(Tulisan ini
hanyalah cerita fiktif. Bukan pengalaman dari penulis.)
Di suatu pagi yang
damai dan tenang, di salah satu pohon hiduplah seekor burung betina. Dia selalu
begitu muram dan terlihat tak bersemangat di sarangnya. Hari-harinya selalu
dilewati dengan kemuraman yang mendalam. Hingga suatu sore pun datang, ketika
burung betina ini sedang menikmati matahari tenggelam di sarangnya, tiba-tiba
burung betina ini tak sengaja melihat yang tak biasa dia lihat di hari-hari
sebelumnya. Terdapat seekor burung lainnya yang tertidur di salah satu ranting
dekat dengan sarangnya. Karena rasa penasaran burung betina ini besar, di
lihatlah burung ini secara dekat. Betapa mengejutkannya burung betina ini
ketika mengetahui burung yang ia ketahui ini berjenis kelamin jantan tak bisa
bergerak karena sayap dari burng jantan ini terluka. Dengan sangat
berhati-hati, di bawalah burung jantan ini ke sarang si betina dan dirawatlah
burung jantan ini.
Hari demi haripun telah terlewati, dengan sabar si betina
mengurus dan merawat luka yang telah membuat si jantan lemas tak berdaya. Hingga
luka tersebut benar-benar tak lagi dirasakan sakit oleh burung jantan. Setelah sembuh,
akhirnya burung jantan pergi dan mengucapkan banyak terimakasih kepada sang
betina karena sudah mau mengurusnya. Setelah kepergian burung jantan ini,
burung betina sejujurnya merasakan kehilangan yang cukup mendalam. Bagaimana tidak?
Hari-hari sebelumnya ia merasa selalu menjadi burung yang paling beruntung
karena telah diberi kesempatan untuk memiliki teman mengobrol, melihat matahari
terbit dan terbenam, dan masih banyak hal lagi yang mereka lakukan dalam sebuah
kebersamaan yang ia rasakan singkat. Ia tak tahu betul apakah luka si burung
jantan sudah sembuh total, tapi yang pasti burung jantan ini sudah dapat
terbang bebas jauh ke angkasa.
Tak diduga-duga, pada suatu malam yang larut dan dipenuhi
oleh bintang-bintang yang bersinar, sang jantan membangunkan sang betina yang tengah terlelap
dalam tidurnya. Dipatuknya kepala sang betina yang kemudian sang betina
terbangun. Sang betina pun terkaget seraya berkata, “Untuk apa kau kembali lagi
ke sini? Apakah bekas lukamu itu kau rasakan kembali sakitnya?” ujarnya dengan
penuh kekhawatiran. “Tidak, aku hanya saja ingin mengunjungimu, apa tidak
boleh?” jawab sang jantan. Sang betina pun menjawabnya, “Tentu saja boleh.” Seraya
melihat sang jantan yang berada di depan matanya, mereka terus berbincang
hingga matahari terbit pertanda hari sudah pagi pun muncul.
Hari demi hari pun telah terlewati, setiap sore sang
jantan dengan rutin mengajak sang betina berbincang sembari menyaksikan matahari
terbenam, begitu seterusnya berulang hingga suatu hari, sang jantan pun
mengajak sang betina mengobrol, “Aku ingin berbicara serius denganmu. Apa kau
ingin mendengarnya?” tanyanya pada sang betina. Dengan tatapan mata yang tajam,
sang betina menimpali pertanyaan sang jantan, “Ya, apa yang kau ingin bicarakan
kepadaku?”. “Entah mengapa semenjak kejadian waktu itu, aku tak ingin lukaku
untuk cepat sembuh. Tetapi, dengan melihat perjuanganmu merawatku dengan begitu
telaten, aku tak tega untuk berlama-lama merepotkanmu. Maka dari itu, ketika
lukaku sudah cukup membaik, kuputuskan untuk pergi meninggalkanmu karena aku
takut untuk terlalu lama merepotkanmu. Namun, jalan yang aku ambil untuk pergi
meninggalkanmu itu salah. Aku merasa menyesal sudah meninggalkanmu dan aku juga
tak ingin berada jauh darimu. Apa kau merasa keberatan jika setiap matahari
terbit dan terbenam, aku ada di sini untuk menemanimu melihat pemandangan yang
indah itu? Aku nyaman berada di dekatmu. Mungkin yang aku rasakan sekarang
adalah sebuah rasa yang amat indah yang harus kau tahu, bahwa aku mencintaimu.”
Jelas sang jantan panjang lebar. Sang betina merasa terharu mendengar ungkapan
langsung dari sang jantan dan diam tak bisa berbicara apapun. Sekali lagi sang
jantan berbicara, “Bagaimana? Bolehkah kutemani hari-harimu?” yang kemudian
mengangetkan sang betina dari lamunannya. “Hmm, bagaimana bisa kau berbicara
seperti itu di hadapanku?” tanyanya secara gambling. Sang jantan pun menatap
sang betina seraya berkata, “Aku merasa nyaman berada di dekatmu. Apa itu
kurang jelas untukmu?” lalu, sang betina pun menjawab, “Semua cukup jelas. Jika
itu adalah keinginanmu untuk menemaniku, lakukanlah jika itu tak membuatmu
berkeberatan.”
Semenjak saat itu, hari-hari yang dilewati oleh sang
betina terasa cukup menyenangkan dan berwarna. Sang jantan pun selalu ada
menemani sang betina, sehingga sang betina pun tak lagi merasa kesepian dan
terlihat muram seperti yang dulu. Bahkan, sang mentari di kala siang dan sang
bintang di kala malam merasakan kebahagiaan mereka berdua yang tercermin pada
tingkah laku mereka berdua. Hingga suatu waktu, ketika mereka sedang menikmati
matahari terbit, sang jantan meminta izin untuk pergi dalam waktu yang cukup
lama. Hal ini sudah berulang dua kali. Hingga yang ketiga kalinya, karena sang
betina penasaran apa yang membuat sang jantan bersikap tak biasa dan berani
melanggar janjinya dahulu, maka sang betina mengikuti sang jantan. Betapa terkejutnya
sang betina ketika mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh sang jantan. Bagaimana
tidak terkejut, jika sang jantan bersama burung betina yang lain, yang jauh
lebih segala-galanya dibandingkan dengan dirinya. Dengan perasaan yang syok,
akhirnya sang betina terbang meninggalkan sang jantan kembali ke sarangnya.
Di sore hari yang tenang dengan penuh kesunyian, sang
betina dengan ragu bertanya kepada sang jantan, “Apa telah ada burung lain yang
merawat lukamu, selain aku?” sedikit terkaget sang jantan, lalu membalas
pertanyaan sang betina dengan tenang, “Tidak. Memang ada apa kau menanyakan hal
ini kepadaku?” ujarnya. “Tidak ada, hanya saja aku melihat seekor burung
seperti kamu, sedang bersenda gurau dengan burung yang jauh lebih sempurna dari
aku.” jawabnya dengan suara melemah, lalu meneruskannya kembali, “Jika kamu
tidak lagi mencintaiku dan merasa bosan, untuk apa kamu harus bersusah payah
bersembunyi pergi dariku? Untuk apa kamu masih berusaha selalu ada ketika aku
membutuhkanmu? Dia jauh lebih membutuhkanmu dibanding aku, mengapa kau tidak
saja untuk pergi bersamanya? Aku tak akan mengganggu kalian berdua lagi. Pergilah,
dia yang lebih berhak untuk berada di sisimu sampai kapan pun.” Ungkapnya panjang
lebar tanpa member sang jantan kesempatan untuk member penjelasan. Sang jantan
yang merasa telah membuat sang betina kecewa, akhirnya pergi menjauhi sarang
sang betina. Jauh, jauh, dan semakin jauh hingga tak terlihat lagi tubuhnya.
“Mungkin aku salah
sudah membuat dia kecewa dan justru memilihnya. Ini semua aku lakukan karena rasa
cinta yang aku rasakan, tak lagi seperti dahulu. Namun, apa salah jika aku
pergi meninggalkannya tanpa alasan yang dia ketahui? Sekarang, justru malah aku
yang merindukan dan merasakan kehilangannya. Apalah artinya matahari terbit dan
terbenam tanpa sosok dirinya di sampingku? Namun, semua ini sudah terlambat,
sudah tak mungkin lagi untuk ku sesali, karena dia telah berbahagia dengan
penggantiku; cinta sejatinya. Betapa bodohnya aku telah meninggalkannya dan tak
menghargai setiap detik bersamanya. Dan mengapa pula pada saat itu, dia tak member
aku kesempatan untuk menjelaskannya? Sekarang, justru aku yang merasa tidak
bahagia karena telah memilihnya. Aku amat sangat menyesal telah meninggalkanmu.
Dapatkah kamu kembali denganku? Menikmati matahari terbit dan terbenam, hingga
melakukan senda gurau khas di setiap harinya? Aku merindukanmu, apa kau tahu?”
ujar sang jantan panjang lebar. Ia tak sebahagia seperti dulu, hidupnya penuh
dengan kemuraman dan kesunyian yang ia rasakan tanpa hadirnya sang betina di
sisinya.
jgn prnh menyesal melepaskan merpati trbaik,krn dia akan thu kmn dia akn plg....
ReplyDeletewwooooooooooooow ....
ReplyDelete