“Timang
timang anakku sayang
Jangan menangis bapak disini
Timang timang anakku sayang
Jangan menangis bunda bernyanyi
Jangan menangis bapak disini
Timang timang anakku sayang
Jangan menangis bunda bernyanyi
Bila
kelak engkau dewasa
Sayangi saudara sayangi sesama
Dengan cinta
Sayangi saudara sayangi sesama
Dengan cinta
Jujur
lakumu jujur ucapmu
Menjalani hidup
Cantik jiwamu cantik parasmu
Kala engkau tersenyum
Menjalani hidup
Cantik jiwamu cantik parasmu
Kala engkau tersenyum
Timang
timang anakku sayang
Cepatlah tidur janganlah nakal
Timang timang anakku sayang
Cepatlah tidur janganlah nakal
Timang timang anakku sayang
Mimpi yang indah nyenyakkan tidurmu
Doa
kami sertakan
Temani dirimu menjalani hidup
Oh anakku…”
Oh anakku…”
Jadi, hari ini itu saya ditakdirkan untuk pulang ke rumah
lebih awal dikarenakan dosen mata kuliah kedua saya tak hadir, entah apapun itu
alasannya. Mungkin, karena beliau sendiri sedang mengandung; karena biasanya,
orang yang lagi hamil itu sedikit malas untuk melakukan sesuatu. Hal ini,
terjadi pula pada Ibu saya, setahun yang lalu.
Berbicara tentang mengandung ataupun hamil, ketika sedang
melakukan perjalanan pulang ataupun pergi ke kampus, banyak sekali fenomena di
mana keluarga kecil yang juga sedang menikmati hiruk pikuk perjalanan
panjangnya. Ada Ayah, Anak, dan Ibu. Banyak dari keluarga kecil ini, yang
mungkin berlibur atau sekedar berjalan-jalan saja. Jujur saya iri.
Iri yang di maksud di sini dalam artian, “Manisnya.. Bagaimana jikaku nanti saya ada
diposisi mereka?” Selalu saja hal itu yang terlintas dalam benak saya
ketika melihat mereka. Menjalani hari-hari sebagai seorang Ibu, seperti Ibu
saya. Terbangun di pagi hari kemudian sholat subuh, sehabis itu menyiapkan
sarapan dan peralatan anak dan suaminya hingga menanti mereka berangkat sekolah
dan bekerja. Lalu, membersihkan rumah, memasak, menyuci, menyambut anak pulang
dari sekolah, dan suami sehabis pulang kerja. Pikiran seperti ini selalu
menari-nari dalam benak saya ketika melihat banyak keluarga kecil mereka yang
berusaha menghabiskan waktu bersama.
Tadi, ketika sedang mata kuliah Antropologi, ada kejadian
pulpen teman saya terjatuh dan berada di bawah kaki saya. Lalu, dia
memberitahukan kepada saya bahwa pulpen miliknya berada di bawah kaki saya. Lalu,
saya mengambilnya dan dengan tegas saya berkata, “Di bawah telapak kaki saya itu ada surga. Tetapi kelak nanti, setelah
saya memiliki anak.” Entah atas dasar apa, saya menyeletuk demikian hingga
teman saya yang mendengarnya tertawa kecil. Saya masih saja terpikirkan
keluarga-keluarga kecil mereka; saya ingin menjadi seperti mereka, tetapi
nanti.
Memiliki seorang suami yang rajin dan bertanggung jawab;
dunia ataupun akhirat, memiliki sepasang anak yang lengkap dan sempurna, serta
mudah di atur, adalah salah satu dambaan saya ketika melihat keluarga-keluarga
itu. Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, yang selalu patuh dan disiplin
kepada Allah; Tuhan penguasa alam, dan selalu disertai kedamaian di setiap
harinya; merupakan dambaan dan idaman saya dikala itu.
Menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami, yang
senantiasa selalu dibimbing dan dicintai atas nama Allah. Menjadi seorang ibu
yang dicontoh ataupun diteladani bagi anak-anaknya. Dan menjadi seseorang yang
disegani dalam keluarga besar ataupun dalam kalangan tetangga; adalah segala
khayal saya. Namun, saya tak tahu apa yang akan terjadi dalam suatu waktu
nanti. Yang bisa saya lakukan untuk saat ini hanyalah memantaskan diri saya.
Kata bergaris miring di atas merupakan bukan syair atau
puisi dari saya. Namun, itu sepenggal lirik lagu. Timang-timang. Aah, banyak sekali rasanya yang muncul ketika
mendengarkan lagu itu. Mulai dari saya kecil dahulu, masa saya mengenali dunia hanya dengan
senyuman, hingga saya beranjak dewasa dan mengurus anak kecil, kelak.
Saya pun amat tak mengerti, mengapa ingin sekali rasanya
membaginya dalam bentuk tulisan; saya bukan pencerita langsung yang handal. Saya
lebih suka mencurahkannya melalui tulisan. Tulisan ini berawal karena banyak
keluarga harmonis yang saya ditemui di jalan, dan kejadian pulpen teman saya
terjatuh tersebut. Pikiran saya meloncat seakan-akan saya bisa kembali ke masa
dulu dan mengatur masa depan yang saya tak mengerti akan seperti apa.
Saya sendiri seorang gadis berusia 19 tahun pada tahun
ini, tapi saya sedikit mengerti bagaimana mengurus balita; karena saya memiliki
adik berusia 1 tahun 3 bulan. Setidaknya, saya bisa memerankan peran seperti
Ibu saya dan mengerti bahwasannya memang tak mudah menjadi seorang Ibu. Mulai adik
saya susah untuk disuapi, tidak mau untuk diganti popok, ataupun mengelesot
kesana kemari. Jujur, saya geram. Tapi, saya banyak belajar kesabaran dari adik
saya sendiri. Bahwa, “Tak mudah mengurus
saya, Kak.” Ya, saya tahu itu.
Segala khayal dan imajinasi yang telah mengatur waktu
saya saat ini; saya terperangkap dalam dunia masa kecil sekaligus masa dewasa saya
sendiri. Saya terlelap, tenggelam. Masih terlalu jauh untuk saya memikirkan
masa depan saya, terlalu sulit pun jika untuk diraba. Namun, ya sudahlah. Biarkan
tersimpan rapat dalam imajinasi saya. JJ
lucuuuukkkkkkk! :3 kwkww
ReplyDelete(+) menarikkkk;;)
ReplyDeletegokiiiiiil!(y) hahahaha ahaaahaa
ReplyDelete