“Kalau menurut
gua, sih, memilih atau dipilih sama aja, No. pada dasarnya kan wanita itu
awalnya dipilih, setelah dipilih baru deh memilih. Jadi kita ngelakuin
dua-duanya, tapi kalau lebih baik mana, sih, kalau seusia kita seharusnya
memilih, gitu. Karena kita masih bisa memilih, kalau udah agak tuaan mah kita
sulit untuk memilih, dipilih aja udah syukur banget. Jumlah wanita kan lebih
banyak dari laki-laki.” Ucap Annis Fikra
El-Jannah, ketika saya bertanya, “Lebih baik memilih atau dipilih, sih?”
Assalamu’alaikum, semuanya! Cie, yang liburan kuliahnya
sebentar lagi mau habis. Ada yang relaliburannya telah habis, ada juga yang
merasa liburanya berasa kurang, padahal orang ini selama dua bulan hanya
mengendap di dalam rumah orang tua tercintanya. Postingan kali ini, saya buka
dengan pendapat teman saya tentang memilih
atau dipilih. Sedikitnya, saya sudah mewawancarai mereka yang sebelumnya
belum pernah saya wawancara pada postingan saya sebelumnya, yaitu polos? Penasaran, kan, tentang pendapat
teman-teman saya untuk pertanyaan di atasa? Eits, sebelumnya, saya juga ingin
menyatakan pendapat pribadi saya; saya tidak mau kalah dengan mereka semua.
(benerin kacamata)
Antara memilih dan dipilih, tak khayal semua orang pasti
berpendapat bahwa, “Laki-laki itu notabenenya memilih dan perempuan itu
dipilih.” Memang, ada sebagian dari teman pewawancara saya yang setuju dengan
kalimat ini. Lalu, bagaimana dengan saya? saya pribadi, sih, tidak sepenuhnya
percaya. Kenapa? Soalnya, kalau memang wanita dijadikan pilihan, sebelum dia
dipilih, akan di jadikan ke nomor berapa dia? Lalu, buat apa RA. Kartini
memeperebutkan emansipasi wanita jika wanita hanya saja pasrah untuk dipilih
dan di jadikan ke nomor sekian sebelum dijadikan yang pertama dan prioritas
bagi seorang laki-laki? Namun, mengingat pendapat dari Annis, sapaan akrab dari
teman saya yang menjadi oembuka tulisan ini, bahwa, “Jumlah laki-laki kalah
banyak daripada jumlah perempuan.” Yang secara tidak langsung membenarkan bahwa
wanita itu lebih baik dipilih.
Lalu, mengapa saya berpikiran untuk lebih baik memilih
daripada dipilih? Mungkin, kalau saya jelaskan semuanya secara rinci tentang
argument saya, bisa menghabiskan 3 SKS semasa kuliah karena banyaknya alasan
saya mengapa lebih baik memilih daripada dipilih. Namun, teman-teman saya bisa
menjelaskannya secara singkat, padat, dan semoga jelas; karena ketika saya
berusaha mengulik agar jelas maksudnya, mereka kebingungan sendiri. Mau tau
siapa contohnya? Disimak, yaa:
Raudh’tul Jannah Kamal,
berpendapat bahwa, “Em.. Dipilih. Karena kalau kita memilih belum tentu orang
yang kita pilih malah milih kita. Tapi, kalau dipilih udah pasti orang itu
milih kita, walaupun kita enggak suka sama orang itu.” Begitu paparan
singkatnya. Lalu saya menyerangnya lagi dengan, “Tapi kalau misalnya dikasih
kesempatan untuk memilih, gimana?” Dia dengan cepat menjawab, “Yaa memilihlah
orang yang memilih kita.” Agak sedikit kebingungan saya waktu itu, ketika
tersadar, saya membalasnya, “Itu mah sama aja memilih orang yang telah memilih
kita, Jannahe. Sama aja dipilih itu.” Lalu dia pun tertawa dan menanyakan
mengapa saya bertanya perihal ini. Dengan singkat saya jawab, “Untuk data
pribadi hehe.” Sok cool, euh.
Lalu, korban saya selanjutnya adalah Astungkara Lubis, “Gue lebih ke memilih. Soalnya kalau memilih kita
tidak akan sakit hati karena kita yang memilih bukan dipilih.” Katanya, sih,
ini jawaban ter-simple dia. Tapi, saya kurang menangkap maksudnya. Mungkin,
yang dimaksud sakit hatinya itu adalah kecewa dengan orang yang telah memilih dia.
Entah kecewa karena fisik, atau lainnya, saya tak tahu pasti.
Setelah dipaksa dan dijejeli pertanyaan di atas, akhirnya
Dwi Novembriade dan Yenni Sutyawati. Mereka berdua ini
adalah kawan tergila yang pernah saya saya kenal semasa SMA. Namun, jika sudah
berbicara urusan percintaan, mereka serius bukan main. Kalau Dwi sendiri, sih, menyeriuskan
pertanyaan saya dengan jawaban, “Lebih baik dipilih. Karena karma berlaku kalau
kita memilih. Apalagi kalau sempat melakukan kesalahan dan nyakitin dia.”
Begitu katanya. Sedang, tak jauh beda pendapat yang sama dilontarkan oleh Yenni, “Pada dasarnya, wanita itu
dipilih. Tapi, kita juga harus bisa memilih, No. memilih yang baik buat kita.
Cewek itu dipilih sedang cowok memilih. Tetapi, cewek juga berhak untuk menolak.”
Jadi, ada persamaan pendapat antara mereka, tetapi ada pengecualian dari
kebingungannya si Yenni. Arigato, minna!
Ada lagi, nih, namanya Rosdiana Melinda. Pertanyaan saya masih sama, “Lebih baik memilih
atau dipilih?” lalu dia menjawab, “Haduh, pertanyaan yang sangat berat. WOW
banget, sulit untuk dijawab. Tar dijawab, tenang yah.” Saya langsung saja
mengiyakannya. 1 jam berlalu, 2 jam kemudian baru saya menerima balasan bbm
dari dia ketika saya sudah terlelap, dia bilang begini, “Pilih dua-duanya, Ret.
Soalnya dengan memilih kia bisa menilai langsung orang yang bisa jadi jodoh
kita. Tapi, dipilih juga enak, sih. Berarti dia percaya kalau kita yang terbaik
dari semua yang baik untuk dia.” Jelasnya. “Kembali lagi ke individunya.” Lanjutnya.
Intinya 50:50 kalau menurut dia.
Ada lagi ternyata yang memberatkan pertanyaan saya, namanya
Muhammad Gin-Gin. Dia adalah adik
kelas saya, yang berbeda satu tahun di bawah saya. dia menjawab pertanyaan saya
seperti ini, “Hmm, berat sekali yah pertanyaannya, susah untuk dijawab. Kalau kata
aku mah sama aja, sih, kakak saling melengkapi, bagi aku enggak begitu
dipermasalahkan yang penting sama-sama menyayangi.” Katanya. Namun, dia juga
memintai pendapat ke teman-temannya, “Tapi tadi aku tanya ke beberapa temen,
mereka berpendapat untuk dipilih bagi seorang cewek, tapi kalau bagi seorang
cowok lebih baik memilih. Karena lelaki itu tau karakteristik apa yang dia
inginkan. Itu pendapat temen aku, kaka.” Tulisnya panjang lebar. “Tapi kalau
aku sih lebih dominan ke memilih. Soalnya biar keliatan sama si ceweknya bukti
perjuangan kita buat mendapatkan dia.” Salut! Asal saja, sehabis diperjuangkan,
jangan di buang begitu saja.
Kalau Dwi Prasetyo,
sih berpendapat seperti ini, “Kalau untuk aku sih lebih baik memilih. Alasannya,
yaa karena aku cowok harus bisa memilih dan membedakan yang mana yang baik dan
yang mana yang benar.” Lalu, dia menanyakan bagaimana pendapat saya, ketika
saya menjawab, “kalau aku sih, milih. Soalnya sudah ada yang aku incar.” Dengan
cepat dia menjawab, “Kalau dalam posisi cewek contohnya nih ya, emang kamu
memilih sedangkan cowok itu gak ada tertarik-tertariknya sama kamu, itu bukan
cowok itu yang menilai, tapi orang lain. Ya, nilainya gak jauh dari murahan
kali ya, kalau orang gak tau apa-apa.” Jujur saja, sedikit geram saya membaca
chat dia. Namun dengan kepala dingin saya jelaskan panjang lebar, “Aku memang
tidak berharap banyak sama dia, tidak memelas cinta dengan dia, ataupun
menginginkan sekali supaya hari terakhirku habis dengan dia, enggak. Aku Cuma terlihat
murahan di depan Allah, apa salah? Kan Allah yang menjanjikan akan mengabulkan
setiap doa dari hambanya, jika hambanya meminta. Kalau Allah berkata lain atas
doa dan usahaku, Allah pasti akan menghadirkan orang yang lebih indah dari
orang yang aku incar.” Entah ada apa dengan kalimat saya, dia menjadi kik-kuk rasanya.
Kalau sebelumnya saya sempat untuk sedikit berdebat
dengan orang yang saya jawab, namun ketika saya bertanya kepada Aditya Alief, emosi saya sedikit meredam.
Dengan singkat dan santai dia menjawab, “Kalau aku memilih, karena kan aku
cowok. Cowok itu mencari dan bisa memilih hehe.” Lalu, ketika saya bertanya
jika dia berada di posisi cewek, dia berkata, “memilih siapa yang terbaik hehe.”
A simple guy.
Lain lagi sama kak Titto
Pramono. Senior ini dengan sabar dan baik hatinya menjelaskan panjang lebar
tentang jawabannya, begini, “Hmm, kalau menurut kakak, kayaknya susah kalau
harus dipilih salah satu. Tapi kalau kakak mesti milih, kakak pilih yang
dicintai atau dipilih. Dari kakak, karena si cewek (kalau yang bener ya) udah
meliha kakak tuh semuanya. Jadi, dia gak melihat kakak satu sisiaja, jadi udah
tau semua tentang kakak. Nah, tinggal kakak yang belajar untuk mencintai dia
dan harus meerima dia juga. Tapi, semua itu tergantung keadaan kalau cewek itu
cinta sama kakak, tapi kakak gakbisa membalas cintanya, itu balik lagi ke
pribadi sendiri. Kan gak bisa dipaksakan juga. Kalau kata ibu temen kakak gini,
‘gak usah pacaran (karena status doing), jadi orang baik aja nanti juga banyak
yang suka’ kurang lebih begitu.” Kak Titto sih, bilangnya, “kurang lebih.” Tapi
kalau menurut saya, “Lebih dari super itu.” Ahaha, kak, kak. Ckck.
Yaa, jadi seperti itulah hasil saya mewawancarai mereka
perihal memilih atau dipilih. Saya sendiri sedikitnya sudah menarik kesimpulan;
antara memilih atau dipilih tersebut. Mungkin, pendapat setiap orang berbeda,
tergantung pemahaman masing-masing individu juga. Oke, tulisan ini saya awali
dari pukul 15:30 s/d 21:10. Terlalu panjang waktunya jika untuk menulis tulisan
sesederhana ini. Karena saya sendiri pun sedang tak bisa berpikir jernih dan
banyak kendala lain juga yang memperhambat prosesnya. Akhir kata saya mohon
maaf sebesar-besarnya, saya ucapkan terimakasih.
شكرا
hmm.....
ReplyDeletewaaaahhhh
ReplyDelete