Assalamu’alaikum Wr. Wb, para pembaca gaib..
Masih
sedikit terasa momen-momen lebarannya, nih. Lebih baik terlambat daripada tidak
sama sekali, kan? Iya, saya di sini ingin meminta maaf lahir dan batin untuk
segala ucapan atau tulisan atau perbuatan yang pernah saya lakukan baik yang
disengaja maupun tidak, ya! Oh, iya, permintaan maaf saya juga berlaku, kok,
untuk mantan-mantan saya. Saya tidak ingin memiliki musuh. Jadi, maafin, ya!
Di
tulisan kali ini, kenapa saya memberikan judul 60 Menit Bersama Imajinasi? Sebenarnya setiap postingan di blog ini melibatkan imajinasi-imajinasi dan setiap
kata-katanya saya atur sedemikian rupa beberapa jam sebelum saya mulai mengetik.
Tapi, ada yang berbeda pada postingan ini. Bedanya, sih, tidak terlalu jauh; hanya
saja imajinasi yang akan saya tuang dalam tulisan ini sudah saya bayangkan pada
tujuh tahun silam. Iya, ketika saya menginjak bangku SMA, saya sudah memikirkan
lima sampai sepuluh tahun kemudian. Sementara untuk kata-katanya, ini murni
kejadian atau percakapan yang baru saja terjadi kemarin sore.
Saat
itu saya baru masuk SMA; ya, masa-masa awal di mana saya culunnya minta ampun! Maklum,
peralihan dari masa SMP ke masa SMA memang seperti itu. Jujur, semenjak TK
bahkan hingga kuliah, saya selalu dimudahkan jalannya oleh Allah SWT dalam hal pendidikan. Maksud dari dimudahkan adalah saya
tidak harus capek-capek berpikir dengan keras untuk mengisi lembar jawaban test
masuk untuk ke jenjang berikutnya; misal, peralihan dari SD ke SMP, lalu SMA,
dan dilanjut kuliah. Alhamdulillah,
ternyata Allah SWT baik sama saya!
Waktu
kelas 10, semua siswa baru diwajibkan untuk mengikuti semacam test psikotest
untuk mengetahui saran jurusan yang nantinya akan dipilih pada kelas 11. Hasil saat
itu menunjukkan bahwa saya cocok masuk jurusan IPS dan menjadi penyiar radio serta bekerja yang berkaitan dengan masyarakat. Wow! Saya cukup kaget saat itu
meskipun dalam test kepribadian, hasil testnya adalah saya introvert. Introvert
ke masyarakat? Bagaimana bisa? Tetapi, saya tidak memusingkan hasil test
tersebut.
Kenaikan
kelas 11 pun tiba ditandai dengan pengambilan raport. Jika dilihat dari segi nilai, justru
nilai saya lebih bagus di IPA daripada IPS. Karena saya memiliki kekurangan
dalam hal menghitung dan juga ragu jika masuk jurusan IPA, akhirnya dengan berlandaskan pada saran almarhumah wali
kelas saya saat itu, Ibu Dewi, serta hasil test tersebut, akhirnya saya memilih
jurusan IPS. “Tidak apa-apa. Masuk jurusan
IPS tidak seburuk yang orang lain katakan. Lebih baik menjadi nomor satu
dijurusan IPS daripada nomor sekian dijurusan IPA.” Saya diam mendengar
ucapan beliau. Alasan ini juga menjadi salah satu penguat mengapa saya
mengambil jurusan IPS. Terima Kasih atas sarannya, Ibu Dewi!
Ternyata
benar, jurusan IPS tidak seburuk yang kebanyakan orang kira! “Santai tapi pasti,” menjadi slogan saya
dalam menjalani hari-hari saya. Saya santai namun selalu berusaha untuk fokus
dalam setiap mata pelajaran yang saya ambil (hehe, walaupun tidak jarang saya
selalu bolos dalam mata pelajaran yang membuat saya bosan dan ngantuk). Saat
itu, yang saya pikirkan hanya, “Belajar
yang rajin, masuk universitas negeri, bekerja, dan hasil kerja ditabung untuk
membeli minimal tanah untuk dibangun rumah.” Ternyata apa yang saya
pikirkan ketika sewaktu SMA, diucapkan oleh Bapak saya pada kemarin sore!
Saat
ini saya sudah selesai menyelesaikan studi saya di universitas negeri sesuai
dengan apa yang saya inginkan. Jerih payah yang saya hasilkan saat kuliah
memang tidak bagus-bagus banget, sih. Namun, nilainya tidak mengecewakan juga;
standar saja. Singkat cerita, saat ini saya sedang melamar dibanyak perusahaan
sejak selesai sidang skripsi dari bulan Januari lalu. Lucunya, ada enam panggilan wawancara dari sekian
banyaknya lamaran, namun tidak pernah saya hadiri dengan alasan banyak sekali
pertimbangannya. Bapak saya marah bukan main saat mengetahui hal ini. Saya tahu
alasan mengapa beliau marah adalah dirinya akan merasa gagal jika anak yang
dididik hampir duapuluh tiga tahun, masih belum bisa mandiri; saya paham betul.
Maka dari itu saya memutuskan untuk diam ketika beliau marah. Diam dengan
pertimbangan yang cukup matang.
Senin, 18 Juni 2018
Hari
ini adalah hari pertama orangtua saya menjalankan puasa sunah syawal, sedang
saya membayar hutang puasa ramadhan tahun ini. Tidak ada yang spesial dengan puasa hari
ini; maksudnya sama saja dengan puasa bulan ramadhan. Tradisi buka bersama di
rumahpun menjadi salah satu kegiatan yang tidak asing bagi keluarga saya ketika
Bapak bisa pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Makanan yang terlihat
menggoda membuat saya dan orangtua saya berkumpul di meja makan; menanti bedug. Sembari menunggu
azan maghrib, Bapak membahas suatu
permasalahan yang jujur saja saya lupa bahasan awal tentang apa. Hingga akhirnya
Bapak nyeletuk:
Bapak: “Ret, nanti kalau sudah
bekerja bikin buku tabungan sendiri. Ma, nanti kalau Retno sudah bekerja,
jangan diganggu. Biarin ngumpul.” (Ucapnya dengan nada serius).
(Ah,
roman-romannya ngomongin soal pekerjaan, nih. Pembahasan masalah gaji pula. Belum kerja saja yang dibahas sudah masalah gaji. Saya
yang saat itu benar-benar merasa lapar, hanya bisa diam seribu bahasa. Menyimak
dan berusaha mencerna kata-kata yang masuk ke telinga dengan sisa-sisa tenaga
yang saya punya. Mama juga demikian; ikut diam dan menyimak).
Bapak: (Melanjutkan kata-kata yang belum selesai diucapkan) “Kalau bisa, uangnya dikumpulin dulu. Terus dibuat
beli tanah sebelum menikah.”
(Jujur,
saya agak sedikit tercengang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Bapak
barusan. Kenapa kata-kata barusan sama seperti yang saya pikirkan ketika saya
SMA? Tapi ketika saya mendengar ucapan Bapak tersebut, saya justru merasa
sedikit ada yang janggal).
Saya: (Mulai menatap mata Bapak
sambil mengernyitkan dahi) “Lah, Pak? Kalau
menunggu uang segitu banyaknya, kapan aku akan nikah? Harga tanah per-meternya
saja mahal sekali, lho! Masa iya saya jadi perawan tua hanya gara-gara tanah?” (Saya beristighfar dalam hati karena tidak ingin menjadi perawan tua).
(Suasana
sangat awkward pada saat itu. Mama yang sedaritadi diam, tidak berkutik. Sedangkan
Bapak terlihat memutar otak dan mengatur kata-kata dengan sebaik mungkin).
Bapak: “Bukan begitu, Ret. Bapak aja
dulu sebelum menikah sama Mamamu, Bapak udah punya tanah. Jadi, kan, enak
tinggal membangun rumah di atas tanah itu,” ujarnya setelah diam selama
lima menit.
(Mendengar
hal tersebut, saya merasa agak sesak. Pasalnya, saya ini perempuan. Saya sama
dengan Mama. Haruskah saya menyediakan tanah dan suami saya membangun
rumah? Atau, saya yang membeli dan membangun rumah? Ah! Saya tahu pikiran
seperti ini salah besar. Kalau begini jadinya, tugas dan tanggungjawab saya
disamakan oleh laki-laki, dong?)
Retno: “Lho? Kenapa aku yang harus
membeli tanah? Memangnya aku laki-laki? Yang harus menyediakan tempat tinggal
untuk pasangannya? Bapak begitu, kan, karena memang sudah tanggungjawab Bapak sebagai
laki-laki karena meminang anak orang. Bertanggungjawab dengan kedua orangtuanya dengan cara memberikan penghidupan yang baik dan layak untuk Mama. Namanya juga mengambil anak orang untuk dijadikan
istri, pasti bertanggungjawab penuh atas kehidupan selanjutnya. Apa aku harus
begitu juga? Mengambil anak orang? Aku tidak masalah jika nantinya harus
patungan dengan suami untuk membangun rumah. Tetapi kenapa harus aku yang beli
tanah? Ini sama saja dengan aku yang berjuang dari nol, dong, Pak?” Ucap
saya panjang lebar dengan nafas sedikit tertahan.
Retno: (Karena tidak ada balasan, saya menimpali sekali lagi) “Iya, kalau suaminya mengizinkan aku untuk
bekerja setelah menikah. Kalau tidak? Mau beli tanah pakai apa, coba?”
(Mama
seperti menunjukkan bahwa dirinya sedang tidak ada di sana; ya, makin tidak berkutik
pada arah pembicaraan ini. Bapak yang awalnya terlihat berpikir, akhirnya diam
seribu bahasa. Akhirnya azan maghrib pun berkumandang dan obrolan tersebut
terlupakan begitu saja. Terhempas bagai debu yang tertiup angin).
Sebenarnya
apa yang dikataan Bapak di atas itu benar dan tidak sepenuhnya salah
juga mengingat pemikiran saya dengan Bapak sama. Memang awalnya, jika nantinya gaji
saya sudah cukup, saya ingin membeli tanah. Namun, bukan tanah untuk dibangun
rumah. Tetapi untuk tabungan di masa depan kalau-kalau ada keperluan mendadak
atau untuk sekedar warisan untuk anak nanti. Saya tahu pikiran seperti ini
dirasa masih jauh; sampai memikirkan warisan untuk anak. Tetapi jika tidak
dipikirkan dari sekarang, kapan lagi? Dipikirkan sekarangpun karena saya
memiliki waktu yang cukup untuk menata masa depan. Kalau nantinya akan
meleset, itu sudah lain cerita; karena manusia merencanakan, Allah SWT yang mengizinkan.
Memang
pada awalnya saya ingin sekali membeli tanah yang kemudian di bangun rumah di
atasnya. Namun jika saya nantinya menikahi seorang laki-laki yang (mau dan
akan) bertanggungjawab kepada saya dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
bahkan papan, untuk apa saya membangun rumah lagi? Untuk dijadikan kontrakan? Ah,
saya tidak berniat akan membuat kontrakan; karena saya tipikal orang yang tidak
enakan, jika yang mengontrak menunggak beberapa bulan, bagaimana? Jadi, hanya
satu keinginan terakhir yang belum tercapai adalah memiliki tanah kosong untuk
tabungan di masa depan. Ya, hanya tanah kosong. Lagipula, harga tanah itu mahal
sekali, kan? Saya tidak tahu apa keinginan ini bisa terwujud atau tidak. Jika terwujud,
berapa lama saya harus bekerja?
Wow ! Cr pandang'a unik skl hheheh . Berharap / bermimpi it blh , asal jgn lpa u/ d wujudin gt mbk'e hhehehe ..
ReplyDeleteArgumennya Ble Jg......
ReplyDelete