Dengan
muka datar, Dea membukan laptop
kemudia di tekannya tombol on. Sembari
menunggu laptopnya untuk loading, Dea melaksanakan sholat Maghrib
karena masjid di dekat rumahnya sudah berhenti berkumandang. Selesai melaksanakan
kewajibannya, Dea kemudian duduk di atas tempat tidurnya lalu mulai mengetik
sesuatu di Microsoft Word. Dengan tangan
yang dingin dan agak gemetar, Dea
mulai mengetik sesuatu:
Teruntukmu, Awan. Selamat tinggal.
Dengan waktu 2 tahun, tak cukup untukku
mengenalmu secara dalam. Awal kita berkenalan pun begitu lucu, menurutku. Aku yang
saat itu tak terlalu hafal wajahmu, mengajakmu berjanjian di depan kampus untuk
pergi ke perpustakaan dengan alasan mengerjakan tugas kelompok. Saat itu, aku
datang bersama teman yang ku kenal dari awal sejak masuk universitas ini,
temanmu juga. Sepanjang perjalanan, kamu terus mengobrol berdua dengan Rita,
temanku dan temamnmu. Namun, dengan mendengarmu mengobrol dengan temanku, teman
kita, aku langsung bisa menilaimu. Kamu orang yang lugu dan baik hati.
Semenjak satu kelompok denganmu pada
hari itu, entah mengapa kita semakin dekat. Dekat kita di sini hanya sebatas
rekan kelompok, bukan dekat dalam hal lain. Aku yang orangnya sangat perasa,
saat itu ketakutan bukan main dengan keadaan yang terjadi. Rita tau, jika aku
takut nantinya kumenaruh sebuah rasa padamu. Dan tak berapa lama pun, aku tahu
kalau kamu menyukai orang lain. Orang lain tersebut tidak jauh dari teman
sekelas. Ya, dia bernama Ani, seseorang yang memang aku akui kalau dia jauh
lebih sempurna dari aku. Setelah mengetahui hal itu, lambat laun aku
menjahuimu. Membiarkanmu tumbuh bersama rasa yang kamu miliki. Dan rasa yang
kumiliki berganti menjadi rasa untuk orang lain, salah satu teman kelas kita,
yaitu Tyo.
Aku pun tak bisa berlama-lama dengan Tyo
karena satu dan lain hal. Ketika itu kamu masih saja dengan perasaanmu untuk
Ani. Sampai satu setengah tahun lamanya kamu masih mengejar cintanya. Aku yang
saat itu mengetahui jalan ceritamu begitu salut akan perjuanganmu untuk
mendapatkan cintanya. Namun, perjuanganmu selama ini telah sia-sia. Ani lebih
memilih orang lain ketimbang dirimu yang selalu berusaha ada untuknya. Aku mengerti
ketika ada masa di mana kamu merasa terjatuh saat itu. Dan ketika kamu terjatuh
saat itu, aku sebagai seseorang yang mengetahui ceritamu dari awal, membantumu
untuk bangkit kembali. Menjadi Awan yang pertama kali ku kenal. Awan yang
terkenal akan selera humorisnya.
Awalnya niatku untuk membantumu agar tak
bersedih lagi pun sirna. Entah aku yang saat itu merasa geer dengan sikapmu yang terlalu baik kepadaku, atau kamu memang
selalu baik terhadap semua orang terlebih perempuan. Lambat laun, sikapmu
terhadapku berubah menjadi sikap-sikap yang penuh perhatian. Aku awalnya tidak
mengerti mengapa bisa menjadi seperti ini. Sampai akhirnya aku mengetahui
semuanya dan bertanya, “Kenapa harus aku, Wan? Padahal, banyak wanita yang lebih
sempurna dibandingkan aku,” ujarku dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Karena
ketika aku berdo’a dan meminta kepada Allah untuk dihadirkan seseorang yang
lebih baik dari dia (Ani), Allah ngirim kamu ke hidup aku.” Sejak saat itu dan
hari-hari seterusnya, hidupku selalu penuh warna. Jauh lebih banyak warnaku
ketimbang warna yang dimiliki oleh pelangi.
Selang
beberapa bulan kemudian, kita ribut hebat. Padahal beberapa bulan belakangan
dalam hubungan kita tidak pernah ada yang namanya berantem-berantem, terlebih
berantem kecil. Kita selalu adem ayem menjalani hubungan yang ada. Sampai-sampai,
teman-teman kita pada bingung dengan hubungan yang kita jalani. Namun hari ini,
aku tak ingin sama sekali melalui waktu 24 jam dalam sehari itu. Hari di mana
segala angan dan impian yang telah kita bangun hancur hanya dengan salah paham
kecil yang terjadi. Kata kita tak ada lagi dalam kehidupan kita. Aku, ya, aku. Kamu,
ya, kamu.
Awalnya aku merasakan kesulitan untuk
melepasmu, karena saking banyaknya mimpi yang aku khayalkan untuk masa depan
kita. Dahulu, mimpi-mimpiku tersebut sangatlah indah; tapi sampai detik ini pun
kamu tak pernah mengetahui mimpiku. Menjadikanmu yang terakhir adalah bangunan
luar dan besar yang aku impikan. Di dalamnya banyak sekali mimpi-mimpi kecil
yang ada. Pada suatu saat ketika kita masih bersama, aku pernah melihatmu jauh
di belakang sedang memimpin sholat bapak-bapak di suatu Mall. Aku yang saat itu
baru saja selesai berwudhu dan melewati tempat sholat untuk jama’ah laki-laki
yang terpisah untuk jama’ah perempuan. Dalam hatiku saat itu entah mengapa
merasa adem sekali melihatmu bisa menjadi imam sholat bagi bapak-bapak yang
mengikuti sholat berjama’ah waktu itu. Semenjak saat itu, punggungmulah yang
kuharapkan berada persis di depanku dan hanya dipisahkan oleh satu shaf di
belakangmu.
Karena sifat sabar dan ada sifat lain
yang tak bisa kuceritakan yang kamu miliki itu sama persis seperti sifat yang
bapak aku miliki, aku selalu menyebut namamu dalam do’a-do’aku. Berharap kamulah
orang terakhir yang menjadi bagian dari hidupku, kelak. Kamu yang lugu,
menyebalkan, dan humoris pun mampu membuat hari-hariku penuh tawa. Aku juga
menaruh suatu mimpi di dalamnya untuk masa depan kita nanti. Masih banyak lagi
mimpi-mimpi lain yang tidak bisa kujabarkan satu-persatu dalam tulisan ini,
Wan.
Pernah aku suatu waktu menanyakan, “Nanti
seandainya kita memiliki dua anak. Kakaknya itu perempuan, punya sifat kayak
aku yang keras kepala. Dan adiknya itu laki-laki dan punya sifat yang sabar seperti kamu. Bakal jadi
kayak apa, ya, keluarga kecil kita?” Dan kamu pun hanya tersenyum menanggapi
pertanyaan yang aku lontarkan. Sedikit kamu menimpali tentang pertanyaan itu. Tetapi
aku lupa kamu mengatakan apa pada saat itu. Ah, obrolan ringan penuh mimpi saat
itu tak sengaja keluar dari mulutku lantaran aku melihat anak kecil berantem di
Mall yang sama ketika aku melihatmu menjadi imam.
Dan sedikit demi sedikit sekarang aku
mulai bisa untuk merelakanmu. Melihat atau mendengarkan celotehanmu tentang “dia”
yang aku tak kenal siapa dan bagaimana rupanya. Aku masih akan tetap dan selalu
mendoakanmu, walau isi do’aku kali ini bukanlah memintamu dari Allah untuk
mejadi orang yang mampu menuntunku ke jalan-Nya, kelak. Saat ini, aku hanya
bisa mendo’akanmu agar kamu bisa berbahagia dengan siapapun “dia”, dan aku
berharap agar “dia” memiliki kekayaan lebih banyak dan dalam untuk selalu mendo’akanmu,
tidak seperti aku. Aku berani menyebut namamu demi kebahagiaanmu; bukan lagi
menyebut namamu untuk memintamu dari-Nya. Aku memang payah, tak bisa gigih
untuk memintamu kepada Allah. Tapi percayalah, Awan, ada orang lain yang mampu
menyebut namamu dengan sepenuh hati, penuh harapan yang dalam, dan dengan tulus
memintamu kepada-Nya serta menunggumu untuk menjemput dirinya.
Tak
usah kamu pedulikanku. Aku bisa berbahagia dengan caraku sendiri. Aku akan
menjalani kehidupanku semula dengan sisa mimpi yang ku punya, saat seperti
sebelum kamu datang ke dalam hidupku. Memang akan susah. Namun aku tak mau
untuk kau beri belas kasihan. Aku tahu jalanku, aku tau tikungan tajam dalam
hidupku. Jangan pernah untuk menoleh lagi ke belakang. Susul dan jemput dia
secepat mungkin. “Dia” orang yang rela menyuarakan namamu dengan keras di
hadapan-Nya; agar Allah menghadirkanmu dalam hidupnya. Jalanmu ke arah dia,
bukan ke arahku lagi. Selamat jalan, Awan. Selamat tinggal dariku untuk yang
terakhir kalinya. Bahagiakan dia selalu, sama seperti kamu membahagiakanku
dulu.
Thank
you so much, for everything, Wan. Good bye…
Tanpa
sadar, keyboard laptop miliknya basah dengan tetesan air mata yang tidak dapat dia
rasakan sedari tadi. Dengan hati yang pilu, Dea menyimpan goresan kecil untuk
Awan dan mematikan laptopnya. Kemudia
Dea berbaring di atas tempat tidurnya sambil membayangkan hal-hal indah yang
telah dia lewati bersama Awan. Dan tanpa tersadar, Dea tertidur pulas dengan
bayang-bayang indahnya dengan Awan dan menjadi mimpi indah pada malam itu.
aaih sedaaaapp .......
ReplyDeletekeren.
ReplyDeletedalem .,
ReplyDelete