Terdiamku merenung, memikirkan sesuatu yang sebenarnya tak sama sekali sempat untuk terfikirkan. Entah mengapa, pikiran itu mengusik saya untuk mencoba menolehnya. Tentang sebuah komitmen, komitmen yang selama ini saya fikirkan untuk kedepannya akan indah, akan selalu bersemi bak musim gugur disetiap harinya, dan akan selalu menyejukkan dedaunan ketika menjelang pagi layaknya embun. Ternyata, yang saya fikirkan tidak selalu ada benarnya; meleset dan tak melulu tepat sasaran. Awalnya, saya melihat aroma komitmen itu sendiri begitu nyata dan hidup, seiring berjalannya waktu, seiring waktu memperjelas semuanya, tak sama sekali saya rasakan aroma dari komitmen itu sendiri ada. Merasa kehilangan dan tak berguna atas mempertahankan, merasa sia-sia telah melakukan semua ini; tetapi hati berkata lain.
Saya menyayanginya, bahkan mungkin bisa dibilang saya pun
mencintainya. Begitu pun dengannya. Tetapi, rasa komitmen sendiri tak bisa saya
rasakan lagi; entah saya yang sudah mati rasa atau karena dengan kehadiran “dia”
dalam celah kehidupan yang ada, membuat semua rusak. Hancur luluh lantak! Namun,
kesabaranlah yang masih bisa membuat saya bertahan, membuat saya kuat hingga
detik ini merasakan semua yang ada.
Berbicara mengenai komitmen dan kesabaran, apa artinya
jika sebuah “komitmen” yang awalnya telah ada; yang dulu hingga sekarang telah
tercipta, bisa menghilang begitu saja dan memberikan celah pada yang lain untuk
menghancurkan sang komitmen, yang tak bisa dicegah? Tanpa adanya pendirian yang
kokoh, sudah bisa dipastikan jika komitmen tersebut hanya jika “disentuh”,
sudah pasti akan goyah, bahakan mungkin saja bisa hancur; karena terlalu rapuh.
Namun, karena kekuatan kesabaran, saya bisa bertahan
walaupun yang saya lakukan akan sia-sia. Dia ada, tetapi seperti tidak ada. Dia
kekasih saya, tapi seperti orang lain bagi saya. Saya mengerti, saya tahu,
tetapi tak pernah saya ungkapkan langsung; karena jika orang ketiga ini sedang
berada di sekitar kita, dia selalu memperhatikannya dari kejauhan; melihat
seakan dia ingin menjaganya. Say yang mengetahuinya? Hanya bisa berdiam
mengelus dada dan tersenyum di luar. Akankah saya mengalah (lagi) demi
kebahagiaannya? Menang, karena telah memberikan satu kebahagiaan kepada
seseorang yang sangat amat berarti dalam hidup saya; walaupun akan ada yang
tersakiti, tak dihargai, dan tak sanggup jika memang dia berbahagia dengan yang
lain, I must leave him, for happiness and the name of love..
No comments:
Post a Comment