Wednesday 2 April 2014

Timang-Timang.

“Timang timang anakku sayang
Jangan menangis bapak disini
Timang timang anakku sayang
Jangan menangis bunda bernyanyi

Bila kelak engkau dewasa
Sayangi saudara sayangi sesama
Dengan cinta

Jujur lakumu jujur ucapmu
Menjalani hidup
Cantik jiwamu cantik parasmu
Kala engkau tersenyum

Timang timang anakku sayang
Cepatlah tidur janganlah nakal
Timang timang anakku sayang
Mimpi yang indah nyenyakkan tidurmu

Doa kami sertakan
Temani dirimu menjalani hidup
Oh anakku…”




            Jadi, hari ini itu saya ditakdirkan untuk pulang ke rumah lebih awal dikarenakan dosen mata kuliah kedua saya tak hadir, entah apapun itu alasannya. Mungkin, karena beliau sendiri sedang mengandung; karena biasanya, orang yang lagi hamil itu sedikit malas untuk melakukan sesuatu. Hal ini, terjadi pula pada Ibu saya, setahun yang lalu.


            Berbicara tentang mengandung ataupun hamil, ketika sedang melakukan perjalanan pulang ataupun pergi ke kampus, banyak sekali fenomena di mana keluarga kecil yang juga sedang menikmati hiruk pikuk perjalanan panjangnya. Ada Ayah, Anak, dan Ibu. Banyak dari keluarga kecil ini, yang mungkin berlibur atau sekedar berjalan-jalan saja. Jujur saya iri.


            Iri yang di maksud di sini dalam artian, “Manisnya.. Bagaimana jikaku nanti saya ada diposisi mereka?” Selalu saja hal itu yang terlintas dalam benak saya ketika melihat mereka. Menjalani hari-hari sebagai seorang Ibu, seperti Ibu saya. Terbangun di pagi hari kemudian sholat subuh, sehabis itu menyiapkan sarapan dan peralatan anak dan suaminya hingga menanti mereka berangkat sekolah dan bekerja. Lalu, membersihkan rumah, memasak, menyuci, menyambut anak pulang dari sekolah, dan suami sehabis pulang kerja. Pikiran seperti ini selalu menari-nari dalam benak saya ketika melihat banyak keluarga kecil mereka yang berusaha menghabiskan waktu bersama.


            Tadi, ketika sedang mata kuliah Antropologi, ada kejadian pulpen teman saya terjatuh dan berada di bawah kaki saya. Lalu, dia memberitahukan kepada saya bahwa pulpen miliknya berada di bawah kaki saya. Lalu, saya mengambilnya dan dengan tegas saya berkata, “Di bawah telapak kaki saya itu ada surga. Tetapi kelak nanti, setelah saya memiliki anak.” Entah atas dasar apa, saya menyeletuk demikian hingga teman saya yang mendengarnya tertawa kecil. Saya masih saja terpikirkan keluarga-keluarga kecil mereka; saya ingin menjadi seperti mereka, tetapi nanti.


            Memiliki seorang suami yang rajin dan bertanggung jawab; dunia ataupun akhirat, memiliki sepasang anak yang lengkap dan sempurna, serta mudah di atur, adalah salah satu dambaan saya ketika melihat keluarga-keluarga itu. Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, yang selalu patuh dan disiplin kepada Allah; Tuhan penguasa alam, dan selalu disertai kedamaian di setiap harinya; merupakan dambaan dan idaman saya dikala itu.


            Menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami, yang senantiasa selalu dibimbing dan dicintai atas nama Allah. Menjadi seorang ibu yang dicontoh ataupun diteladani bagi anak-anaknya. Dan menjadi seseorang yang disegani dalam keluarga besar ataupun dalam kalangan tetangga; adalah segala khayal saya. Namun, saya tak tahu apa yang akan terjadi dalam suatu waktu nanti. Yang bisa saya lakukan untuk saat ini hanyalah memantaskan diri saya.


            Kata bergaris miring di atas merupakan bukan syair atau puisi dari saya. Namun, itu sepenggal lirik lagu. Timang-timang. Aah, banyak sekali rasanya yang muncul ketika mendengarkan lagu itu. Mulai dari saya kecil dahulu,  masa saya mengenali dunia hanya dengan senyuman, hingga saya beranjak dewasa dan mengurus anak kecil, kelak.


            Saya pun amat tak mengerti, mengapa ingin sekali rasanya membaginya dalam bentuk tulisan; saya bukan pencerita langsung yang handal. Saya lebih suka mencurahkannya melalui tulisan. Tulisan ini berawal karena banyak keluarga harmonis yang saya ditemui di jalan, dan kejadian pulpen teman saya terjatuh tersebut. Pikiran saya meloncat seakan-akan saya bisa kembali ke masa dulu dan mengatur masa depan yang saya tak mengerti akan seperti apa.


            Saya sendiri seorang gadis berusia 19 tahun pada tahun ini, tapi saya sedikit mengerti bagaimana mengurus balita; karena saya memiliki adik berusia 1 tahun 3 bulan. Setidaknya, saya bisa memerankan peran seperti Ibu saya dan mengerti bahwasannya memang tak mudah menjadi seorang Ibu. Mulai adik saya susah untuk disuapi, tidak mau untuk diganti popok, ataupun mengelesot kesana kemari. Jujur, saya geram. Tapi, saya banyak belajar kesabaran dari adik saya sendiri. Bahwa, “Tak mudah mengurus saya, Kak.” Ya, saya tahu itu.



            Segala khayal dan imajinasi yang telah mengatur waktu saya saat ini; saya terperangkap dalam dunia masa kecil sekaligus masa dewasa saya sendiri. Saya terlelap, tenggelam. Masih terlalu jauh untuk saya memikirkan masa depan saya, terlalu sulit pun jika untuk diraba. Namun, ya sudahlah. Biarkan tersimpan rapat dalam imajinasi saya. JJ


3 comments: