-tulisan saya yang lainnya) yang
entah bagaimana nasibnya.
Jadi beginilah alurnya. Tahun kedua
ini, saya sedang menekuni suatu jurusan di salah satu universitas (pada
postingan terdahulu, saya pernah menceritakan bagaimana seluk-beluknya tentang
universitas ini), yang saya sendiri enggan untuk tercatat sebagai Mahasiswi
sini. Namun, bukan hal ini yang akan saya ceritakan secara dalam lagi,
melainkan cerita pada tahun pertama yang menurut saya adalah tahun di mana saya
masih dengan lugunya menarik ingus dan banyak bertanya, “Eh, ini apa, sih?”
atau “Maksudnya gimana sama yang itu?” Oke, saya terbilang polos dan memang
tidak mengerti apapun yang ada pada universitas beserta isinya ini (sebenarnya,
sekarangpun begitu. –tersipu malu). Yang pasti, saya akan bercerita secara
mendalam mengenai salah seorang teman saya (eh, sekarang bukan teman lagi.
–hehe).
Pada saat itu, dalam suasana kelas
yang cukup riuh, dosen untuk mata kuliah pada hari Senin pukul 07:30 WIB masuk
ke kelas dengan tegap. Suara sepatunya mengagetkan kami, para Mahasiswa Baru
yang berkumpul dalam satu ruangan dengan saling tak mengenal, (ada yang saling
kenal beberapa, karena kami terbagi menjadi beberapa kelompok dalam kegiatan
OSPEK) mendadak harus diam. Saya yang memperhatikan mereka satu persatu tidak
begitu kaget dengan kehadiran dosen ini. Dosen ini kemudian duduk di tempat
meja dosen yang sedaritadi terlihat horror bagi saya. Satu persatu para
Mahasiswa Baru pun disebutkan namanya. Saya tetap memperhatikan ketika nama-nama
mereka dipanggil, saya pun segera melihat tangan mana yang menjulang tinggi ke
atas, lalu membuat kesimpulan sendiri, “Oh, jadi si itu yang namanya A.” atau
“Ternyata, dia toh yang namanya B.” sambil bergurau sendiri, tiba-tiba ketika
salah satu para Mahasiswa Baru ini disebutkan, mendadak saya diam terlalu lama.
“Ooh, anak yang sedaritadi diam saja itu namanya X, ya?” gumam saya dalam hati
sembari memperhatikan dia dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Kesan pertama yang saya dapat
tentang anak ini adalah, “Kalem.” Entah mengapa saya bisa menilainya seperti
itu, atau mungkin karena dia orang yang duduk paling depan, kemudian terlihat
menyendiri dan selalu diam, saya tak mengerti. Namun, ada yang membuat saya
terkaget-kaget adalah ketika pada suatu hari (jujur, saya lupa hari apa pada
saat itu), pada mata kuliah Bahasa Inggris diadakan pembagian kelompok yang
dihitung sesuai dengan jumlah bagi anak-anak sekelas. Setelah berhitung dan
mulai berkumpul dengan hasil perhitungan tadi. Hal ini yang membuat saya kaget,
ternyata saya satu kelompok dengan dia. Tiada ampun untuk Mahasiswa Baru ini,
dosen kemudian memberikan tugas kelompok yang dan memberikan waktu untuk
deadline yang enggak lama. Maka dari itu saya, dia, dan beberapa orang lainnya
yang tergabung dalam kelompok, sepakat untuk menyelesaikan tugas bahasa inggris
ini esok hari, di Perpustakaan Utama, kampus satu.
Keesokannya, setelah semalam
melakukan perjanjian, akhirnya kami sepakat untuk bertemu di kampus. Selain
kesan kalem yang saya dapati dari dia, di hari ini pun saya mendapati kesan
kedua, yaitu “Rajin” karena dia datang jauh sebelum waktu yang ditentukan. Saya
ragu untuk menyapanya. Saya yang datang dengan Dita (teman pertama yang saya
kenal di fisip), dengan ragu meyakini bahwa dia adalah dia. Akhirnya dengan
langkah seribu, Dita menyapanya dan mengajaknya untuk bersama-sama pergi ke
Perpustakaan Umum. Banyak informasi yang saya ketahui tentangnya disepanjang
perjalanan (karena Dita yang mengajaknya mengobrol). Saya yang mendengarnya,
menjadi kebingungan sendiri dengan diri saya sendiri.
Lucunya dari awal kelompok Bahasa
Inggris inilah saya menjadi dekat. Namun, dekat di sini hanyalah sebatas dekat
karena sering menanyakan tugas. Saya pernah menakuti ini sebelumnya kepada
Dita. Entah apa yang perlu saya rasa takuti, saya benar-benar merasa takut
terjebak dengannya. Namun, lamban laun pada suatu hari, saya mendengar kabar
burung bahwa dia sedang dekat dengan anak kelas yang juga teman saya. dan pada
saat yang bersamaan pula, saya sedang dekat juga dengan teman sekelas. Alhasil,
kami berdua saling menjauh, dan fokus dengan urusan masing-masing (urusan
perasaan –read). Akhirnya, saya Berusaha Tumbuh Bersama dengan teman sekelompok
waktu OSPEK, dan dia masih berusaha mengejar yang ingin dia kejar pada teman
saya.
Selama saya berproses dengan teman
se-OSPEK saya, terkadang ketika saya sedang ada masalah, saya tak ragu ataupun
sungkan untuk berbagi cerita padanya. Begitu pula sebaliknya, kami saling untuk
berbagi cerita tentang orang spesial yang mengisi hati kami pada saat itu.
Bahkan, hingga saya menyudahi berproses dengan teman saya itu, dia bisa menjadi
tempat pelampiasan kekesalan saya dengan bercerita panjang lebar tanpa henti.
Lucunya lagi, di saat saya merasa bosan dengan teman sekelas saya, dialah yang
saya tuju untuk bercerita bagaimana saya bisa merasa bosan, ketika hubungan
saya dengannya sedang tidak baik, dan bahkan bertanya segala hal tentang sifat
cowok yang sewajarnya mencintai wanita pun ke dia.
Saat
semester dua, status saya memang sudah bukan lagi kekasih dari teman
seperjuangan OSPEK waktu itu. Namun entah mengapa saya masih saja dekat
dengannya (mantan saya. –read). Hubungan saya dengan teman sekelompok Bahasa
Inggris pada waktu semester satu ini memang dari dulu hanya sebatas teman. Saat
itu, dia masih saja memperjuangkan perasaannya dengan teman satu kelas kami,
padahal satu semester telah berlalu. Entah kenapa, ngerasa enggak fair dengan keadaan yang seperti ini.
Semester
tigapun sedang berjalan. Bulan pertama di semester ketiga terasa biasa saja.
Perbedaannya, saya tak lagi dekat dengan mantan saya ini, namun dia masih
memperjuangkan perasaannya. Titik terang di mulai dari bulan kedua semester
ketiga, ternyata usut punya usut orang yang sedang diperjuangkan olehnya tak
sendiri lagi. Saya tak lagi untuk kaget mengetahuinya, karena orang yang dia
tunggu selama ini memiliki gelagat yang aneh dengan salah satu teman sekelas
saya (lagi-lagi teman sekelas. –read). Dan akhirnya tak lama dari kecurigaan
saya tersebut, muncul kabar bahwa mereka berdua telah menjadi sepasang kekasih.
Jujur, saya sedikit iba melihat dia yang setiap hari merasa tak ada semangat.
Bisa dibilang, ini masa terberatnya, masa di mana dia harus merelakan dan
melupakan wanita idamannya tersebut.
Banyak
yang mencoba untuk menghibur, salah satunya saya sendiri agar tak melulu
menunjukan kesedihannya. Saya melakukan ini pada saat itu bukan karena saya ada
rasa dengannya atau merasa enggak suka ketika dia update status yang berbau kesedihan untuk wanita idamannya
tersebut. tapi, memberikan motivasi agar bangkit dan tidak lagi mengingat
wanita idamannya ini. Awalnya memang susah dan dapat pula dihitung dengan jari,
seberapa banyak orang yang berusaha membuat dia bangkit dan tak melulu
merasakan kesedihan ataupun keterpurukan.
Masa
ini pun setengah berhasil dia lewati. Di bulan kedua akhir di semester tiga,
anak-anak kelasan saya riuh membicarakan akan penelitian ke tempat atau daerah
mana. Pilihannya hanya dua tempat saja. Tujuan tempat pertama yang menjadi
rekomendasi adalah Tasikmalaya, sedangkan tujuan yang kedua adalah Garut (tentu
saja ini atas saran mantan saya ke dosen waktu itu. –read). Alhasil, tempat tujuan yang menjadi pemenangnya adalah
Garut, karena mantan saya melakukan gerakan yang cukup cepat untuk mengurus semuanya,
termasuk izin ke daerah pedesaan yang ada di Garut tersebut. Hal inilah yang
membuat saya takut, pasalnya dia sempat mengatakan bahwa provider yang saya
gunakan terkadang suka gangguan. Akhirnya, saya memutuskan untuk bercerita
kepada dia. Dan dia pun memberikan alasan yang simple, “Yaudah ganti kartu aja.
Nanti gue beliin deh providernya.” jawabnya.
Dan
karena urusan provider ini, entah mengapa saya menjadi dekat dengannya. Selain
dia memiliki darah keturunan yang sama dengan saya, kami juga memiliki banyak
kesamaan. Dari hal-hal yang besar sampai yang terkecil pun terkadang selalu
sama. Jujur saya terkadang merasa bingung sendiri lantaran banyak hal dari kami
yang sama. Kesamaan di antara kita tak terlalu membuatku pusing tujuh keliling
dibuatnya.
Tak
terasa bulan ketiga di semester ketiga, ini kali kedua saya menemaninya mencari
makan. Pada saat pertama kali menemaninya makan, ketika semester satu dan kami
masih dekat dengan orang yang spesial di hati kami masing-masing. Bahasan pada
kali pertama saya menemaninya makan, masih khas sesuai dengan apa yang ada di
dalam isi hatinya. Namun sekarang, di kali kedua saya menemaninya makan,
bahasan yang saya tau tak lagi sama. Dan ada lagi hal yang mengejutkan saya
ketika dia telah selesai menghabiskan makanannya. Dengan sedikit terbata dia
bilang, “Gue mau ngomong sesuatu. Tapi jangan diketawain, ya?” saya hanya
mengangukkan kepalanya tanda setuju. Satu menit… Dua menit… Sepuluh menit… Lima
belas menit… Dia tak lekas berbicara. Akhirnya saya yang saat itu sedang fokus
dengan hp saya yang sedaritadi hanya
meng-scroll timeline di twitter,
memecahkan keheningan, “Mau ngomong apa?” dengan mengalihkan mata saya dari hp menuju kedua bola matanya. "Ah, kedua tatapan mata itu penuh dengan kegugupan." gumam saya dalam hati sembari melempar pandangan saya ke orang-orang disekitaran/
Setelah
mendengar apa yang dia bicarakan, saya diam seribu bahasa. Mungkin dia ingin
berbalas dendam dengan saya. Ketika saya sedang diam seribu bahasa membayangkan
ekspresinya yang lucu tadi, lamunan saya mendadak buyar. “Jadi gimana?” tak
banyak bicara, saya langsung berdiri dan mengajaknya ke toko buku untuk
memberikannya jawaban. Setelah saya memberikan satu judul buku sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi, akhirnya, matanya berbinar terang, senyumnya mengembang
seperti bunga yang bermekaran, dan perasaan lega menyelimutinya. Saya kemudian pergi setelah memberikan salah satu judul buku kepadanya, menjauh darinya dan
kemudian senyum-senyum sendiri. Ternyata dia mengikuti saya dari belakang. Mengetahui
dia mengikuti saya, saya berkata, “Udah jelaskan jawabannya?” dan dia pun hanya
mengangguk tersenyum. Lalu kami pergi ke rak buku bagian komik, saya membaca komik Detective Conan, sedangkan dia membaca komik Naruto.
Dia, seseorang yang kutakutkan terjebak perasaan dengannya, dahulu. Dan sekarang, aku telah benar-benar terjebak dengannya...
“Ah,
mungkin orang-orang yang melihat gelagat kita pada hari itu mengira kita orang
gila, Mon. Padahal, mereka tak turut serta merasakan apa yang sedang kita
rasakan. Dunia terasa indah jika ku deskripsikan, pada waktu itu. Hanya saja,
semua itu terkubur manis dalam senyuman ini. J”
slamattt!!!! bkin sy trharu
ReplyDeletewawwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww,so sweatttttt ...
ReplyDeletecieeeehhhhhhhhh ..
ReplyDeletekerenzzz ...
ReplyDeleteaseliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, so sweet bgttttttttttttttttt parahhh
ReplyDelete:""""""""""""""""""""""""""""""))))
ReplyDelete