Aku,
disaat sedang putus cinta:
“Kok bisa? Udah jangan sedih lagi, ya. Semua udah
ada jalannya, kok.”
“Hmm begitu ceritanya. Yang sabar, ya. Gue gak habis
pikir lo sampe sesedih ini.”
“Ciee galau, orang kayak lo bisa galau juga, ya?”
“Lo kan orang yang ceria, jadi galau versi lo
gimana, ya?”
“Yaampun, tabah, ya. Gue tau lo orang yang kuat.”
Aku,
disaat sedang ada masalah:
“Gue gak bisa ngasih solusi karena gue belum pernah
ada diposisi lo. Banyak-banyak sabar, ya.”
“Gue bingung, sama masalah kayak begini aja
disedihin.”
Aku,
disaat sendiri, merenung dan memikirkan yang menjadi beban pikiran:
“Kenapa diem aja? Sakit? Gak biasanya.”
“Lo kenapa mendadak jadi patung gini? Atau lagi
kesambet, ya?”
“Diem terus, murung terus, galau?”
Mereka yang mengenalku, dan beberapa yang menjadi tempat
kepercayaan untukku berbagi, hanya tahu sebelah sisi tentangku. Mereka berfikiran
bahwa jika aku adalah seorang anak kecil yang ceria, selalu tertawa riang dan
tak pernah menganggap kesedihan selalu ada dalam kehidupanku. Dan ketika aku
sedang merasakan hal yang benar-benar membuat hati tidak enak, seperti halnya
tiba-tiba menjadi pendiem yang ketika di tanya hanya mengandalkan jurus, “gapapa
kok”, mereka selalu cepat
untuk mengambil kesimpulan bahwasanya aku benar-benar tidak apa-apa.
Aku,
ketika sedang putus cinta. Dalam masa seperti
ini, banyak dari mereka yang hanya bisa memahami keadaanku. Ini terlihat dari
cara mereka menanggapi segala cerita yang kusampaikan. Lirih ku mendengarnya,
karena mau tidak mau kata-kata itu lagi yang harus ku dengar, “sabar”.
Tak usah disuruh untuk bersabar pun, aku bisa untuk bersabar. Karena aku sudah
terbiasa menerima perlakuan seperti ini.
Aku,
disaat sedang ada masalah.
Kalau
masa ini, jujur aku lebih suka untuk memendamnya sendirian. Aku berbagi hanya
kepada mereka yang kuanggap benar-benar peduli terhadapku. Karena masalahku tak
lain hanya seputar permasalahan dengan keluarga dan percintaan saja, tak lebih.
Aku,
disaat sendiri, merenung dan memikirkan yang menjadi beban pikiran. Dalam masa ini,
aku benar-benar merasa sendirian. Dan memang benar, untuk apa ku merenung dan
memikirkan beban pikiranku, beban hidupku jika aku tidak bisa berbagi kepada
mereka? Mereka mungkin hanya bisa untuk mendengar tanpa mengerti keadaanku saat
itu. Jadi, ku lebih memilih untuk bungkam, diam 1001 bahasa hanya karena tidak
ingin membuat mereka bingung terhadap ceritaku. Dan mungkin mereka semakin
bingung ketika aku sudah memasuki masa ini. Sedikit dari mereka yang bertanya, “Ada
apa lagi? Jangan jawab gapapa, karena gapapa itu bukan suatu jawaban yang
meyakinkan.” Jarang, bahkan hampir tidak ada yang seperti ini.
Mereka,
memang selalu berusaha ada tetapi tanpa memahami. Mereka, selalu menilaiku
sekilas yang katanya aku itu selalu ceria dan riang. Mereka yang berbicara
seperti itu, tidak pernah mau untuk memahami diriku seutuhnya. Aku bisa berdiri
tegar, hanya karena tidak ingin melihat mereka bingung terhadapku. Aku bisa
tertawa riang dan ceria, hanya karena aku bisa melakukan ini tanpa dilandasi
rasa senang saat itu. Aku bisa menutupi semuanya, karena aku masih sanggup
untuk menyimpan semuanya sendiri, menutupi segala celah agar tidak terlihat
oleh orang lain, bahkan di depan orang tuaku sendiri.
Mereka
semua tak pernah tahu, ada kesedihan dan kekecewaan yang besar dibalik ini
semua. Yang mereka pahami hanyalah, “Gadis polos itu baik-baik saja.” Merasa tertekan dan menderita,
sesungguhnya. Tetapi, penilaian orang lain membuatku sedikit bangga. Bangga karena
apa yang aku tunjukkan kepada mereka bisa sangat melekat pada diriku, gadis
periang. Andaikan saja, mereka bisa untuk memahami sebuah tatapan mata yang
lusuh dan memandangi semua cerita secara nyata, apa masih mungkin untuk mereka
menganggap dan menilaiku seperti itu? Yang menguatkanku hingga detik ini
adalah, komentar mereka, baik maupun buruk tentang aku, bukan isi kehidupanku.
ak jg ngerasain kooo ;)
ReplyDelete