Liliana lirih menatap
tulisan di atas, ia tak kuasa lagi menahan sedih yang berkecamuk di dalam
hatinya. Kemudian, Ibunya pun masuk ke kamar Liliana untuk menghampirinya
karena ajakan makan dari Ibunya sedaritadi tidak digubris. Ibunya setengah
kaget melihat anaknya menagis, dengan hati-hati dan penuh kasih sayang,
akhirnya ibunya mencoba memberanikan diri untuk bertanya, “Liliana, ada apa
denganmu, nak?” Liliana pun hanya terdiam menahan isak tangisnya. Ibunya pun
mendapati sebuah kertas yang dipegang oleh Liliana dan segera untuk membacanya.
Dipeluknya anak satu-satunya tersebut sembari mengatakan, “Li, apa kamu ragu
dengan dia yang ada di hatimu hanya karena kalian sebatas pertemanan dan
kakak-adik sewaktu SMP? Li, dengar Ibu, berulang kali Ibu mengatakan untuk
jangan terlalu merisaukannya. Karena jodoh Allah yang mengatur, dan kamu yang
berkehendak untuk memilih. Lelaki yang baik, hanya untuk wanita yang baik. Jika
kamu sudah berhasil untuk sedikit merubah diri kamu, maka kelak Allah akan
mendengar semua doa-doamu. Lagi pula, Ibu selalu mendoakanmu yang baik, kok. Karena
Ibu sangat menyayangi kamu. Jangan menangis lagi, ya? Sekarang, ayok kita makan
siang dulu.” Liliana pun merasa sedikit tenang mendengar ucapan Ibunya tersebut.
Sambil menghapus air matanya, Liliana beranjak mengikuti Ibunya untuk makan
siang bersama.
Malam pun tiba, di lihatnya sekali lagi surat itu. Surat yang
ia tahu tidak akan pernah terbaca oleh penerimanya. Surat tanpa nama ataupun
inisial tersebut terlihat menyedihkan baginya. Di bacanya berulang kali, hingga
tanpa terasa, lagi-lagi menitikan air mata. Namun, dengan sesegera mungkin, ia
menghapus air matanya dan mencoba untuk tersenyum walaupun terlihat berat untuk
Liliana. Liliana menghela napas panjang, diperhatikannya setiap untaian kata
yang tersusun. “Kak, andai kamu mendengar setiap doa-doaku. Andai kamu bisa
baca surat tanpa pengirim ini, kak. Dan, masih banyak ucapan andai aku untuk
kamu yang tak bisa kamu dengar. Masih banyak, kak. Masih banyak sekali.” gumamnya
di dalam hati. Tanpa sadar, jam dinding kala itu menunjukkan pukul tengah
malam. Tanpa tersadar, Liliana tertidur dengan surat yang terus ia dekap
sepanjang malam.
Hari demi hari, Liliana tetap berusaha untuk bersabar dan
menantikan waktu yang indah itu akan tiba. Dan juga, ia selalu mengingat
kata-kata Ibunya semenjak itu. Liliana tersadar bahwa menunggu itu tak
selamanya mudah baginya, namun dalam menunggu tersebut, ia di beri banyak waktu
untuk merubah diri menjadi yang lebih baik lagi agar ia tidak mengecewakannya. Dan
lagi, sejujurnya ia merasa bingung mengapa bisa yakin kalau dialah yang terbaik
untuknya, jika memang bertemu tatap muka saja pun belum pernah. Walau begitu,
mereka pernah setidaknya untuk berkomunikasi, walaupun hanya sekedar melalui
sosial media. Namun kala itu, Liliana bahagia bukan main bisa berkomunikasi
dengannya. Sungguh, bahagia itu amat sederhana untuknya.
Tanpa putus doa dan harapan, yang selalu diimbangi dengan
usaha yang selama ini dia lakukan, kini ia dapat untuk menunggunya dengan lebih
sedikit tenang. Liliana selalu berucap syukur kepada Allah, karenaNya Liliana
dapat menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dan menjaga hatinya dari
laki-laki yang memang hanya berniat untuk menyakitinya saja. Tak henti-hentinya,
Liliana selalu dan selalu saja berucap syukur, “Kak, mungkin cinta yang
tertanam di hatiku ini adalah cinta yang Allah titipkan untuk selalu kujaga. Sebisa
mungkin, aku tidak akan merusak cinta tulusNya ini. Allah memberikan satu
malaikatnya untukku, ketika aku sedang merasa sedih dan merasakan sepi. Kakak tahu,
siapa malaikat itu? Iya, orang itu adalah seseorang yang hidup di dalam hatiku
ini. Allah telah menyelamatkanku dari banyak hal yang berniat ingin menyakiti,
dengan menaruh cintaNya ini atas nama Kakak.” Liliana tersenyum renyuh. Entah sampai
kapan penantiannya akan habis di makan oleh waktu. Tetapi yang pasti, ia akan
selalu menunggunya. Menunggu dia yang di utus oleh Allah untuk menjadi
Malaikatnya, kelak.
indhnya tlisn inii
ReplyDeleteSedih bcany..., :((:(
ReplyDelete