“Bila rindu ini masih milikmu
kuhadirkan sebuah tanya untukmu.. Harus berapa lama aku menunggumu? Dalam hati
kumenunggu, dalam benak kumenunggu. Masih menunggumu..”
Menunggu?
Apa ada yang salah dengan kata tak berdosa itu? Saya rasa tidak. Menunggu,
menurut artikata.com adalah tinggal beberapa saat di suatu tempat dan mengharap
sesuatu akan terjadi; menantikan sesuatu yang mesti datang atau terjadi;
mengharap. Sudah pasti, imbas dari menunggu adalah datangnya sebuah kepastian;
penantian dari apa yang telah ditunggu. Banyak orang bilang, menunggu itu tidak
enak, membosankan, membuat kita semakin lama semakin lelah untuk menantikan
sesuatu itu. Tetapi, akan ada hasil tak terduga dari orang yang akan sabar
menunggu. Karena semua akan indah pada waktunya.
Bisa dibilang, saya diibaratkan dengan Ran dan Shinichi. Kenapa
mereka? Karena Ran selalu dengan sabar menunggu Shinichi kembali, walaupun
entah waktunya kapan. Namun, saya tak sepenuhnya sama dengan mereka. Shinichi selalu
berada dekat dengan Ran, walaupun Ran tidak sadar kalau Conan adalah Shinichi. Bagaimana
dengan saya? Ah, saya tergampar jauh
oleh jarak. Saya berada di Indonesia, sedang dia berada di Kairo, Mesir; demi
menyelesaikan pendidikannya. Ya, dia kakak kelas yang sebelumnya saya
ceritakan.
Kemarin, (07/07/2014) entah kenapa saya merasakan sesuatu
yang terduga, yang menurut kebanyakan orang mungkin perasaan tak terduga yang
saya rasakan ini adalah lebay. Saya sudah tulis sebelumnya, bahwa saya tak
mengetahui apa-apa mengenai dia, bukan? Namun, kemarin, saya sedang iseng
membuka facebook adik saya. dan ternyata, adik dari orang yang sedang saya
tunggu, sedang online. Dengan refleks, saya melihat profile facebooknya, dan… Ketemu!
Sekarang saya lebih dari sekedar mengetahui nama dan rupanya saja. Saya juga
mengetahui dia berkuliah di Al-Azhar, dari situ. Dan ternyata tebakan saya
benar. Tak heran memang jika dia bisa masuk ke universitas Al-Azhar, karena
anaknya cukup pintar yang memperoleh beasiswa semenjak dia pesantren di Kairo, sehabis
lulus dari SMP.
Entah, mulai bermunculan kembali perasaan tak terduga
untuk yang kedua kalinya ketika saya mulai melihat-lihat foto dia bersama
beberapa teman dan anak kecil. Lucunya, di setiap hari Selasa, ketika dia
sedang menghafalkan sesuatu (mungkin ayat Al-Qur’an), dia selalu saja datang
dan mengganggunya. Ketika saya mengetahui hal ini, saya hanya berpikir positif;
bahwa anak kecil ini ingin mengajaknya bermain. Antara tugasnya dan anak kecil,
cobaan yang berat mungkin baginya, ahaha. Lalu, tentang perasaan tak terduga
saya yang kedua kalinya? Saya telah terbius oleh panah pesonanya. Dia tak
tampan memang namun manis, dan saya bukan terpesona akan rupanya. Melainkan,
akhlak yang sedang dia bentuk sekarang, untuk menjadi imam yang soleh. Subhanallah, saya benar-benar kagum akan
pesona akhlaknya.
“Dia pakai
kacamata, ya, Ret?” Pertanyaan dari Mama saya, mengagetkan saya. Ya ampun,
sejak kapan beliau ada di sana? Mengetahui apa yang saya lihat? Dan melihat
bagaimana anehnya tingkah saya waktu itu? “Ini,
lagi ngeliat facebook kakaknya si (sensor), benerkan kata aku dia kuliah di Al-Azhar?” Celetuk saya dengan nada
bahagia yang disadari oleh Mama saya. Lalu ketika Mama saya beranjak pergi,
saya masih saja melihat setiap foto yang ada di facebooknya, tanpa sadar saya
bergumam sendiri, “Apa mungkin saya, yang
akan mendampingi kamu, sampai akhir nafasmu nanti?” Ketika saya bergumam
demikian, sedikit demi sedikit muncul rasa yakin. Rasa yakin di sini bukan
yakin untuk di pilih untuk menghabiskan sisa umurnya, karena saya tidak mau
terlalu yakin yang berpengaruh kepada saya untuk semakin berharap bahwa jodoh
dia adalah saya. Tetapi, saya merasa sedikit tambah yakin di sini adalah untuk
menjaga hati saya dan menyambutnya ketika waktu sudah mengizinkan saya untuk
menyudahi masa tunggu saya. Dan jika memang Allah menakdirkan dan memberi restu kepada saya untuk mendapatkannya.
Merasa bosan? Tidak, sama sekali tidak. Justru, saya
merasa senang telah diberi waktu untuk menunggu. Alasannya? Saya ingin
memperbaiki diri terlebih dahulu. Saya tidak mau nantinya jika dia datang
kepada saya, dia akan kecewa. Ibarat seorang pangeran yang menunggu seorang putri cantik dengan gaun yang indah, namun kenyataannya, dia tidak secantik gaun yang
telah mengindahkan tubuhnya. Dengan kata lain, saya harus memperbaiki diri
terlebih dahulu, agar dia tidak kecewa dengan saya. Jika saya telah berhasil
untuk memperbaiki diri, kedatangan dia untuk saya adalah hadiah terindah dari
apa yang telah saya tunggu dan perbaiki. Masih banyak hal yang harus saya
perbaiki; memantaskan diri untuk kamu, walau saya tahu saya tak bisa untuk
menyetarakan atau melebihkan diri dari kamu. Setidaknya, saya akan berusaha
untuk menyeimbangkan dirinya.
Lalu, apa yang mambuat saya semakin yakin untuk menjaga
hati saya untuknya? Akhlaknya, saya kagum dari akhlak yang dia punya, dia telah
berhasil membuat saya terpesona kepadanya. Bukan dari fisik ataupun harta yang
dia miliki. Saya tahu, dia masih belum memiliki harta apapun, kecuali
mendapatkannya dari orang tuanya. Tapi, saya tidak memperdulikan hal itu. Karena
yang saya tahu, saya hidup di dunia ini untuk akhirat dan saya perlu pemimpin
keluarga yang mampu membawa saya dan anak-anak saya kelak ke jalan yang benar. Masalah
harta? Jangan permasalahkan itu, karena Allah sendiri yang akan membantu, jika
kita sudah benar-benar mencapai batas untuk berusaha. Saya tidak menginginkan
dia menjadi mapan dahulu, tapi yang saya mau adalah mencapai kemapanan
bersama-sama. Begitupun masalah fisik, karena fisik akan habis di makan oleh
waktu. Hanya keindahan dari akhlak yang dapat mengalahkan itu semua, termasuk
indahnya pakaian yang di pakai oleh seorang raja ataupun ratu sekaligus.
Jadi, apalagi yang harus saya resahkan dari perjalanan
percintaan saya? Jika selama prosesnya akan berjalan lancar dan berhasil, saya
yakin hasilnya pun akan lebih dari kata “memuaskan.” Bukankah menjadi seorang
pemimpi yang pasti ingin memiliki perubahan dari kenyataan yang ada, tidak akan
pernah salah? Kalau memang iya, siapa yang akan dipermasalahkan dalam konteks
ini? Semoga saja, semua ini bukan hanya wacana belaka. Tetapi, menjadi sebuah
akhir yang bisa menginspirasi semua orang bahwa, “Tak selamanya menunggu itu tidak enak dan membosankan. Selagi masih
memiliki agenda perjalanan ke depannya, kenapa harus takut ataupun ragu untuk
berkeyakinan pasti?” Kata-kata itu menjadi prinsip saya, sekarang ataupun
nanti.
Dear
seseorang berinisial RA...
Jadi mau sampai kapanpun saya harus
menunggu, selama saya masih bisa untuk menunggu, mengapa tidak?
Cepat kembali, oke?
Kurang lebih satu setengah tahun
tak akan ada apa-apanya jika kamu datang dengan sejuta pesona yang kamu miliki;
sebagai hadiah karena saya telah menunggu kamu.
Tenang, sebisa mungkin saya tidak
akan mengeluh karena telah menunggu kamu. Saya menunggu bukan karena nafsu;
untuk memiliki kamu. Tetapi, saya menunggu karena Tuhan saya, yaitu Allah.
Pantaskan dirimu, dengan begitu
saya akan berusaha mungkin untuk memantaskan diri untukmu. Saya ikhlas lahir
dan bathin untuk menunggu kamu,
RA.
tlisan ini bkin sy sdar...
ReplyDeleteso sweet
ReplyDeleteshinichi-ran :3
bagus ...........
ReplyDelete