Hai,
kalian semua! Hari Minggu ini saya dapat banyak sekali pembelajaran, nih.
Pembelajaran yang sangat-sangat berarti untuk saya. Jadi, rekam jejaknya untuk
hari ini seperti ini:
Hari Minggu ini adalah hari kedua di
bulan Agustus. Kebetulan sekali Bapak saya mendapat jatah untuk libur dari
kerjanya. Karena saya belum berlebaran ke rumah Bude saya di bilangan Kedoya,
Jakarta Barat, kami merencanakan untuk berlebaran kesana pada hari ini (tanpa
Asik saya yang kedua). Hampir-hampir saja rencana untuk berlebaran itu gagal
lantaran genting rumah saya sehari sebelumnya bocor ketika hujan deras
menyerbu. Kemudian, Mama saya memanggil tukang bangunan untuk membenahi genting
tersebut. Dari sini kami harus menunggui tukang bangunan tersebut hingga
pekerjaannya selesai.
Selain menunggu tukang bangunan
tersebut, Bapak saya pergi ke bengkel untuk menyervis motornya. Pagi-pagi
sekali beliau sudah berangkat ke bengkel, namun tetap saja mengantri. Ketika
Bapak saya masih berada di bengkel, sempat si kuning Nazwa; motor kecintaan
saya, tidak mau menyala. Karena terlihat kebingungan, akhirnya tukang bangunan
itu membantu saya membenarkan Nazwa. Rentang satu jam kemudian, baik tukang
bangunan maupun Bapak saya telah selesai dengan urusannya masing-masing. Saya
dan Mama saya bergegas untuk bersiap-siap pergi. Sebelum berangkat, Bapak saya
mengecek Nazwa dengan seksama.
Oke, kita berangkat! Perjalanan ke
Kedoya terbilang tidak terlalu jauh karena melewati jalan yang bisa dibilang
jalan tikus. Melewati arah Ciledug dan tidak lama kemudian kami semua sampai di
rumah Bude saya. Jalanan pada hari ini terbilang ramai lancer dan hanya memakan
waktu satu jam di perjalanan. Tak terasa hari mulai sore, perbincangan terpaksa
harus disudahi karena takut-takut sampai di rumah kemaleman. Dan juga macet
menjadi alasan nomor satu. Akhirnya kami pulang. Rute perjalanannya agak sedikit berbeda dengan rute ketika
pergi tadi; namun sama-sama menggunakan jalan di daerah Ciledug. Di sinilah
pembelajaran itu terjadi.
Saya lagi anteng-antengnya mengikuti
motor Bapak saya di belakangnya. Bapak saya terkenal dengan kegilaannya ketika
membawa kendaraan. Jarak saya dengan Bapak saya saat itu sekitar dua meter.
Masih terlihat dengan jelas beliau berada di depan saya. Tak berapa lama, entah
mengapa Bapak saya menyingkir pelan ke jalan pinggir ketika ada bis. Saya terus
saja menggas motor saya karena saya berpikir, Bapak saya akan menyalip bis
tersebut. tak jauh dari bi situ berada, akhirnya saya berhenti ketika saya tidak
bisa melihat sosok Bapak saya di kaca spion. Lima menit… Sepuluh menit…, tak
kunjung terlihat. Saya sempat untuk menelepon menanyakan di mana posisi Bapak
saya. Namun suara yang terdengar tidak terlalu jelas karena terdengar riuh
dengan kendaraan yang lalu lalang. Akhirnya saya memutar balik dengan
kemungkinan saya dapat mengetahui posisi Bapak saya dari seberang jalan.
Namun, tak ada sesosok yang saya
kenal di sepanjang jalan tersebut. Sesekali lagi saya menelepon Mama saya, yang
justru saya disuruh pulang lebih dahulu saja. Panik campur bingung saat itu,
karena saya tidak hafal dengan jalanan di daerah Ciledug. Dengan bermodal
sedikit ketenangan dan keyakinan pada hati kcil saya, akhirnya saya melanjutkan
perjalanan. Awalnya, saya sedikit bingung dengan papan penunjuk jalan yang ada
di sana. “Harus kemana, nih? Ke kiri atau ke kanan, ya?” dengan secepat kilat
akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jalan ke kanan.
Ternyata, jalan ke kanan itu jalanan
yang sedikit tidak asing bagi saya. Karena sekitar setahun yang lalu saya
pernah melewati jalanan ini bersama Mama saya. Tanpa ragu-ragu saya terus
berjalan menyusuri ramainya jalan di Ciledug saat itu. Dan kemudian, saya
senang bukan main ketika saya mulai mengenali jalanan yang dulunya sering saya
lewati bersama Mama saya untuk ke dokter gigi. Akhirnya saya pun sampai di
rumah. Ketika baru banget sampai di depan pagar, Adik saya menertawakan saya
karena nyasar dan kehilangan jejak Bapak sembari membukakan pagar tersebut.
saya juga ikut tertawa, walau terselimut sedikit rasa kesal dalam hati.
Pernah mendengar kata-kata seperti
ini, “Jangan pernah ragu melepas merpati terbaik untuk pergi. Karena dia pasti
tahu jalan untuk pulang.” tidak? Mungkin, kedua orang tua saya mengibaratkan
saya seperti merpati; tak peduli dimana dan seberapa jauh anaknya tersebut,
pasti dia akan pulang karena dia telah hafal dengan jalan pulangnya tersebut.
Sama halnya seperti burung-burung merpati yang bepergian pada pagi hari untuk
mencari makan dan kembali ketika hari petang ketika sudah kenyang dengan
makanan yang di dapatnya. Merpati-merpati itu dengan tenangnya mencari makanan
karena dia tahu, setelah mendapati makanan, dia akan segera pulang. Dan membawa
hasil makanannya tersebut kepada anaknya-anaknya.
“Jangan
pernah ragu untuk melepas merpati terbaik untuk pergi. Karena dia pasti tahu
jalan untuk pulang.” Karena seberapa jauh dia pergi,
seberapa sering dia mengabaikan rasa rindu dengan rumahnya, dan seberapa lama
dia berada di luaran sana, dia akan segera pulang entah cepat atau pun lambat. J
merpati it burung yg setiaa... :-D
ReplyDeletedaebakkkk<33
ReplyDeletemnding trjbak d cldug atw hti ssorg ? ahaha . . :-D
ReplyDeletewaduh, bs nysr gtu
ReplyDeletewew . .
ReplyDeletecieew cie
ReplyDelete