Sebenarnya, pilihan ada untuk dipilih. Merasakan
kesulitan dalam sebuah pilihan bahwasannya adalah kita terlalu takut untuk
menerima dan menanggung resikonya. Jika direstui oleh kedua orang tua pun, yang
awalnya tak yakin, lama-kelamaan akan merasa yakin sendiri. Ini terjadi dalam
perjalananku dahulu, selepas masa-masa SMA.
Sebuah pilihan, yang sampai saat ini masih saja menjadi
bahan perdebatan yang tak kunjung selesai dengan kedua orang tua saya. Jujur, saya ingin berjalan pada pilihan saya sendiri, jalan hidup saya sendiri. Namun, saat itu jangankan untuk
mendapatkan sebuah restu, dukungan ataupun dorongan semangat maupun doa saja
saya tak mampu untuk memintanya. Hati mereka terlalu bersikeras, jika mereka
memiliki keinginan, dan hidup sayalah yang akhirnya dipertaruhkan.
Ini mengenai langkah saya ke depannya sesudah SMA,
perkuliahan. Ya, perdebatan yang selalu saja memanas, kapan saja tak lain
adalah tentang masalah kuliah. Memang, dalam perjalanan hidup saya, saya tak
bisa menyertakan pendapat saya saja tentang pilihan saya. Namun, dari kedua
orang tua saya, mereka mendengar pilihan saya, namun enggan untuk memberikan
sebuah doa. Jangankan sebuah doa dan restu, sebuah dorongan atau dukungan saja
mereka enggan untuk memberikan. Gak adil, namun saya masih berdiri pada pilihan
saya.
Jujur, saya memiliki ambisi yang kuat untuk melanjutkan
ke Universitas Gadjah Mada pada saat itu, karena tekad dan niat saya pun untuk bisa berkuliah di sana sangatlah besar,
saya sampai mengikuti kegiatan les untuk persiapan SBMPTN. Namun saya tahu,
usaha saya akan terasa sia-sia karena kedua orang tua saya tak mengizinkan saya
untuk kuliah di tempat yang jauh.
Di saat dahulu mereka mengetahui ketika saya diterima di
UIN Syarif Hidayatullah (read: tempat dimana sekarang saya menimba ilmu),
mereka senang bukan main. Bagaimana dengan saya? Jujur, perasaan saya
berkecamuk saat itu. Antara kebahagiaan saya atau kebahagiaan kedua orang tua
saya, dan pilihan saya atau pilihan mereka. Di sinilah, saya merasakan fase
dalam kehidupan yang tak ingin saya rasakan kembali. Saya bimbang, dilema bukan
main.
Waktu itu, pendaftaran ulang UIN, di adakan jauh sebelum
pengumuman SBMPTN. Di sinilah puncaknya, puncak antara kebahagiaan dan jalan
mana yang harus saya ambil. Terasa amat berat bukan main. Saya terus berfikir
dan memikirkan sebelum hari H pendaftaran ulang ini; pertahankan atau lepaskan?
Hanya itu, tak ada lagi.
Hari H pun tiba, saya memutuskan untuk mengambil jalan
sesuai kebahagiaan kedua orang tua saya, menjadikan pilihannya sebagai pintu
dimana awal saya melangkah. Namun, saya tak melepaskan pilihanku sendiri, dahulu saya berkata seperti ini, “Yaudahlah, daftar ulang aja yang UIN. Tapi nanti,
kalau-kalau di SBMPTN aku diterima di salah satu jurusannya, aku akan ambil
pilihan itu sendiri.” Saat aku berucap demikian, orang tua saya marah bukan
main, bukan seperti yang saya kenal. Namun, saya tetapi berdiri kokoh dalam
pilihan saya. Mereka bertanya, “Mau daftar ulang, atau nunggu pengumuman lagi?”
katanya ketus. Dengan fikiran tak jernih, akhirnya saya mengajak untuk daftar
ulang.
Dan benar saja, setelah pengumuman SBMPTN tiba, orang tua
saya merasakan kembali bahagia; karena saya tidak lulus pada seleksi SBMPTN. Namun tak ditunjukkannya di depan saya. Saya kecewa
dengan hasilnya, juga dengan kedua orang tua saya. Mereka sanggup berbahagia di
atas kekecewaan anaknya sendiri. Makin di rasa untuk tak ingin menjadi bagian
dari UIN saja saat itu.
Ya, setelah melewati rangkaian acara pra-opak dan opak,
yang diberitahu saat pendaftaran ulang kemarin, akhirnya saya resmi menjadi
mahasiswi UIN. Tak merasa istimewa dan bangga saat itu, karena saya berjalan
bukan pada pilihan saya. Yang saya bingungkan adalah, ketika saya tak bisa
memilih pilihan saya sendiri, kapan saya bisa mengambil jalan hidup saya
sendiri, dan bersifat sebagai orang dewasa yang teguh pada pilihannya?
Bukan, bukan saya menyesalkan saya harus kuliah di sini. Bukan
pula karena masalah teman-teman, tapi hanya saja, saya masih belum bisa untuk
menerima dan berikhlas karena UIN lah jalan hidup saya, kehidupan saya yang
akan saya tempuh ke depannya. Tetapi, jika di awal saja saya rasa tak ingin dan
masih belum bisa menerima semua ini, bagaimana saya akan menjalani ke depannya?
Saya bergantung pada pilihan orang tua saya, pilihan yang sama sekali tak saya
inginkan. Bertahan demi sebuah kunci, akankah?
Tetapi tunggu, ada seseorang yang telah merubah pandangan
saya. Entah bagaimana bisa, tapi saat itu aku mulai bisa menerima, mulai bisa
untuk mencintai fisip. Entah pula ini hanya ucapan sementara atau apa, namun
kala itu saya hanya ingin bertahan di sini, hanya karena untuk dirinya. Sesosok
yang meneduhkan, yang memberi keyakinan bahwa saya bisa menjalani hari-hari saya
selama ke depannya nanti, di fisip. “Aku ingin bertahan di fisip, bertahan dari rasa
kecewa ini. Karenanyalah, aku bisa membuka mata, jikaku memang bisa untuk
bertahan di sini dan melupakan semuanya.” Namun, dia tak akan pernah tahu kalau
dia adalah alasan ketika saya tak mampu bertahan di fisip UIN, alasan dimana saya menyandarkan segala kekecewaan yang dahulu saya rasakan pada pundaknya. Walaupun dia
pernah menjadi bagian dari hidup saya, saya memilih memendamnya rapat-rapat.
Sosok yang menjadi alasan untuk saya bertahan di fisip,
akhirnya meninggalkan dunia saya. Tak pernah bisa saya paksakan memang, agar
dia selalu ada untuk kehidupan saya. Jikalau dia mengetahui, alasan saya bisa
kuat dan bertahan adalah karenanya, mungkin dia akan berberat hati untuk meninggalkan
saya. Saya tak mau itu terjadi, karena yang saya tahu, sebelum dia meninggalkan
saya, dunianya tak lagi bersama dunia saya.
Namun, apa yang akan saya lakukan lagi setelah ini ketika
alasan saya bersandar di UIN telah sirna? Mengatur ulang dari awal; menuju
kampus idaman dan menelan pahitnya dilema bukan main? Atau saya harus berusaha
bertahan sendirian, seorang diri, demi kebahagiaan kedua orang tua dan
mempertaruhkan lagi kebahagiaan saya? Entahlah, saya tak pernah paham dan
mengerti dengan jalan kehidupan saya.
Yang pasti, ketika saya berkata, “Tahun ini mau ikut
SBMPTN lagi, ya? Untuk urusan SBMPTN, ditanggung sendiri, deh.” kepada kedua
orang tua saya, mereka hanya berkata, “Buat apasih? Udah enak-enak dapet kampus
deket.” Namun, jikaku mengutarakan sebuah alasanku tak ada yang dapat membuat
saya bertahan di sana, reaksi mereka akan
seperti apa?
sedihhhh asli:'( huhuhu:"""
ReplyDeleteberuntung seharusnya seseorang yang menjadikan alasan atas bertahanmu, tempat kamu merebahkan segalakecewa. namun sayang, dia menyakitimu.
ReplyDeletebersabarlah, ikhlaslah menerima semuanya. memang sudah jalannya begini, oke? :)