Monday 14 December 2015

Cekat (Cerita Singkat) Part II: Goresan Kecil Untukmu.


Dengan muka datar, Dea membukan laptop kemudia di tekannya tombol on. Sembari menunggu laptopnya untuk loading, Dea melaksanakan sholat Maghrib karena masjid di dekat rumahnya sudah berhenti berkumandang. Selesai melaksanakan kewajibannya, Dea kemudian duduk di atas tempat tidurnya lalu mulai mengetik sesuatu di Microsoft Word. Dengan tangan yang dingin dan agak gemetar, Dea mulai mengetik sesuatu:


Teruntukmu, Awan. Selamat tinggal.


Dengan waktu 2 tahun, tak cukup untukku mengenalmu secara dalam. Awal kita berkenalan pun begitu lucu, menurutku. Aku yang saat itu tak terlalu hafal wajahmu, mengajakmu berjanjian di depan kampus untuk pergi ke perpustakaan dengan alasan mengerjakan tugas kelompok. Saat itu, aku datang bersama teman yang ku kenal dari awal sejak masuk universitas ini, temanmu juga. Sepanjang perjalanan, kamu terus mengobrol berdua dengan Rita, temanku dan temamnmu. Namun, dengan mendengarmu mengobrol dengan temanku, teman kita, aku langsung bisa menilaimu. Kamu orang yang lugu dan baik hati.

Semenjak satu kelompok denganmu pada hari itu, entah mengapa kita semakin dekat. Dekat kita di sini hanya sebatas rekan kelompok, bukan dekat dalam hal lain. Aku yang orangnya sangat perasa, saat itu ketakutan bukan main dengan keadaan yang terjadi. Rita tau, jika aku takut nantinya kumenaruh sebuah rasa padamu. Dan tak berapa lama pun, aku tahu kalau kamu menyukai orang lain. Orang lain tersebut tidak jauh dari teman sekelas. Ya, dia bernama Ani, seseorang yang memang aku akui kalau dia jauh lebih sempurna dari aku. Setelah mengetahui hal itu, lambat laun aku menjahuimu. Membiarkanmu tumbuh bersama rasa yang kamu miliki. Dan rasa yang kumiliki berganti menjadi rasa untuk orang lain, salah satu teman kelas kita, yaitu Tyo.

Aku pun tak bisa berlama-lama dengan Tyo karena satu dan lain hal. Ketika itu kamu masih saja dengan perasaanmu untuk Ani. Sampai satu setengah tahun lamanya kamu masih mengejar cintanya. Aku yang saat itu mengetahui jalan ceritamu begitu salut akan perjuanganmu untuk mendapatkan cintanya. Namun, perjuanganmu selama ini telah sia-sia. Ani lebih memilih orang lain ketimbang dirimu yang selalu berusaha ada untuknya. Aku mengerti ketika ada masa di mana kamu merasa terjatuh saat itu. Dan ketika kamu terjatuh saat itu, aku sebagai seseorang yang mengetahui ceritamu dari awal, membantumu untuk bangkit kembali. Menjadi Awan yang pertama kali ku kenal. Awan yang terkenal akan selera humorisnya.

Awalnya niatku untuk membantumu agar tak bersedih lagi pun sirna. Entah aku yang saat itu merasa geer dengan sikapmu yang terlalu baik kepadaku, atau kamu memang selalu baik terhadap semua orang terlebih perempuan. Lambat laun, sikapmu terhadapku berubah menjadi sikap-sikap yang penuh perhatian. Aku awalnya tidak mengerti mengapa bisa menjadi seperti ini. Sampai akhirnya aku mengetahui semuanya dan bertanya, “Kenapa harus aku, Wan? Padahal, banyak wanita yang lebih sempurna dibandingkan aku,” ujarku dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Karena ketika aku berdo’a dan meminta kepada Allah untuk dihadirkan seseorang yang lebih baik dari dia (Ani), Allah ngirim kamu ke hidup aku.” Sejak saat itu dan hari-hari seterusnya, hidupku selalu penuh warna. Jauh lebih banyak warnaku ketimbang warna yang dimiliki oleh pelangi.

 Selang beberapa bulan kemudian, kita ribut hebat. Padahal beberapa bulan belakangan dalam hubungan kita tidak pernah ada yang namanya berantem-berantem, terlebih berantem kecil. Kita selalu adem ayem menjalani hubungan yang ada. Sampai-sampai, teman-teman kita pada bingung dengan hubungan yang kita jalani. Namun hari ini, aku tak ingin sama sekali melalui waktu 24 jam dalam sehari itu. Hari di mana segala angan dan impian yang telah kita bangun hancur hanya dengan salah paham kecil yang terjadi. Kata kita tak ada lagi dalam kehidupan kita. Aku, ya, aku. Kamu, ya, kamu.

Awalnya aku merasakan kesulitan untuk melepasmu, karena saking banyaknya mimpi yang aku khayalkan untuk masa depan kita. Dahulu, mimpi-mimpiku tersebut sangatlah indah; tapi sampai detik ini pun kamu tak pernah mengetahui mimpiku. Menjadikanmu yang terakhir adalah bangunan luar dan besar yang aku impikan. Di dalamnya banyak sekali mimpi-mimpi kecil yang ada. Pada suatu saat ketika kita masih bersama, aku pernah melihatmu jauh di belakang sedang memimpin sholat bapak-bapak di suatu Mall. Aku yang saat itu baru saja selesai berwudhu dan melewati tempat sholat untuk jama’ah laki-laki yang terpisah untuk jama’ah perempuan. Dalam hatiku saat itu entah mengapa merasa adem sekali melihatmu bisa menjadi imam sholat bagi bapak-bapak yang mengikuti sholat berjama’ah waktu itu. Semenjak saat itu, punggungmulah yang kuharapkan berada persis di depanku dan hanya dipisahkan oleh satu shaf di belakangmu.

Karena sifat sabar dan ada sifat lain yang tak bisa kuceritakan yang kamu miliki itu sama persis seperti sifat yang bapak aku miliki, aku selalu menyebut namamu dalam do’a-do’aku. Berharap kamulah orang terakhir yang menjadi bagian dari hidupku, kelak. Kamu yang lugu, menyebalkan, dan humoris pun mampu membuat hari-hariku penuh tawa. Aku juga menaruh suatu mimpi di dalamnya untuk masa depan kita nanti. Masih banyak lagi mimpi-mimpi lain yang tidak bisa kujabarkan satu-persatu dalam tulisan ini, Wan.

Pernah aku suatu waktu menanyakan, “Nanti seandainya kita memiliki dua anak. Kakaknya itu perempuan, punya sifat kayak aku yang keras kepala. Dan adiknya itu laki-laki dan  punya sifat yang sabar seperti kamu. Bakal jadi kayak apa, ya, keluarga kecil kita?” Dan kamu pun hanya tersenyum menanggapi pertanyaan yang aku lontarkan. Sedikit kamu menimpali tentang pertanyaan itu. Tetapi aku lupa kamu mengatakan apa pada saat itu. Ah, obrolan ringan penuh mimpi saat itu tak sengaja keluar dari mulutku lantaran aku melihat anak kecil berantem di Mall yang sama ketika aku melihatmu menjadi imam.

Dan sedikit demi sedikit sekarang aku mulai bisa untuk merelakanmu. Melihat atau mendengarkan celotehanmu tentang “dia” yang aku tak kenal siapa dan bagaimana rupanya. Aku masih akan tetap dan selalu mendoakanmu, walau isi do’aku kali ini bukanlah memintamu dari Allah untuk mejadi orang yang mampu menuntunku ke jalan-Nya, kelak. Saat ini, aku hanya bisa mendo’akanmu agar kamu bisa berbahagia dengan siapapun “dia”, dan aku berharap agar “dia” memiliki kekayaan lebih banyak dan dalam untuk selalu mendo’akanmu, tidak seperti aku. Aku berani menyebut namamu demi kebahagiaanmu; bukan lagi menyebut namamu untuk memintamu dari-Nya. Aku memang payah, tak bisa gigih untuk memintamu kepada Allah. Tapi percayalah, Awan, ada orang lain yang mampu menyebut namamu dengan sepenuh hati, penuh harapan yang dalam, dan dengan tulus memintamu kepada-Nya serta menunggumu untuk menjemput dirinya.

 Tak usah kamu pedulikanku. Aku bisa berbahagia dengan caraku sendiri. Aku akan menjalani kehidupanku semula dengan sisa mimpi yang ku punya, saat seperti sebelum kamu datang ke dalam hidupku. Memang akan susah. Namun aku tak mau untuk kau beri belas kasihan. Aku tahu jalanku, aku tau tikungan tajam dalam hidupku. Jangan pernah untuk menoleh lagi ke belakang. Susul dan jemput dia secepat mungkin. “Dia” orang yang rela menyuarakan namamu dengan keras di hadapan-Nya; agar Allah menghadirkanmu dalam hidupnya. Jalanmu ke arah dia, bukan ke arahku lagi. Selamat jalan, Awan. Selamat tinggal dariku untuk yang terakhir kalinya. Bahagiakan dia selalu, sama seperti kamu membahagiakanku dulu.


Thank you so much, for everything, Wan. Good bye…


Tanpa sadar, keyboard laptop miliknya basah dengan tetesan air mata yang tidak dapat dia rasakan sedari tadi. Dengan hati yang pilu, Dea menyimpan goresan kecil untuk Awan dan mematikan laptopnya. Kemudia Dea berbaring di atas tempat tidurnya sambil membayangkan hal-hal indah yang telah dia lewati bersama Awan. Dan tanpa tersadar, Dea tertidur pulas dengan bayang-bayang indahnya dengan Awan dan menjadi mimpi indah pada malam itu. 

3 comments: