Friday 25 September 2015

Teruntuk Satu Bintang.

Hello, My Star!
Tulisan ini dibuat untuk sebuah bintang yang pernah bersinar di kehidupanku. Bintang yang pernah mengerti betapa pentingnya setiap detik untuk dilalui bersama-sama…
            

              Teruntuk satu bintang yang tak pernah meredupkan cahayanya…
            Sebenarnya banyak kata-kata ataupun tulisan yang tak pernah bisa kuungkapkan secara langsung ataupun tidak langsung. Karena setiap ucapan atau tulisan yang akan aku lontarkan atau kutuliskan, akan kamu ketahui cepat atau lambat. Aku takut, teramat takut jika kamu mengetahui semua seluk-beluk tentangku. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk memendam ketimbang memberitahumu.

            Teruntuk satu bintang yang pernah kuharapkan menjadi yang terakhir bagiku…
          Segala sesuatu tentang surat yang pernah kuberi kepadamu, tulisan yang tertera di sana memanglah tulisan-tulisan yang jujur dari yang terdalam. Namun, semua tulisan itu belum mencakup semua apa yang aku rasakan; ada beberapa bagian yang memang sengaja tidakku ikut sertakan dalam tulisan itu. Karena jujur, rasa takut kedua yang  aku rasakan adalah ketika kamu akan terus-terusan membuatmu berpikir akan tulisan yang tidak penting itu. Lagi-lagi, Bintang, aku harus bungkam tentang beberapa hal. Namun, kau tahu, bukan, jikaku tak bisa terlalu terbuka padamu? Jangankan padamu, pada kedua orang tuaku saja aku tak bisa bersifat terbuka.

             Teruntuk satu bintang yang selalu bisa membuatku tertawa…
          Waktu denganmu terdahulu adalah ceriaku. Bahkan, bintang-bintang lain yang bertebaran di langit sana tak akan bisa sepertimu. Mereka sangatlah berbeda denganmu. Banyak sekali bintang-bintang di luaran sana yang berusaha untuk membuat diriku tertawa sama saat aku bisa selalu tertawa denganmu. Tetapi, bintang-bintang yang lain tetap saja tidak bisa membuatku tertawa; sekalipun dengan usaha sekeras apapun. Aku selalu bisa dengan mudahnya tertawa atas ulahmu. Jangankan ulahmu, terkadang ketika kita chatting pun dan pembahasan kita mulai kemana-mana, kamu selalu bisa membuatku tertawa geli hanya melalui sebuah tulisan. Sedangkan mereka tidak bisa.

          Teruntuk satu bintang yang pernah kusakiti…
          Ya, sampai ketika kau sudah jauh dari hidupku pun, tak lagi menerangi duniaku, aku masih merasakan suatu penyesalan dan rasa bersalah. Bahkan, aku pun tidak bisa memafkan diriku sendiri atas rasa sakit yang kamu terima. Kita sama-sama terluka, kau melukai hatiku begitu juga denganku. Dulu, dengan sekuat tenaga aku pernah berusaha untuk menyembuhkan lukamu. Namun sekarang, aku sendiri yang membuka luka itu. Masih mending jikaku melukaimu di tempat luka lama yang ada, tetapi luka ini berada jauh di dalam hatimu, bukan?

            Masalah akupun terluka, kamu tak perlu khawatirkan luka ini. Karena aku sudah terbiasa mendapati luka sebelum berperang; benar-benar mempertahankanmu. Karena aku yang menuai masalah itu. Karena aku yang memancing emosimu. Karena aku yang tak bisa membaca keadaan. Karena aku yang memang bersalah dan pantas masih merasakan rasa bersalah sampai detik ini. Karena aku. Karena aku. Karena aku. Semua memang salahku. Dan, aku patas untuk mendapati luka ini. Tak mengapa, aku bisa mengurusi luka ini sendirian. Lalu, bagaimana dengan lukamu? Bagaimana?

            Teruntuk satu bintang, tahukah kamu jikaku terus bertanya-tanya?
      Semakin besarku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri, semakin besar pula tanda Tanya ini membesar. Banyak hal yang kupertanyakan dalam benak, namun hanya ada satu pertanyaan yang paling menonjol dalam benakku: Ada apa denganmu? Sebelum dirimu datang menghampiri hidupku, ada banyak bintang semu yang terlebih dahulu menghampiriku. Kebanyakan dari merekalah yang selalu membuat suatu masalah denganku, bukan aku. Mereka pun pernah membuat duniaku berwarna sama sepertimu; tetapi mereka tak bisa memberikan banyak warna seperti dirimu. Lalu, ada perbedaan apa antara mereka dengan dirimu? Padahal, perbedaan tersebut hanya terletak dalam warna yang pernah kalian beri?

            Dahulu, kepada bintang-bintang semu itu, aku tak pernah sekalipun merasa ragu untuk meninggalkan dan melupakan semuanya tentang mereka. Namun denganmu, aku merasa ragu-ragu untuk pergi meninggalkanmu; benar-benar pergi meninggalkan jejak hidupmu dan melupakan perasaan ini. Karena keraguan ini pun, aku harus melibatkan pentunjuk dari-Nya untuk mengambil langkah selanjutnya dengan melaksanakan sholat istikharah; sedangkan aku tak pernah melibatkan Allah sekalipun untuk pergi meninggalkan dunia mereka. Aku melaksanakan sholat istikharah dan membiarkan Allah campur tangan dalam hal perasaanku. Dan kamu tahu? Aku diberi suatu jawaban dalam bentuk nyata sama Allah. Kamu tahu apa jawaban itu?

            Aku melaksanakan sholat istikharah tujuh kali tidak berturut-turut. Pada kali pertama hingga sholat kelima, aku lakukan sewaktu libur kuliah kemarin. Saat aku melakukan sholat untuk kelima kalinya, aku mendapati suatu jawaban tentang dirimu. Setelah benar-benar mendapati jawaban itu, aku berhenti untuk sholat istikharah lagi. Setelah aku memulai berkuliah lagi, ada rasa ragu yang menyelinap dalam hati lagi. Aku memutuskan untuk sholat istikharah keenam kalinya. Dan keesokannya, aku mendapatkan suatu jawaban yang nyata dengan satu kelompok denganmu. Karena aku ragu apa benar-benar inilah jawabannya, aku sholat lagi namun sampai saat inipun aku belum mendapatkan jawabannya.

            Teruntuk satu bintang, kumenyesal pernah meminta permintaan konyol…
          Memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi adalah hal konyol yang pernah ku sesali kedua kalinya. Memang, dengan tidak berkomunikasi kita menjadi tidak terganggu dengan satu sama lainnya. Tapi jujur saja dengan melakukan hal konyol seperti itu, yang awalnya aku berniat untuk melupakanmu, justru membuatku tambah mengingatmu. Rasa rindu yang memuncak itulah yang membuatku selalu ingat denganmu. Dan kamu tahu, Bintang, aku sebenarnya sangat tersiksa dua bulan libur kuliah kemarin hanya karena tidak bisa mengetahui kabarmu.

            Namun, tiga hari sebelum menjelang proses kuliah di mulai lagi, kamu bisa mengalahkan egomu sendiri untuk egoku. Dengan sapaan yang khas, “Hai apa kabar?” itu, kamu bisa mencairkan suasana kaku di antara kita; melunakkan dan melupakan permintaan konyolku itu. Kamu bilang, kamu menyapaku karena mendengarkan lagu yang pernah kukirim untukmu. Entah kamu memang sengaja mendengar lagu itu atau ada alasan lain, aku tak pernah tahu alasan sejujurnya. Dari situ, setidaknya kita bisa berkomunikasi walaupun tidak bisa secara intensif seperti saat dulu kita masih bersama. Lega, benar-benar lega karena rindu yang memuncak itu sedikit terkikis walaupun tidak banyak yang terkikis.

            Teruntuk satu bintang yang tenang, maafkan ku belum bisa jadi yang terbaik…
           Selama aku bersamamu, aku berusaha untuk menjadi yang terbaik untukmu dengan menyeimbangkan dirimu. Berusaha menjadi yang terbaik dengan menerima apapun yang ada pada dirimu. Kata orang, cinta itu buta; tak pernah bisa melihat kekurangan yang ada di orang yang dicinta. Aku membenarkan kata orang kebanyakan ini dengan tidak mengubahmu sedikit pun menjadi seseorang yang aku ingini; karena kamu pun begitu kepadaku, tidak pernah menuntut lebih. Kamu sempurna dengan caramu sendiri, kamu sempurna karena telah menyempurnakan diriku, dan kamu sempurna dengan apa adanya dirimu. Aku senang, karena tak perlu ada banyak drama di antara kita berdua. Karena hubungan yang pernah kita jalani waktu itu, bukan sebuah drama telenovela.

            Tapi, selama apapun aku banyak belajar untuk memahami dan mengerti dirimu, aku akan tetap menilai diriku tidak baik. Kenapa? Karena aku pernah menyakiti hatimu entah disengaja ataupun tidak disengaja. Mungkin, aku pernah juga mengecewakan kamu. Aku tak pernah tahu kapan kamu marah, kapan kamu kecewa, atau kapan kamu merasa kesal terhadapku. Karena kamu pun tergolong orang yang termasuk tertutup. Jadi, selama ini aku hanya bisa menilaimu baik-baik saja terhadap sikapku ataupun terhadap hubungan yang pernah kita jalani, dulu.

            Teruntuk satu bintang, dulu dirimu bukanlah sekedar pacarku…
          Iya, kamu itu memiliki profesi bukan hanya menjadi pacarku. Kamu itu kuanggap sebagai sahabat, teman, kakak laki-laki, anak kecil, bahkan menjadi satu-satunya orang yang sekaligus aku sebelin. Dia aku anggap sebagai sahabat ketika aku bisa menceritakan sesuatu padamu tanpa rasa ragu sedikitpun; aku bercerita kepadamu tanpa melewati proses berpikir sedikitpun. Karena hanya dialah orang kedua setelah Tuhanku, tempatku untuk bercerita. Aku juga menganggap dia sebagai teman selain pacar. Aku menganggap dia sebagai teman ketika kita mulai berimajinasi. Memiliki pikiran yang kata orang dinamai ngablu itu menyenangkan. Kita bisa memikirkan hal-hal yang tidak mungkin dengan “imajinasi”. Itu mengapa di saat imajinasi cukup mengambil andil antara kita berdua, saat itulah aku menganggapnya teman.

            Dia bisa juga, loh, jadi seorang kakak laki-laki. Saya menganggapnya sebagai kakak ketika kita sedang menghabiskan waktu berdua, dahulu. Karena sejujurnya, aku menginginkan seorang kakak yang bisa melindungi adiknya. Dan sifak ke-kakakan itu ada pada dirinya; dia mampu dan bisa menjaga saya ketika sedang bersama. Dia juga bisa membimbing saya ke jalan yang benar; selalu mengajak pada hal kebaikan. Selain dia bisa menjadi kakak laki-kali bagi aku, dia juga bisa jadi anak kecil sekaligus! Iya, dengan sifat manjanya yang terkadang membuat saya menjadi gemas dengan dia. Sifat manja yang dia punya bisa dibilang lebih besar dari yang dipunya anak kecil. Tapi, dia bersifat seperti itu hanya kadang-kadang saja.

            Bahkan, dia juga bisa menjadi seseorang yang membuat saya sebal; karena memang dianya juga menyebalkan. Hal-hal yang menyebalkan dari dia dapat membuat saya geregetan sendiri dengan tingkah lakunya. Terkadang, dari sifat nyebelinnya ini pun suka muncul sifat kekanakannya. Dan satu lagi, dia bisa menjadi pacar ketika hati saya tahu akan pulang kemana; kembali kehatinya. Karena hanya dialah jalan kemana saya akan pulang, dahulu.

            Teruntuk satu bintang yang cerah, terimakasihku tak terhingga untukmu…
         Dari kau bukan siapa-siapa, menjadi teman, lalu kamu jadikan aku satu-satunya orang yang dapat melihatmu bersinar, hingga sinarmu mulai meredup, kemudian sinar itu hilang, aku mau mengucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga untukmu, Bintang. Tak bisa dituangkan dengan kata-kata karena akan panjang jikaku jabarkan satu-persatu. Tak bisa pulaku ucapkan rasa terimakasih itu karena akan banyak menghabiskan waktunya untuk mendengarkan celotehku yang tak jelas. Intinya, aku hanya bisa berterimakasih kepada satu bintang itu; bintang yang paling cerah sinarnya di antara bintang-bintang yang lain. Dia berbeda dengan yang lain, dia terlihat unik dengan caranya bersinar, dan dia terlihat indah di langit yang kelam di atas sana menemani sang rembulan.


Hanya satu pertanyaanku, “Jikaku berhasil menghidupkan imajinasiku menjadi seorang pilot ataupun astronot, maukah kau aku petik untuk tetap terjaga di saatku tertidur di malam hari? Sinarmu dapat menerangi segala mimpi-mimpiku.”

Hasil gambar untuk bintang

7 comments: