Moshimoshi, minnasan.. :):
Ah, liburan semester
dua selama dua bulan sedang saya rasakan sekarang. Sebenarnya, liburan semester
ini lebih terasa tenang dibanding semester lalu. Tak bisa begitu saja
dibandingkan memang, karena masalah yang akan saya lalui sama beratnya, tak ada
yang berbeda. Tenang karena bisa untuk sementara waktu, saya rehat dari
aktifitas saya di tempat 1001 kenangan tersebut, dan bermasalah berat, yang
akan saya tempuh di bulan Agustus mendatang.
Sebenarnya, ini masalah lama yang saya ungkit kembali
walaupun saya telah mengambil keputusan. Ini tentang persyaratan agar saya mau
untuk bertahan di sana; pergi mengunjungi dia yang telah aku relakan dan
korbankan, dan bersamanya untuk waktu yang cukup lama. Mengiming-imingin saya
merupakan ide terburuk yang pernah saya dapat dan tak mudah juga “menyogok”
seseorang yang keras kepala dengan iming-imingan biasa. Orang tua saya sempat
kewalahan untuk mengancam saya, jika saya tidak mau bertahan di sini. Lalu,
saya punya istilahnya permintaan terakhir, “Jika
ini mau kalian, jika saya harus mengikuti alur kalian, tolong dengarkan saya
untuk terakhir kalinya, bawa saya ke Yogyakarta pada bulan Agustus nanti. Lalu,
saya tidak akan pernah untuk menuntut kembali dan membuka permasalahan ini
lagi.” Orang tua saya tertegun dalam diam. Saya tak tau mereka memikirkan apa,
yang jelas sekali saya menuntut mereka yang tuntutan ini merupakan berupa
ucapan selamat tinggal dan permintaan maaf.
Masalah ini sebenarnya sudah diselesaikan ketika melewati
hari pertama UAS. Sesungguhnya, ada perasaan yang lega menyelimuti saya ketika
itu; walau saya bisa bilang, UAS semester 2 ini adalah UAS yang kacau ketimbang
semester sebelumnya. Awalnya tidak terpikirkan hal ini lagi ketika memasuki
awal liburan. Namun, ada satu pikiran yang mengganggu ketika saya membuka
website dari universitas saya. Tak bisa dideskripsikan dengan jelas, yang pasti
website ini telah membuka luka lama yang tertutup dan berusaha saya hilangkan. Ah, macam apalagi ini?
Masalah ini semakin memperkeruh otak saya yang sedang
tidak baik, ketika saya berangkat ke masjid untuk tarawih hari ini. Sudah 6
hari berlalu semenjak hari pertama, saya selalu terbiasa untuk sendiri dan
menjauhkan diri dari orang-orang yang mengenal saya, agar saya juga bisa
berinstropeksi diri sendiri dengan kejadian sebelumnya. Pada hari pertama, saya
merasakan kenyamanan dan kedamaian yang saya rasakan ketika saya bercakap
dengan diri sendiri; di dalam hati. Namun makin hari makin ke sini, ocehan
anak-anak kecil mulai bersorak sorai seperti kembang api ketimbang para ibu-ibu
yang berada di sekeliling saya. Ketanangan dan kedamaian yang saya dapatkan
seperti pada awal sholat tarawih sirna. Ditambah pula masjid yang mulai
menyepi, membuat gemaan mereka semakin terdengar. SALAH SAYA APA? SAYA HANYA
BUTUH INSTROPEKSI DIRI. Saya tak tahu harus bagaimana, saat itu saya berusaha
mengalah dengan keadaan dan sebisa mungkin berserah tanpa menimbulkan kekesalan
dalam jangka waktu yang lama.
Ini tentang kelanjutan cerita saya; alasan dibalik
alasan. Entah saya berusaha tegar di atas alasan yang benar atau salah, yang
pasti saya sedang berusaha bangkit dan harus bangkit ketikadi bulan Agustus. Mungin
pilihan seperti ini salah, tetapi saya hanya ingin untuk sekali lagi bertemu
dengan dia, di sana, terakhir kalinya, apa tidak boleh? Menghempas jauh segala
keraguan agar dapat berkonsentrasi pada satu hal. “Aku menyayangimu, tetapi aku harus berbesar hati merelakanmu.” Adalah
kata-kata yang akan saya bisikan kepadanya, di tempat 2 tahun yang lalu; UGM,
Yogyakarta.
Maaf, tetapi lagi-lagi di sini terdapat perbandingan
antara tempat kuliah saya dan UGM. Bukan, bukan karena saya tidak bisa untuk
bersyukur. Tetapi, kesannya di sini saya berjalan dengan terpaksa. Terpaksa? Ah sudahlah, jangan bahas yang satu ini. Ada hal
lain seperti, janji saya untuk tidak membandingkan dia dengan UGM, telah saya langgar.
Sedih? Iya, karena saya menanamkan prinsip untuk tidak berjanji bila tidak
ditepati. Dan jujur, saya sangat amat kecewa dengan diri saya sendiri. Manusia macam apa kamu ini? Ah, sebenarnya,
ada alasan mencolok yang saya ketemui untuk melanggar janji itu sendiri. Alasan
yang orang-orang terdekat saya ketahui; kecuali orang tua saya.
Tentang
Benda Mati yang Terselimuti Kabut.
Benda mati itu, diibaratkan
dengan fakultas yang awalnya saya tak ingini-kemudian saya segani-dan kemudian
kembali tak saya ingini. Dan kabut itu diibaratkan dengan segala cerita yang
berada di dalam naungannya, namun kabut ini berada di sekitaran gedung ini. Berulang
kali saya berusaha keras untuk menghindari dan membuang jauh-jauh kabut itu. Tapi
usaha yang saya lakukan adalah nihil.
Ini tentang benda mati yang berbicara, benda mati yang
hidup dalam angan. Banyak cerita yang saya lewati dengan benda mati ini; yang
dengan ikhlas menjadi potret dan kesaksian dari apa saja yang saya lakukan di
sana. Saya tak tahu menahu harus sampai kapan, menyalahi benda mati ini; saya
terlampau kehabisan nafas jika kabut itu tiba-tiba dating dan menghantarkan
tegangan listrik kecil pada diri saya. Ada yang janggal, ketika saya tak
mengingatnya. Itu sebabnya, mengapa saya setidaknya masih bisa untuk tersenyum
riuh walaupun dia telah mengkhianati saya bersama kabutnya. Saya ridha, ridha,
dan ridha lahir bathin.
Dahulu, saya sempat bertanya kepada salah satu teman
saya, “Kenapa burung-burung itu betah ada
di sini?” dia, yang memiliki keinginan yang sama dengan saya, menjawab
pertanyaan polos saya, “Karena ini rumah
mereka.” Kenapa dia bisa menjawabnya seperti itu? Kenapa bukan dari burung
itu sendiri yang menjawab pertanyaan dari saya? Dan kenapa, setiap pertanyaan “kenapa”
harus dijawab dengan jawaban “karena” bukan yang lain? Saya tak bisa mengerti
ini lagi dengan logika. Mungkin, semua permasalahan ini terlihat sulit diposisi
mereka, tanpa mereka merasakan bagaimana jika mereka berada di posisi saya. Saya
tak bisa seperti dia yang bisa menyelesaikan segala permasalahan sendirian,
yang hanya dengan diam saja dapat menemukan suatu kesimpulan. Tetapi saya lebih
suka menggertak terlebih dahulu, sebelum saya akhirnya luluh.
Doa
yang Tak Terucap.
Ini tentang doa yang
terpanjatkan tanpa melalui ucapan. Dia sebenarnya tahu apa yang saya ingini dan
harapkan, tapi antara keinginan dan harapan yang saya panjatkan belum lebih
baik dari kebutuhan saya. Saya sadar, jika memang bulan itu akan menjadi bulan
perpisahan, Allah telah merencanakan hal lain dengan adil dan lebih baik. Saya selalu
berusaha berpikiran positif, dikala pikiran negatif saya menyerang.
Dear Tuhanku yang maha
mendengar
Selama ini Engkau
mengetahui segala harap saya, bukan?
Mengetahui segala ingin
ini dan memperhatikannya?
Doa saya memang tak
sebanding dengan restu kedua orang tua saya
Tetapi apa bisa doa
yang saya panjatkan, Engkau kabulkan?
Mungkin bukan sekarang,
tetapi nanti pada waktunya
Walaupun saya harus
bertempur dengan musuh yang kuat
Sebisa mungkin saya
akan menahan dari serangan mereka
Atau antara doa dan
usaha saya, belum sebandingkah?
Mungkin sudah, tapi
bukan itu masalahnya
Ini tentang doa restu
yang Engkau izinkan
Kepada mereka yang
memang menginginkan dan datang padanya
Tetapi, bukankah saya
memiliki aturan yang saya jalankan?
Jika restu itu bukan
jalannya, lalu untuk apa?
Untuk saat ini saja,
saya bingung harus bagaimana
Selain berjalan di
keadaan riuh, yaitu peperangan
Bukankah Engkau mengetahui segala doa yang saya
panjatkan, walaupun tidak terucap dengan bibir ataupun hati? Bukankah Engkau
tahu, doa yang saya panjatkan setiap harinya selalu sama? Dan, bukankah Engkau
mengerti apa dan bagaimananya saya? Haruskah di akhir ini saya menyerah dan
menjalani yang ada? Untuk sekali lagi saya ungkapkan, saya berpikir dua kali
bukan karena saya tidak mensyukuri hal ini, tapi jujur ini terlalu berat untuk
saya pikul sendiri, saya jalani sendiri. Dan satu lagi, kemungkinan besar jika
saya tidak memiliki pemikiran yang panjang, saya tidak akan bisa menikmati
indahnya lebaran pada tahun ini. Tapi, saya masih belum cukup amal jika melakukan
itu.
Hal
seperti ini yang selalu melelahkan saya, dan bukan urusan yang lain.
Karena
urusan lain, datang dari permasalahan kecil ini…
Usaha
yang tak dihargai.
No comments:
Post a Comment