Thursday 19 February 2015

Bukan Lagi Soal UGM, Tapi Soal UINJ.

Minna-san, sebenarnya saya membuat tulisan ini bukan atas dasar apa-apa, bukan tentang perasaan dan pikiran yang sedang kalang kabut. Hanya saja, saya habis flashback membaca tulisan-tulisan lama di blog ini. Entahlah, rasanya ingin sekali saya untuk membahas permasalahan terdahulu pada sekarang ini kepada diri sendiri. Tak ada yang mengerti sama sekali sebenarnya dengan permasalahn ini, tetapi saya bias untuk menyelesaikannya seorang diri.

            Tentang seorang gadis yang sekarang berstatus sebagai Mahasiswi yang sudah menerima takdirnya. Saya tahu dan sangat amat mengerti dengan gadis ini, bagaimana dahulu hari-hari begitu menghantuinya. Ya, karena gadis ini adalah saya. Saya merasa, hari-hari terdahulu itu seperti hantu yang menghiasi perjalanan saya, begitu kelam dan kelabu. Hari di mana saya harus berbesar lagi untuk tidak memperjuangkan hak saya dan berusaha mengalah kepada keadaan; ya, saya sedikit lupa dengan keinginan saya pada kala itu; keinginan terpendam tentang kuliah di UGM. Karena jujur, ada seseorang yang saya cari di sana; orang yang telah memotivasi dan membakar semangat saya untuk memperjuangkan UGM. Sekalipun itu di hadapan Tuhan dan Orang Tua saya.

            UGM, adalah Universitas yang saya bangga-banggakan dahulu, Universitas yang membuat saya berdecak kagum akan segala-galanya, dan Universitas di mana saya akan berpikir akan bertemu dengannya; seseorang yang berada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada jurusan Ilmu Ekonomi tersebut. Namun, sebenarnya Tuhan saya lebih mengetahui kemana niat saya akan berlabuh, dengan demikian Ia membelokkan segala rencana bak banjir yang tiba-tiba surut airnya. UGM, tak seindah bagaimana aku memandangnya lagi. Entah mengapa, saya merasa enggan untuk berkuliah di sana, sekarang. Terlalu banyak alasan jika memang bisa saya jabarkan di sini. Namun jujur sejujur-jujurnya, saya telah melupakan segala alasan itu dan berpaling dengan mudahnya di UINJ. Banyak sejarah yang terukir di UINJ, salah satunya pembelajaran akan pendewasaan tertanam di sana walau tak semua orang dapat memetik pembelajarannya. Ah, lagi-lagi saya membandingkan mereka kedua. Gomenne.

            Walau menempuh pendidikan di UINJ bukanlah suatu keinginan hati, namun saya merasa tenang dan damai berjalan di dalamnya. Tak perlu lagi ada perdebatan panjang dan sengit antara Anak dan Orang Tua di setiap harinya; karena Orang Tua saya yang masih kekanakan dan saya sendiri orang yang keras kepala, akhirnya tak bisa menemukan titik temu untuk berdamai selain waktu yang menemukannya. Bukan, bukan berarti saya tersadar karena ini memang jalan saya, tapi saya tersadar bahwa mensyukuri yang telah ada, jauh lebih indah walaupun awalnya akan terasa sulit dan berat. Pembelajaran inilah yang saya dapatkan setelah semua berakhir di UINJ.

            Oh iya, masalah dengan seseorang yang berkuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di UGM pada jurusan Ilmu Ekonomi, memang benar dia yang memberi saya motivasi dan telah membakar semangat saya dengan berapi-apinya; sehingga api itu berkobar dan membuat saya menjadi merasa autism kepada UGM. Namun, semangat dan kobaran yang ada pada diri saya sekarang tak lagi berpihak untuknya ataupun UGM. Ibarat api yang mengamuk saat ada kebakaran, pemadam kebakaran yang professional telah berhasil menghentikan kobaran api itu. Lalu, masalah dengan orang tersebut? Ah, saya tak lagi mengingatnya, serius. Karena saya telah memiliki motivasi dan kobaran semangat yang lain untuk tetap bertahan di UINJ. Bukan, seseorang itu bukanlah yang pernah mengisi hari-hari saya, tetapi seseorang yang sedang mengisi hari-hari saya sekarang.


            Dan? Walaupun saya tak tahu bagaimana jalan kedepannya, namun saya sedikit merasa yakin bahwa semangat dan motivasi yang saya miliki sekarang dapat membuat saya melupakan keinginan terbesar saya, keinginan terpendam yang sudah lama saya kubur bersama hari-hari yang menghantui kala itu. Entahlah, saya sendiri sekarang menjadi bingung mengapa dahulu saya merasa terobsesi dengan UGM, merasa bahwa UGM-lah tempat di mana saya dapat berkembang menjadi seorang anak yang mandiri, sukses, dan dapat membanggakan kedua Orang Tua. Memang, itu dapat saja terjadi. Namun, jika saya dapat berpikir demikian di UGM, mengapa saya tidak bisa memiliki pikiran yang sama di UINJ? Well, mungkin saya baru ada pikiran kembali untuk berkuliah di UGM untuk menyelesaikan S2 saya, mungkin? Saya tidak tahu. Namun yang pasti, mimpi itu sudah tertata rapi bersama UINJ untuk meraih mimpi itu; mimpi berkunjung ke UGM. Tanpa lagi untuk alasan menemui seseorang dan lebih serius untuk belajar, nantinya…

6 comments:

  1. sugoi sugoi ... tulsn ringan & sdrhna yg tlah m'bka mata ak , arigatou ^^

    ReplyDelete
  2. singkt& pnh artiii :D arigatou

    ReplyDelete
  3. dalem , emosinya dpt bgt hahah ..

    ReplyDelete