Assalamu’alaikum semua...
Wah, gak berasa ya balik lagi dijudul posting-an yang sama tapi berbeda part
hehe. Ketika saya menulis tulisan ini, saya sudah melewati masa-masa wisuda
ke-108 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Bermodal empat
koma lima tahun mengenyam pendidikan di sana, banyak sekali hal-hal yang
membuat hari-hari saya begitu indah.
Belajar
Ikhlas Meredam Ego Sendiri (2013-2017)
Siapa bilang kuliah di UINJ itu atas keinginan diri
sendiri? Kalau soal jurusan, ya, saya yang menginginkan. Itupun hanya
berlandaskan suka pada mata pelajarannya selama SMA. Kayaknya sudah tidak perlu
dijelaskan lagi kemana hati saya ingin melangkah saat itu pada tahun 2013 silam.
Berawal dari keterpaksaan kuliah di sini karena tidak mendapatkan restu dari
kedua orangtua, berusaha berlapang dada untuk menerima dan menjalaninya dengan
seikhlas mungkin, hingga akhirnya saya mersa sedih sendiri ketika sudah
dinyatakan sebagai alumni UINJ.
Berat, benar-benar berat hari-hari yang harus saya lalui
di sini. Banyak beban di pundak yang membuat saya selalu merasa lelah di tiap
harinya. Saya diberi tanggung jawab di tempat yang tidak saya ingini. “Yaa Allah, hamba ingin menitipkan anak hamba
di UINJ. Tolong, kabulkanlah keinginan hamba,” begitulah kira-kira isi do’a
dan pengharapan dari kedua orangtua beberapa tahun yang lalu. Sedikit kecewa
saya rasakan karena kedua orangtua saya tidak memberika restu do’a kepada saya
jika tempat yang akan saya tuntut ilmunya jauh dari jarak mereka. “Tapi, kenapa? Toh, saya hanya akan menuntut
ilmu, tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Saya juga tahu mana yang benar dan
mana yang salah,” pikir saya selama empat semester.
Kuliah di UINJ mengharuskan saya menggunakan jilbab
karena memang hampir semua mahasiswanya beragama islam (walau ada beberapa
mahasiswa pindahan dari luar negeri, dan kebanyakan cowok, sih). Semasa TK, SD,
SMP, bahkan SMA saya tidak menggunakan jilbab ketika bersekolah (hanya ketika
saya berada di TPA saja, itupun kerudung yang langsung pakai). Saya yang saat
itu sadar sudah berada di akhir kelas tiga SMA diberitahu oleh Ibu Dwi selaku
Guru Bimbingan Konseling (BK) bahwa kuliah di sana harus menggunakan jilbab dan
kalau bisa harus permanen memakai jilbabnya. Saat mendengar kata-kata beliau,
hati saya deg-degan tidak karuan. “Bisa
tidak, yaa? Saya saja tidak betahan kalau memakai jilbab. Udah gitu kalau make
jilbab habis satu jam sendiri!” Tapi berhubung saya sudah mendaftar
SPMB-PTAIN dan lolos di Jurusan Sosiologi, mau tidak mau saya harus mulai
belajar menggunakan jilbab ketika liburan panjang. Lucunya, saya memberi
syarat, “belikan saya kerudung, Pak. Saya
akan belajar memakai kerudung dan Insya Allah akan permanen memakainya,”
kepada bapak saya.
Awalnya sulit, sangaaaattt sulit. Saya harus berubah 360
derajat dalam hal berpakaian (hanya berubah pada penggunaan baju dan jilbab
aja, sih). Tapi lama-kelamaan, ternyata saya menikmati sekali proses belajar
ini; merasa nyaman dan tenang sendiri karena sudah menutup diri. Semester awal,
saya hanya fokus pada bagaimana menggunakan jilbab dengan rapi. Pertengahan semester,
saya mulai belajar menggunakan jilbab yang panjang dan didobel agar tidak
menerawang dan belajar menggunakan rok. Di akhir semester, saya hanya perlu
mempertahankan apa yang sudah saya pelajari sebelum-sebelumnya.
Rasanya? Jangan ditanya gimana tidak betah pada awalnya,
ditambah lagi ketika kuliah. Kenapa? Karena... Di sini saya diajarkan untuk
ikhlas dalam versi lain (jiah hahaha). Apalagi kalau bukan masalah perasaan. Jadi
kalau digambarkan polanya, seperti ini: tidak betah dan ingin pindah
universitas – berpacaran dengan a, dan akhirnya betah – putus, dan risih kembali
dengan UINJ – berpacaran dengan b, dan hati semakin mantap menetap di UINJ –
putus ketika semester akhir, dan tetap akan menempuh pendidikan di sini tanpa
perlu adanya kata risih kembali.
Itu dari segi percintaan, lain lagi dari segi
pertemanannya. Di kelas saya, bisa dibilang pergaulannya genk-genk-an. Mereka yang
memiliki genk, hanya akan bermain
dengan temannya. Sedangkan yang tidak punya genk,
berkumpul dengan anak yang tidak ber-genk
juga. Pola interaksi yang diajarkan di sosiologi tidak dapat terlihat dengan
fenomena teman sekelas saya (lain cerita kalau masalah kelompok presentasi,
yaa). Namun, semua akhirnya mau berbaur ketika ada satu mata kuliah yang
mengharuskan kami menetap selama beberapa hari di kota orang, yaitu ke Garut
pada semester tiga dan pergi ke Bandung di semester lima. Gara-gara kedua
tempat ini nih, saya baru merasakan kekeluargaan pada mereka.
Januari,
2018...
Inilah bulan dan tahunnya. Inilah saatnya saya diluluskan
dari kampus ini; kampus yang sudah menjadi saksi bisu perjalanan panjang saya. Waktunya
mengucapkan selamat tinggal dan terimakasih kepada gedung FISIP UINJ yang ‘katanya’
paling bagus se-UINJ. Rasanya akan sangat jarang sekali saya menyapa awan dan
matahari ketika sedang menunggu kelas jam pertama dimulai. Melaksanakan
‘dhugem’ alias ‘dhuha gembira’ saat jeda
jam kuliah di musholla fisip yang speaker-nya diputus oleh entah siapa. Serta
membawa perbekalan yang sengaja saya bawa dari rumah untuk dimakan bersama
teman-teman. Kalau dijabarin satu-satu akan panjang, sih.
“Mahasiswi Fisip
UINJ, Jurusan Sosiologi, dengan Nama Retno Setyowati, Dinyatakan Lulus Sidang,”
adalah kata-kata yang paling saya sukai di bulan itu, yang keluar dari mulut
ketua kaprodi. Sebenarnya, ada rasa sesak ketika saya mendengar kalimat
tersebut, entah apa dan bagaimana. Terasa seperti disuruh pergi secara
terhormat, tetapi tidak ingin pergi. “Salahkah
jika saya masih ingin di sini? Ya,
saya akui, awalnya saya tidak menyukai tempat ini. Tapi lain ceritanya dengan
sekarang. Saya masih ingin tetap berada di sini.” Celetuk saya di dalam
hati.
Mei,
2018...
Di awal bulan ini, akhirnya saya dilantik oleh rektor
UINJ. Aseli, pas barisan mulai memasuki ruang Auditorium Harun Nasution,
rasanya sedih sekali dan ingin menangis :’D (wkwkw lebay, ya, tapi kenyataan,
deh). Akhirmya, penantian untuk dipindahkan tali toganya berakhir bahagiaaaa. Padahal
dulu sempet durhaka dulu sama orangtua (ahaha ampun, Ma, Pak). Ya, gelar
sarjana ini, medali ini, dan baju toga saya persembahkan untuk kedua orangtua
saya yang dengan bangganya menginginkan saya mendapat gelar di universitas ini.
Ma, Pak, sudah kelar tanggung jawab saya. Beban yang kalian beri, Alhamdulillah sudah saya rampungkan. Maaf,
kalau harus memakan sedikit lama waktu. Mungkin begitu cara Allah membahagiakan
hamba-hambanya; menunda lalu memberi nikmat yang tak terduga. Alhamdulillah..
Dear UINJ...
Terimakasih banyak karena sudah menjadi kunci inti dalam
perjalanan saya mengemban pendidikan. Terimakasih atas segala cerita yang telah
terukir dengan indahnya dan akan selalu tersimpan dengan rapi ketika saya
menyambanginya nanti. Terimakasih karena sudah menjadi bangunan yang kokoh untuk saya
bersandar, ketika saya mengeluh ‘mengapa harus UINJ,’ dan saat saya merasakan
arti pelajaran hidup sebelum dan sesudahnya. Maaf saya harus hengkang secara
terhormat dari tempatmu berada, menjauhi, bahkan meninggalkan sementara semua
cerita yang sudah tercipta. Berjanjilah ketika saya kembali berkunjung, jangan
sungkan untuk menghidupkan kembali segala memori yang pernah terjadi; entah itu
memori bahagia atau sedih. Maaf karena dahulu saya sempat meragukanmu karena
bukan tempat kuliah pilihan saya, bahkan harus membuat orangtua saya kecewa,
mungkin.
Dear UINJ,
terimakasih untuk segala-galanya; pelajaran dan pengajaran, teman-teman,
lingkungan sepi khas fisip, tempat berteduh kala terik maupun hujan, dan
pengalaman-pengalaman unik selama saya di sana. See you soon, Fisip UINJ...
Mashaa Allahhh... sedih mb sy bacanya.selamat utk krn tlh slesai y mb ....
ReplyDeletewallahu...., cara Allah memberi hidayah beda" ya trnyata ...,
ReplyDelete