Hello, My Star!
Tulisan ini dibuat untuk sebuah bintang yang pernah
bersinar di kehidupanku. Bintang yang pernah mengerti betapa pentingnya setiap
detik untuk dilalui bersama-sama…
Teruntuk satu bintang yang tak pernah
meredupkan cahayanya…
Sebenarnya
banyak kata-kata ataupun tulisan yang tak pernah bisa kuungkapkan secara
langsung ataupun tidak langsung. Karena setiap ucapan atau tulisan yang akan
aku lontarkan atau kutuliskan, akan kamu ketahui cepat atau lambat. Aku takut,
teramat takut jika kamu mengetahui semua seluk-beluk tentangku. Maka dari itu,
aku lebih memilih untuk memendam ketimbang memberitahumu.
Teruntuk satu bintang yang pernah kuharapkan
menjadi yang terakhir bagiku…
Segala
sesuatu tentang surat yang pernah kuberi kepadamu, tulisan yang tertera di sana
memanglah tulisan-tulisan yang jujur dari yang terdalam. Namun, semua tulisan
itu belum mencakup semua apa yang aku rasakan; ada beberapa bagian yang memang
sengaja tidakku ikut sertakan dalam tulisan itu. Karena jujur, rasa takut kedua
yang aku rasakan adalah ketika kamu akan
terus-terusan membuatmu berpikir akan tulisan yang tidak penting itu. Lagi-lagi,
Bintang, aku harus bungkam tentang beberapa hal. Namun, kau tahu, bukan, jikaku
tak bisa terlalu terbuka padamu? Jangankan padamu, pada kedua orang tuaku saja
aku tak bisa bersifat terbuka.
Teruntuk satu bintang yang selalu bisa
membuatku tertawa…
Waktu
denganmu terdahulu adalah ceriaku. Bahkan, bintang-bintang lain yang bertebaran
di langit sana tak akan bisa sepertimu. Mereka sangatlah berbeda denganmu. Banyak
sekali bintang-bintang di luaran sana yang berusaha untuk membuat diriku
tertawa sama saat aku bisa selalu tertawa denganmu. Tetapi, bintang-bintang
yang lain tetap saja tidak bisa membuatku tertawa; sekalipun dengan usaha sekeras
apapun. Aku selalu bisa dengan mudahnya tertawa atas ulahmu. Jangankan ulahmu,
terkadang ketika kita chatting pun
dan pembahasan kita mulai kemana-mana, kamu selalu bisa membuatku tertawa geli
hanya melalui sebuah tulisan. Sedangkan mereka tidak bisa.
Teruntuk satu bintang yang pernah kusakiti…
Ya,
sampai ketika kau sudah jauh dari hidupku pun, tak lagi menerangi duniaku, aku
masih merasakan suatu penyesalan dan rasa bersalah. Bahkan, aku pun tidak bisa
memafkan diriku sendiri atas rasa sakit yang kamu terima. Kita sama-sama terluka,
kau melukai hatiku begitu juga denganku. Dulu, dengan sekuat tenaga aku pernah
berusaha untuk menyembuhkan lukamu. Namun sekarang, aku sendiri yang membuka
luka itu. Masih mending jikaku melukaimu di tempat luka lama yang ada, tetapi
luka ini berada jauh di dalam hatimu, bukan?
Masalah
akupun terluka, kamu tak perlu khawatirkan luka ini. Karena aku sudah terbiasa
mendapati luka sebelum berperang; benar-benar mempertahankanmu. Karena aku yang
menuai masalah itu. Karena aku yang memancing emosimu. Karena aku yang tak bisa
membaca keadaan. Karena aku yang memang bersalah dan pantas masih merasakan
rasa bersalah sampai detik ini. Karena aku. Karena aku. Karena aku. Semua memang
salahku. Dan, aku patas untuk mendapati luka ini. Tak mengapa, aku bisa mengurusi
luka ini sendirian. Lalu, bagaimana dengan lukamu? Bagaimana?
Teruntuk satu bintang, tahukah kamu jikaku
terus bertanya-tanya?
Semakin
besarku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri, semakin besar pula tanda Tanya
ini membesar. Banyak hal yang kupertanyakan dalam benak, namun hanya ada satu
pertanyaan yang paling menonjol dalam benakku: Ada apa denganmu? Sebelum dirimu datang menghampiri hidupku, ada
banyak bintang semu yang terlebih dahulu menghampiriku. Kebanyakan dari
merekalah yang selalu membuat suatu masalah denganku, bukan aku. Mereka pun
pernah membuat duniaku berwarna sama sepertimu; tetapi mereka tak bisa
memberikan banyak warna seperti dirimu. Lalu, ada perbedaan apa antara mereka
dengan dirimu? Padahal, perbedaan tersebut hanya terletak dalam warna yang
pernah kalian beri?
Dahulu,
kepada bintang-bintang semu itu, aku tak pernah sekalipun merasa ragu untuk
meninggalkan dan melupakan semuanya tentang mereka. Namun denganmu, aku merasa
ragu-ragu untuk pergi meninggalkanmu; benar-benar pergi meninggalkan jejak
hidupmu dan melupakan perasaan ini. Karena keraguan ini pun, aku harus
melibatkan pentunjuk dari-Nya untuk mengambil langkah selanjutnya dengan
melaksanakan sholat istikharah; sedangkan aku tak pernah melibatkan Allah
sekalipun untuk pergi meninggalkan dunia mereka. Aku melaksanakan sholat
istikharah dan membiarkan Allah campur tangan dalam hal perasaanku. Dan kamu
tahu? Aku diberi suatu jawaban dalam bentuk nyata sama Allah. Kamu tahu apa
jawaban itu?
Aku
melaksanakan sholat istikharah tujuh kali tidak berturut-turut. Pada kali
pertama hingga sholat kelima, aku lakukan sewaktu libur kuliah kemarin. Saat aku
melakukan sholat untuk kelima kalinya, aku mendapati suatu jawaban tentang
dirimu. Setelah benar-benar mendapati jawaban itu, aku berhenti untuk sholat
istikharah lagi. Setelah aku memulai berkuliah lagi, ada rasa ragu yang
menyelinap dalam hati lagi. Aku memutuskan untuk sholat istikharah keenam
kalinya. Dan keesokannya, aku mendapatkan suatu jawaban yang nyata dengan satu
kelompok denganmu. Karena aku ragu apa benar-benar inilah jawabannya, aku
sholat lagi namun sampai saat inipun aku belum mendapatkan jawabannya.
Teruntuk satu bintang, kumenyesal pernah
meminta permintaan konyol…
Memutuskan
untuk tidak berkomunikasi lagi adalah hal konyol yang pernah ku sesali kedua
kalinya. Memang, dengan tidak berkomunikasi kita menjadi tidak terganggu dengan
satu sama lainnya. Tapi jujur saja dengan melakukan hal konyol seperti itu,
yang awalnya aku berniat untuk melupakanmu, justru membuatku tambah
mengingatmu. Rasa rindu yang memuncak itulah yang membuatku selalu ingat
denganmu. Dan kamu tahu, Bintang, aku sebenarnya sangat tersiksa dua bulan
libur kuliah kemarin hanya karena tidak bisa mengetahui kabarmu.
Namun,
tiga hari sebelum menjelang proses kuliah di mulai lagi, kamu bisa mengalahkan
egomu sendiri untuk egoku. Dengan sapaan yang khas, “Hai apa kabar?” itu, kamu bisa mencairkan suasana kaku di antara
kita; melunakkan dan melupakan permintaan konyolku itu. Kamu bilang, kamu
menyapaku karena mendengarkan lagu yang pernah kukirim untukmu. Entah kamu
memang sengaja mendengar lagu itu atau ada alasan lain, aku tak pernah tahu
alasan sejujurnya. Dari situ, setidaknya kita bisa berkomunikasi walaupun tidak
bisa secara intensif seperti saat dulu kita masih bersama. Lega, benar-benar
lega karena rindu yang memuncak itu sedikit terkikis walaupun tidak banyak yang
terkikis.
Teruntuk satu bintang yang tenang, maafkan
ku belum bisa jadi yang terbaik…
Selama
aku bersamamu, aku berusaha untuk menjadi yang terbaik untukmu dengan
menyeimbangkan dirimu. Berusaha menjadi yang terbaik dengan menerima apapun
yang ada pada dirimu. Kata orang, cinta itu buta; tak pernah bisa melihat
kekurangan yang ada di orang yang dicinta. Aku membenarkan kata orang
kebanyakan ini dengan tidak mengubahmu sedikit pun menjadi seseorang yang aku
ingini; karena kamu pun begitu kepadaku, tidak pernah menuntut lebih. Kamu sempurna
dengan caramu sendiri, kamu sempurna karena telah menyempurnakan diriku, dan
kamu sempurna dengan apa adanya dirimu. Aku senang, karena tak perlu ada banyak
drama di antara kita berdua. Karena hubungan yang pernah kita jalani waktu itu,
bukan sebuah drama telenovela.
Tapi,
selama apapun aku banyak belajar untuk memahami dan mengerti dirimu, aku akan
tetap menilai diriku tidak baik. Kenapa? Karena aku pernah menyakiti hatimu
entah disengaja ataupun tidak disengaja. Mungkin, aku pernah juga mengecewakan
kamu. Aku tak pernah tahu kapan kamu marah, kapan kamu kecewa, atau kapan kamu
merasa kesal terhadapku. Karena kamu pun tergolong orang yang termasuk
tertutup. Jadi, selama ini aku hanya bisa menilaimu baik-baik saja terhadap
sikapku ataupun terhadap hubungan yang pernah kita jalani, dulu.
Teruntuk satu bintang, dulu dirimu bukanlah sekedar
pacarku…
Iya,
kamu itu memiliki profesi bukan hanya menjadi pacarku. Kamu itu kuanggap
sebagai sahabat, teman, kakak laki-laki, anak kecil, bahkan menjadi
satu-satunya orang yang sekaligus aku sebelin. Dia aku anggap sebagai sahabat
ketika aku bisa menceritakan sesuatu padamu tanpa rasa ragu sedikitpun; aku
bercerita kepadamu tanpa melewati proses berpikir sedikitpun. Karena hanya dialah
orang kedua setelah Tuhanku, tempatku untuk bercerita. Aku juga menganggap dia
sebagai teman selain pacar. Aku menganggap dia sebagai teman ketika kita mulai
berimajinasi. Memiliki pikiran yang kata orang dinamai ngablu itu menyenangkan. Kita bisa memikirkan hal-hal yang tidak
mungkin dengan “imajinasi”. Itu mengapa di saat imajinasi cukup mengambil andil
antara kita berdua, saat itulah aku menganggapnya teman.
Dia
bisa juga, loh, jadi seorang kakak laki-laki. Saya menganggapnya sebagai kakak
ketika kita sedang menghabiskan waktu berdua, dahulu. Karena sejujurnya, aku
menginginkan seorang kakak yang bisa melindungi adiknya. Dan sifak ke-kakakan
itu ada pada dirinya; dia mampu dan bisa menjaga saya ketika sedang bersama. Dia
juga bisa membimbing saya ke jalan yang benar; selalu mengajak pada hal
kebaikan. Selain dia bisa menjadi kakak laki-kali bagi aku, dia juga bisa jadi
anak kecil sekaligus! Iya, dengan sifat manjanya yang terkadang membuat saya
menjadi gemas dengan dia. Sifat manja yang dia punya bisa dibilang lebih besar
dari yang dipunya anak kecil. Tapi, dia bersifat seperti itu hanya
kadang-kadang saja.
Bahkan,
dia juga bisa menjadi seseorang yang membuat saya sebal; karena memang dianya
juga menyebalkan. Hal-hal yang menyebalkan dari dia dapat membuat saya
geregetan sendiri dengan tingkah lakunya. Terkadang, dari sifat nyebelinnya ini
pun suka muncul sifat kekanakannya. Dan satu lagi, dia bisa menjadi pacar
ketika hati saya tahu akan pulang kemana; kembali kehatinya. Karena hanya
dialah jalan kemana saya akan pulang, dahulu.
Teruntuk satu bintang yang cerah,
terimakasihku tak terhingga untukmu…
Dari
kau bukan siapa-siapa, menjadi teman, lalu kamu jadikan aku satu-satunya orang
yang dapat melihatmu bersinar, hingga sinarmu mulai meredup, kemudian sinar itu
hilang, aku mau mengucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga untukmu,
Bintang. Tak bisa dituangkan dengan kata-kata karena akan panjang jikaku
jabarkan satu-persatu. Tak bisa pulaku ucapkan rasa terimakasih itu karena akan
banyak menghabiskan waktunya untuk mendengarkan celotehku yang tak jelas. Intinya,
aku hanya bisa berterimakasih kepada satu bintang itu; bintang yang paling
cerah sinarnya di antara bintang-bintang yang lain. Dia berbeda dengan yang
lain, dia terlihat unik dengan caranya bersinar, dan dia terlihat indah di
langit yang kelam di atas sana menemani sang rembulan.
Hanya satu pertanyaanku, “Jikaku berhasil
menghidupkan imajinasiku menjadi seorang pilot ataupun astronot, maukah kau aku
petik untuk tetap terjaga di saatku tertidur di malam hari? Sinarmu dapat menerangi
segala mimpi-mimpiku.”
trharuuuuu ... =")
ReplyDeletewaah ...
ReplyDeletehm hmmm..
ReplyDeletewooww
ReplyDeleteno comment dh,..
ReplyDeleteBravo҉\(•˘▽˘•)/҉
ReplyDeleteterharu baca'nyaa kerenn bangettlaahh(з´⌣`ε) (з´⌣`ε)
dahsyat ,Mantaphhh .......
ReplyDelete